Nama H. Puang Makka Dg. Mattayang mungkin belum akrab di telinga generasi muda hari ini. Namun, bagi masyarakat Gowa dan pegiat Nahdlatul Ulama (NU) di Sulawesi Selatan, beliau adalah sosok monumental yang telah menorehkan jejak panjang dalam sejarah dakwah Islam Ahlussunnah wal Jamaah dan pergerakan kebangsaan di wilayah timur Nusantara.
Lahir pada tahun 1870, di tengah riak gelombang perubahan sosial-politik kolonial Hindia Belanda, Puang Makka tumbuh sebagai pribadi yang teguh dalam prinsip keislaman dan kuat dalam akar tradisi lokal Bugis-Makassar. Pendidikan agamanya ditempuh secara mendalam melalui jaringan pesantren dan ulama-ulama tradisional yang kala itu tersebar dari Makassar hingga Mekkah. Sebagai ulama kharismatik, beliau dikenal tidak hanya karena kedalaman ilmunya, tetapi juga karena kemampuan mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan kearifan lokal masyarakat Gowa.
Pada masa pasca-kemerdekaan, ketika NU mulai melebarkan sayapnya ke berbagai daerah di luar Pulau Jawa, H. Puang Makka Dg. Mattayang menjadi pionir penting yang menjembatani dakwah Islam tradisional dengan semangat kebangsaan. Ia tercatat sebagai tokoh pendiri NU Gowa, yang secara resmi mengukuhkan eksistensi Nahdlatul Ulama di Sulawesi Selatan. Tugas tersebut tidak ringan, mengingat tantangan sosial dan ideologis yang dihadapi pada masa itu: dari polarisasi politik hingga dinamika antara tradisionalisme dan modernisme Islam.
Dalam perannya sebagai ulama sekaligus pemimpin sosial, Puang Makka tidak hanya membangun jaringan keilmuan melalui pengajian dan madrasah, tetapi juga menjalin hubungan erat dengan tokoh-tokoh nasional, termasuk para penggerak NU di tingkat pusat. Konon, komunikasi antara Puang Makka dan KH. Wahid Hasyim menjadi salah satu jembatan penting dalam penguatan struktur NU di wilayah timur Indonesia. Ia bukan hanya simbol religiusitas lokal, melainkan juga aktor strategis dalam memperkuat Islam moderat di kawasan Bugis-Makassar.
Salah satu peninggalan besarnya adalah terbentuknya komunitas NU Gowa yang hingga kini tetap menjadi bagian penting dalam gerak langkah keagamaan dan kebangsaan di Sulawesi Selatan. Semangat kebersahajaan, keterbukaan, dan komitmen terhadap NKRI yang ia wariskan menjadi pilar penting dalam membentuk generasi NU yang militan namun tetap moderat.
Di luar kiprah formalnya di organisasi, H. Puang Makka juga dikenal sebagai penjaga tradisi dakwah yang lembut dan bersahaja. Ia tidak pernah memaksakan paham atau pandangan keislaman tertentu secara kaku. Pendekatannya terhadap masyarakat lebih menekankan pada nilai kasih sayang, keteladanan hidup, dan penguatan spiritualitas. Sebagai tokoh agama, ia mampu menjadi pemersatu di tengah masyarakat yang plural secara budaya dan mazhab.
Salah satu ciri khas dakwah Puang Makka adalah kemampuan menyerap nilai-nilai budaya lokal Bugis-Makassar tanpa kehilangan esensi ajaran Islam. Ia kerap memanfaatkan pertemuan adat, acara keluarga, hingga pasar-pasar rakyat sebagai ruang dakwah. Hal ini membuat ajaran Islam yang disampaikannya tidak terasa asing, tetapi justru akrab dan menyatu dengan nadi kehidupan masyarakat. Strategi ini menjadi warisan penting dalam membumikan Islam Nusantara.
Tak hanya dikenal di kalangan Nahdliyin, Puang Makka juga dihormati oleh berbagai kalangan, termasuk para bangsawan dan pemimpin adat di Kerajaan Gowa. Hubungannya yang harmonis dengan tokoh-tokoh kerajaan turut memperkuat penyebaran Islam moderat di lingkar kekuasaan lokal. Ia dipercaya memberikan nasihat keagamaan dalam berbagai keputusan penting, menunjukkan peran ulama yang bukan hanya mengurusi urusan ibadah, tetapi juga urusan kebangsaan dan kemasyarakatan.
Pada masa-masa awal berdirinya NU di Gowa, Puang Makka menghadapi tantangan dari kelompok-kelompok Islam yang memiliki pandangan keras dan skripturalis. Namun, dengan ketenangan dan hujjah ilmiah yang kokoh, ia mampu meredam ketegangan dan mengajak dialog terbuka. Keberaniannya bersikap tanpa mengabaikan etika dan adab ulama menjadi pelajaran penting bagi generasi penerus dalam menjaga harmoni umat.
Mengenang Puang Makka Dg. Mattayang bukan sekadar menengok masa lalu, tetapi juga menyalakan kembali lentera kebijaksanaan di tengah zaman yang kian gaduh. Di tengah derasnya arus digitalisasi dan polarisasi sosial, nilai-nilai yang diwariskannya—seperti kesantunan, cinta ilmu, toleransi, dan komitmen terhadap NKRI—masih relevan dan bahkan sangat dibutuhkan. Ia adalah teladan nyata bahwa perjuangan agama dan cinta tanah air dapat berjalan seiring dalam satu tarikan napas.
H. Puang Makka Dg. Mattayang wafat pada tahun 1960, meninggalkan warisan tak tertulis yang begitu dalam. Nama dan kiprahnya terus hidup dalam sanubari masyarakat Gowa dan Sulawesi Selatan pada umumnya. Sebuah generasi baru kini tumbuh di atas fondasi yang ia bangun—fondasi yang merawat akal, menjaga adab, dan menjunjung tinggi nilai kebangsaan.
Kini, saat NU memasuki abad kedua perjuangannya, sosok-sosok seperti Puang Makka harus terus dikenalkan kepada publik, bukan hanya sebagai tokoh sejarah, tetapi sebagai sumber inspirasi nilai dan keteladanan. Di era ketika identitas keislaman dan kebangsaan kerap dipertentangkan, jejak hidup Puang Makka membuktikan bahwa keduanya justru dapat bersatu dalam cinta yang sama: cinta kepada Tuhan, umat, dan tanah air.
Oleh: Zaenuddin Endy
Koordinator Pendidikan Kader Penggerak Nusantara (PKPNU) Sulawesi Selatan