Opini – Banjir yang melanda Kota Bulukumba akhir-akhir ini bukanlah semata-mata bencana alam dalam arti konvensional. Ketika ditelaah lebih dalam, kita akan menemukan bahwa musibah ini adalah hasil dari akumulasi kebijakan pembangunan yang terabaikan dari prinsip tata ruang dan keberlanjutan lingkungan. Peristiwa banjir yang merendam rumah warga, memutus akses jalan, dan fasilitas umum adalah bentuk nyata dari kegagalan kita dalam merencanakan masa depan kota ini secara universal.
Salah satu contoh konkret dan perlu menjadi perhatian bersama adalah pembangunan kawasan perumahan di atas lahan pertanian produktif. Di samping kompleks BTN 1, dulunya merupakan area persawahan yang menjadi penyangga ekosistem air dan sumber mata pencaharian petani lokal. Kini, area tersebut berubah fungsi menjadi kawasan perumahan tanpa mempertimbangkan dampak ekologis jangka panjang. Hilangnya fungsi resapan air pada lahan tersebut menyebabkan aliran air hujan tidak lagi tertahan dan terserap ke dalam tanah, melainkan langsung mengalir ke dataran rendah dan merupakan lokasi permukiman warga.
Butterfly Effect dan Krisis Tata Ruang
Dalam teori Butterfly Effect yang dikemukakan oleh Edward Lorenz, dijelaskan bahwa perubahan kecil dalam sebuah sistem dapat menimbulkan dampak besar di tempat lain. Konsep ini sangat relevan dalam konteks ekologi dan tata ruang. konversi satu hektar sawah menjadi kawasan beton bisa berdampak pada perubahan pola aliran air, hingga frekuensi terjadinya banjir.
Pembangunan yang tampaknya sepele dan skala kecil seringkali tidak diperhitungkan efek lanjutannya. Namun pada realitanya, dampak yang ditimbulkan justru meluas. Air hujan yang dulu terserap di lahan pertanian kini tergenang dan mengalir ke pemukiman karena tak ada lagi tempat penampungan alami. Fenomena ini memberikan kita gambaran bahwa bencana ekologis yang kita alami sekarang adalah konsekuensi dari hilangnya keharmonisan antara manusia dangan alam.
PMII: Mendesak Kajian Lingkungan yang Mendalam Sebelum Pembangunan
Sebagai Ketua Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Bulukumba, dengan tegas menyatakan bahwa pengelolaan ruang di daerah kita sedang mengalami krisis yang cukup serius. Pemanfaatan lahan pertanian untuk kepentingan komersial, tanpa disertai kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) dan analisis dampak lingkungan (AMDAL) yang memadai, menunjukkan lemahnya pengawasan pemerintah serta rendahnya partisipasi publik dalam pengambilan keputusan.
Hal ini bukan sekadar persoalan teknis administratif, tapi juga menyangkut keadilan ekologis. Masyarakat yang tinggal di hilir menjadi korban langsung, sementara pihak yang mengambil keputusan atau mendapatkan keuntungan dari pembangunan tersebut tidak merasakan dampak buruknya.
Kami mendesak pemerintah daerah agar melakukan evaluasi terkait izin pembangunan yang berada di atas lahan produktif, serta meninjau kembali rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Bulukumba. Ini penting agar pembangunan tidak hanya mengedepankan aspek ekonomi jangka pendek, tapi juga keberlanjutan lingkungan dan sosial.
Banjir sebagai Konsekuensi dari Kebijakan yang Tidak Berpihak pada Alam
Masalah banjir ini tidak terlepas dari fakta bahwa telah terjadi eksploitasi alam secara massif. Salah satu faktor pemicu lainnya adalah adanya pembukaan lahan di wilayah hulu, termasuk penebangan pohon tanpa reboisasi dan pembangunan industri porang di Desa Dampang. Wilayah ini, jika merujuk pada RTRW Kabupaten Bulukumba, merupakan zona pertanian dan daerah penyangga resapan air.
Ironisnya, pembangunan pabrik porang dilakukan tepat di dekat aliran sungai. Dampaknya, bukan hanya memperkecil daerah resapan, tetapi juga meningkatkan risiko pencemaran air dan perubahan aliran sungai secara signifikan. Lagi-lagi, pembangunan yang tidak taat terhadap aturan ruang ini mengakibatkan kerentanan ekologis yang tinggi.
Kritik terhadap Mitigasi Bencana yang Tidak Efektif
Mitigasi bencana yang dilakukan sejauh ini juga terkesan reaktif dan tidak menyentuh akar persoalan utama yang sesungguhnya. PMII menilai bahwa ini adalah bentuk dari kegagalan dalam perencanaan jangka panjang dan minimnya kepedulian terhadap keberlanjutan.
Kebijakan pembangunan harus dirancang dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Tidak boleh lagi ada pembangunan yang melanggar RTRW, apalagi mengabaikan masukan dari masyarakat dan akademisi yang memahami karakteristik ekologis daerah.
PMII Bulukumba menyatakan kesiapannya untuk mengawal proses peninjauan ulang tata ruang dan kebijakan pembangunan di daerah ini. Kami tidak hanya hadir sebagai pengkritik, tetapi juga sebagai mitra strategis dalam membangun daerah yang berkeadilan sosial dan ekologis. Sudah saatnya kita meninggalkan cara-cara pembangunan yang eksploitatif dan beralih ke pola pembangunan yang partisipatif, transparan, dan berkelanjutan.
Kami mengajak seluruh elemen masyarakat, dari akademisi, aktivis lingkungan, petani, nelayan, hingga tokoh masyarakat, untuk bersatu menjaga ruang hidup kita bersama. Karena kerusakan yang kita biarkan hari ini akan menjadi warisan kehancuran bagi generasi mendatang.
Jika kita terus menutup mata terhadap tanda-tanda kerusakan lingkungan, maka kita sedang membuka jalan bagi datangnya bencana yang lebih besar. Banjir yang kita alami hari ini adalah sebuah alarm. Sebuah peringatan keras bahwa ada yang salah dalam cara kita memperlakukan bumi ini.
Semoga banjir ini menjadi momentum evaluasi bersama. Momentum untuk mengubah arah pembangunan menuju harmoni antara manusia, ruang, dan alam. Karena hanya dengan tata ruang yang berkeadilan ekologis, kita bisa menjamin kehidupan yang layak, aman, dan berkelanjutan bagi seluruh warga Bulukumba.