Opini – Pendidikan memiliki peran yang sangat vital bagi masa depan bangsa dan negara. Pendidikan yang berkualitas akan menghasilkan sumber daya manusia yang unggul, yang mampu mendorong kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan ekonomi. Setiap individu dan masyarakat sejatinya membutuhkan pendidikan untuk berkembang dan berkontribusi terhadap peradaban. Namun realitanya, akses terhadap pendidikan yang layak masih menjadi tantangan besar, terutama bagi mereka yang tinggal di pelosok desa, wilayah pesisir atau pinggiran kota besar.
Kita pun mulai mempertanyakan: apakah pendidikan masih menjadi prioritas bagi anak-anak bangsa yang berada di luar pusat-pusat pembangunan? Ataukah benar, sebagaimana yang pernah ditulis oleh Eko Prasetyo dalam bukunya, bahwa “orang miskin dilarang sekolah”? Buku tersebut menggambarkan betapa wajah pendidikan kita kian terancam oleh mahalnya biaya, kesenjangan akses, dan kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan. Korban dari situasi ini, lagi-lagi, adalah masyarakat miskin yang ironisnya merupakan mayoritas penduduk negeri ini. Kepercayaan terhadap pendidikan pun kian luntur, apalagi ketika jaminan masa depan melalui pendidikan terasa semakin kabur.
Program-program bantuan seperti makan gratis di sekolah memang memiliki niat baik, namun tidak cukup menjawab kebutuhan mendasar: pendidikan yang benar-benar gratis dan inklusif.
Data yang dirilis oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mencatat bahwa saat ini terdapat 3,9 juta anak Indonesia yang tidak bersekolah. Rinciannya: sekitar 881.168 anak putus sekolah, 1.027.014 anak lulus tapi tidak melanjutkan, dan 2.077.596 anak belum pernah mengenyam pendidikan. Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2025 melaporkan adanya 7,28 juta pengangguran, dengan peningkatan tertinggi terjadi pada pengangguran bergelar sarjana, yang naik sebesar 14,6% dibandingkan tahun sebelumnya.
Fakta ini sangat memprihatinkan, mengingat bahwa tujuan utama menempuh pendidikan tinggi — khususnya kuliah — adalah untuk membuka peluang karir yang lebih luas, meningkatkan penghasilan, memperkuat keterampilan, dan memperluas jejaring sosial. Di samping itu, pendidikan tinggi seharusnya menjadi sarana pembentukan karakter dan peningkatan kemampuan berpikir kritis, guna melahirkan generasi muda yang mampu melanjutkan cita-cita bangsa.
Namun, kenyataannya tidak sejalan dengan harapan. Ketidaksesuaian antara kurikulum pendidikan dengan kebutuhan dunia industri menjadi penyebab utama mengapa lulusan pendidikan tinggi justru mendominasi angka pengangguran. Sistem pendidikan kita belum mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan tuntutan pasar kerja, yang berdampak langsung terhadap stagnasi pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan sosial.
Untuk itu, negara harus hadir lebih serius dan komprehensif dalam mereformasi sistem pendidikan nasional. Reformasi ini harus mencakup: pertama, Kurikulum yang relevan dengan kebutuhan industri dan perkembangan teknologi. Kedua, Pemerataan akses pendidikan hingga ke wilayah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal). Ketiga, Jaminan pendidikan gratis dan berkualitas bagi keluarga prasejahtera. Keempat, Penguatan pendidikan karakter dan kemampuan berpikir kritis. Kelima, Kolaborasi nyata antara dunia pendidikan, dunia usaha, dan pemerintah.
Pendidikan bukan hanya jalan menuju kemajuan, tetapi fondasi utama dalam membangun peradaban bangsa yang bermartabat. Jika kita gagal menyediakan pendidikan yang adil dan berkualitas untuk seluruh rakyat Indonesia, maka masa depan bangsa akan terus berada dalam bayang-bayang ketimpangan dan keterbelakangan.