KH. Ahmad Bone merupakan salah satu ulama karismatik yang tidak hanya menjadi sosok penting dalam sejarah Islam di Sulawesi Selatan, tetapi juga tokoh utama dalam pembentukan struktur organisasi Nahdlatul Ulama (NU) di wilayah ini. Namanya masih lekat dalam ingatan generasi tua dan senantiasa disebut dalam majelis-majelis taklim sebagai peletak dasar keberagamaan ala Ahlussunnah wal Jamaah di tanah Bugis. Beliau menjadi Ketua NU pertama Sulawesi Selatan dan memainkan peran strategis dalam merawat keberagamaan moderat serta merekatkan tradisi keislaman lokal dengan arus utama keislaman nasional.
Lahir pada masa kolonial, KH. Ahmad Bone tumbuh dalam lingkungan keislaman yang kuat, ditopang oleh kultur pesantren dan jejaring ulama Bugis-Makassar. Pendidikan awalnya diperoleh di kampung halaman, lalu dilanjutkan ke berbagai pusat keilmuan Islam di Sulawesi Selatan sebelum melanjutkan studi di Tanah Suci Mekkah. Di sana, ia berguru kepada ulama-ulama besar yang mengukuhkan pandangan keagamaannya dalam kerangka Ahlussunnah wal Jamaah, terutama dalam mazhab Syafi’i.
Sekembalinya dari Mekkah, KH. Ahmad Bone tidak hanya menjadi rujukan keilmuan, tetapi juga menjadi magnet sosial keagamaan di tengah masyarakat. Ia tidak membangun pesantren dalam bentuk fisik besar sebagaimana umumnya, tetapi menciptakan “pesantren kultural” melalui masjid, pengajian, dan sistem halaqah keliling yang menjangkau desa-desa dan pelosok Bone, Wajo, hingga Makassar. Strategi dakwah ini efektif karena menyatu dengan ritme kehidupan masyarakat.
Tahun 1948 menjadi momentum penting dalam kiprah KH. Ahmad Bone. Ia terlibat langsung dalam pendirian Masjid Raya Makassar, yang saat itu menjadi simbol keislaman kota sekaligus pusat resistensi kultural terhadap sekularisasi yang berkembang pascakemerdekaan. Masjid ini menjadi ruang konsolidasi umat Islam dan pusat kegiatan keulamaan yang menyatu dengan denyut sosial-politik masyarakat.
Pada tahun-tahun awal kemerdekaan, wacana keislaman di Sulawesi Selatan berada di titik genting. Di satu sisi, munculnya kelompok-kelompok modernis yang cenderung menolak tradisi dan tarekat; di sisi lain, masyarakat lokal masih sangat kuat dalam tradisi keislaman berbasis kearifan lokal. KH. Ahmad Bone mengambil posisi sebagai juru damai dan pemersatu, menjembatani antara nilai-nilai tradisional dan spirit pembaruan keislaman.
Posisinya sebagai Ketua NU pertama Sulawesi Selatan bukanlah sekadar administratif, tetapi menjadi simbol rekonsiliasi sosial dan kultural. Di bawah kepemimpinannya, NU tidak hanya menjadi organisasi keagamaan, tetapi juga gerakan sosial yang meneguhkan nilai kebangsaan, pendidikan, dan ketahanan budaya Bugis-Makassar dalam bingkai Islam Nusantara. Ia berperan mengonsolidasikan ulama tradisional dalam satu barisan, sekaligus merumuskan strategi dakwah yang tidak memusuhi adat dan tidak mengasingkan akal.
Kepemimpinan KH. Ahmad Bone juga mendapat legitimasi dari tokoh-tokoh nasional NU, seperti KH. Wahid Hasyim dan KH. Mahfudz Siddiq. Ia dianggap sebagai figur yang mampu memproyeksikan semangat NU di luar Jawa dengan pendekatan kontekstual dan cerdas. Melalui jalur ini pula, relasi antara pusat dan daerah dalam tubuh NU terjalin kuat, menjadikan Sulawesi Selatan sebagai salah satu basis penting NU di kawasan timur Indonesia.
Tidak sedikit murid KH. Ahmad Bone yang kemudian menjadi ulama dan pemimpin masyarakat, seperti KH. Muhammad Ramli ,KH.Syekh Sayyid Djamaluddin Assegaf Puang Ramma, dan KH. Syaifuddin. Mereka melanjutkan perjuangan gurunya dalam mendakwahkan Islam moderat dan menjaga marwah keilmuan di tengah tantangan zaman. Jejak KH. Ahmad Bone tidak hanya dalam ceramah dan fatwa, tetapi juga dalam pembentukan karakter masyarakat Sulsel yang religius, toleran, dan bersahaja.
Kontribusi KH. Ahmad Bone juga terlihat dalam responnya terhadap konflik horizontal yang terjadi pada awal 1950-an. Ia tampil sebagai tokoh penengah yang dihormati, baik oleh kalangan Islam maupun pemerintah. Dalam berbagai musyawarah adat dan pertemuan ulama, suaranya menjadi rujukan. Bahkan, dalam persoalan sosial-politik seperti pemberontakan DI/TII, KH. Ahmad Bone mengambil sikap moderat dan mendukung upaya rekonsiliasi nasional tanpa mengorbankan prinsip-prinsip keislaman.
Peran KH. Ahmad Bone dalam membangun moderasi beragama tidak bisa dilepaskan dari pemahamannya yang dalam terhadap tradisi Bugis dan pesan-pesan spiritual Islam. Ia meyakini bahwa agama dan budaya tidak perlu dipertentangkan, selama keduanya saling memperkuat moral masyarakat. Karena itulah, dalam berbagai forum, ia sering menyampaikan pentingnya menjaga warisan leluhur yang tidak bertentangan dengan syariat.
Salah satu warisan penting dari KH. Ahmad Bone adalah pendekatan dakwahnya yang tidak konfrontatif. Ia lebih memilih jalan hikmah, dialog, dan keteladanan. Metode ini kemudian menjadi ciri khas ulama NU Sulsel, yakni berdakwah dengan kearifan dan kesabaran. Metode ini pula yang membuat NU diterima luas oleh masyarakat Bugis yang terkenal egaliter dan menjaga harga diri (siri’).
Setelah masa kepemimpinannya di NU Sulsel berakhir, KH. Ahmad Bone tetap menjadi rujukan umat. Bahkan ketika usianya menua, ia masih aktif menghadiri pengajian dan menjadi narasumber dalam diskusi-diskusi keagamaan. Hingga akhir hayatnya, ia tak henti memberi nasihat dan menjaga semangat Islam rahmatan lil ‘alamin di tengah umat. Kepergiannya disambut duka oleh banyak kalangan, dari ulama hingga pejabat pemerintahan.
Kini, nama KH. Ahmad Bone memang tidak sepopuler tokoh-tokoh nasional, tetapi di kalangan pesantren dan komunitas NU di Sulsel, namanya masih harum. Makamnya sering diziarahi, dan pengaruhnya masih dirasakan melalui murid-murid dan tradisi yang ia wariskan. Ia adalah bukti nyata bahwa ulama bukan hanya pemegang ilmu, tetapi juga penuntun peradaban.
Menelusuri jejak KH. Ahmad Bone adalah menelusuri akar Islam Sulawesi Selatan yang penuh toleransi, kebijaksanaan, dan kearifan lokal. Ia adalah representasi dari ulama yang tidak hanya alim, tetapi juga memiliki integritas moral dan visi kebangsaan yang kuat. Dalam sejarah NU Sulsel, namanya akan selalu dikenang sebagai peletak dasar yang kokoh dan penuh keteladanan.
Di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks, figur seperti KH. Ahmad Bone semakin dirindukan. Seorang ulama yang tidak hanya memahami teks-teks suci, tetapi juga mampu membaca tanda-tanda zaman dan menjawabnya dengan akhlak serta hikmah. Semoga semangat dan warisan perjuangan beliau terus menyala dalam setiap langkah umat dan generasi penerus NU di Sulawesi Selatan.
Oleh: Zaenuddin Endy
Koordinator PKPNU Sulawesi Selatan