Jejak Andi Patoppoi: Dari Bugis ke Jawa, Menyatukan Spirit Keulamaan dan Kebangsaan

banner 468x60

Nama Andi Patoppoi memang tidak terlalu populer dalam narasi besar sejarah Indonesia, tetapi bagi masyarakat Grobogan, Purwodadi, dan sebagian besar kalangan Nahdlatul Ulama (NU) di Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan, sosok ini meninggalkan jejak yang kuat. Ia merupakan contoh pemimpin daerah yang melintasi batas identitas etnis, agama, dan geografis, sekaligus mewakili tipologi pemimpin Muslim Indonesia yang gigih menjaga nilai tradisi, keagamaan, dan nasionalisme.

 

Andi Patoppoi lahir pada tahun 1910 di Kajura, Bone, Sulawesi Selatan. Ia berasal dari keluarga bangsawan Bugis, putra dari La Temmu Page Arung Labuaja, salah satu panglima terakhir Kerajaan Bone. Sejak muda, ia menempuh pendidikan ala Barat yang disediakan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pendidikan tersebut mengantarnya memasuki jalur birokrasi, hingga di masa pasca-kemerdekaan, ia menempati posisi strategis sebagai Asisten Residen Koordinator di kawasan Pati, Kudus, Jepara, dan Blora antara tahun 1951 hingga 1954. Jabatan itu menjadi batu loncatan penting menuju panggung politik yang lebih luas.

 

Puncak kiprah Andi Patoppoi di Jawa Tengah terjadi saat ia dilantik menjadi Bupati Grobogan pada tahun 1954 hingga 1957. Ia menjadi bupati pertama di Grobogan yang bukan berasal dari kalangan priyayi Jawa dan bukan bergelar raden, melainkan seorang santri bergelar haji, bahkan berasal dari luar Jawa. Kepemimpinannya mencerminkan pluralitas Indonesia, menunjukkan bahwa kekuatan kepemimpinan tidak ditentukan oleh asal daerah semata, tetapi oleh kapasitas, integritas, dan keberanian menghadapi tantangan zaman.

 

Dalam masa kepemimpinannya di Grobogan, Andi Patoppoi dikenal vokal menentang gerakan komunis, sebuah sikap yang sangat relevan mengingat Grobogan saat itu merupakan salah satu basis kuat Partai Komunis Indonesia (PKI). Suara lantangnya, postur tubuhnya yang tinggi, dan keberaniannya dalam menyuarakan ideologi keislaman dan kebangsaan membuatnya dihormati oleh masyarakat. Ia juga tercatat sebagai Ketua NU Purwodadi pada periode 1954-1958, serta terlibat aktif dalam pembinaan tarekat dengan memprakarsai Kongres I Jamiyah Thariqat Mu’tabarah pada tahun 1957.

 

Tidak hanya di Jawa, setelah masa tugasnya sebagai Bupati Grobogan berakhir, Andi Patoppoi kembali ke Sulawesi Selatan dan diangkat sebagai Wakil Bupati Bone antara 1957 hingga 1960. Keterlibatannya di NU berlanjut hingga ia duduk sebagai anggota DPRD Sulawesi Selatan mewakili NU, dan tetap konsisten pada jalur keagamaan walaupun di masa Orde Baru banyak birokrat dipaksa masuk Golkar. Saat NU melebur ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 1973, ia turut bergabung, memperlihatkan konsistensi ideologisnya terhadap gerakan Islam moderat.

 

Selain dikenal sebagai birokrat, Andi Patoppoi juga aktif secara nasional. Ia pernah menjadi anggota MPRS, sebuah posisi strategis yang menandai perannya dalam percaturan politik negara. Konsistensinya membela kepentingan rakyat berbasis nilai keislaman menegaskan bahwa ia bukan sekadar tokoh daerah, melainkan bagian dari jejaring elite Muslim nasional yang turut membentuk wajah demokrasi Indonesia.

 

Andi Patoppoi wafat pada September 1977 dan dimakamkan di Pemakaman Panaikang, Makassar. Meski telah wafat, warisannya tetap hidup. Salah satu cucunya, Andi Alfian Mallarangeng, bahkan sempat menduduki posisi Menteri Pemuda dan Olahraga di era Kabinet Indonesia Bersatu II. Pada tahun 2024, Andi Mallarangeng secara khusus mengunjungi Grobogan untuk mengenang jejak sang kakek, menegaskan betapa kuatnya pengaruh kultural dan historis Andi Patoppoi di luar tanah kelahirannya.

 

Jejak Andi Patoppoi tidak sekadar mencatat perjalanan individu yang menyeberang batas-batas etnis dan wilayah, melainkan juga menegaskan bahwa spirit keulamaan, keindonesiaan, dan keberanian ideologis mampu melahirkan kepemimpinan yang inklusif. Ia adalah contoh bahwa Islam Nusantara bukan sekadar konsep akademik, melainkan telah hidup dalam praktik sosial-politik para tokohnya.

 

Melalui kiprah Andi Patoppoi, kita belajar tentang pentingnya konsistensi ideologis, keberanian melawan arus politik pragmatis, serta kekuatan tradisi yang mampu menembus sekat-sekat identitas geografis. Ia adalah jejak sejarah yang layak terus diteladani, terutama di tengah zaman yang mudah menggadaikan nilai demi kekuasaan.

 

 

Oleh : Zaenuddin Endy

Koordinator Instruktur PKPNU Sulawesi Selatan

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *