Opini, Aseranews.com – Pemerintah Daerah Kabupaten Bulukumba layak mendapatkan apresiasi atas pencapaian dalam menurunkan angka kemiskinan secara konsisten dalam kurun waktu satu dekade terakhir. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Selatan tahun 2024, Bulukumba tercatat sebagai kabupaten dengan tingkat kemiskinan terendah ke-6 di provinsi tersebut, dengan presentase sebesar 6,71%. Bahkan, dibandingkan tahun sebelumnya (2023), terjadi penurunan sebesar 0,51% dari 7,22%. Secara statistik, ini merupakan perkembangan yang menggembirakan.
Namun demikian, keberhasilan ini patut untuk ditinjau secara lebih mendalam dan kritis. Ketika kita mengamati data Indeks Harga Konsumen (IHK), terdapat dinamika yang mencerminkan adanya ketidakstabilan dalam aspek daya beli masyarakat. IHK tahun 2023 tercatat sebesar 115,25, kemudian menurun secara signifikan menjadi 105,6 pada tahun 2024. Meskipun penurunan IHK ini bisa diartikan sebagai pelonggaran tekanan inflasi, perlu dicermati bahwa fluktuasi yang tajam menunjukkan adanya ketidakkonsistenan dalam pengendalian harga-harga barang konsumsi pokok.
Lebih lanjut, jika menilik data tahun 2022, terdapat kecenderungan yang cukup kontras. Ketika angka kemiskinan mengalami penurunan dari 7,39% menjadi 7,22% (turun 0,17%), Indeks Harga Konsumen, (IHK) justru mengalami kenaikan dari 111,73 menjadi 115,25. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun secara statistik penduduk miskin berkurang, daya beli masyarakat kemungkinan besar tidak mengalami perbaikan yang signifikan. Artinya, sebagian masyarakat mungkin telah keluar dari kategori “miskin” secara administratif, tetapi masih bergulat dengan realitas ekonomi yang sulit.
Melihat data IHK pada tahun tersebut ternyata yang paling tinggi angkanya adalah konsumsi pangan. Apakah kita kekurangan pangan di kabupaten Bulukumba? ini menjadi pertanyaan besar. Jika melihat kenyataan lapangan, harga beras di tahun 2023 saat IHK begitu tinggi harga beras mencapai 12 ribu. Tingginya angka IHK dapat terjadi di pengaruhi oleh kelangkaan barang tersebut. Padi di kabupaten Bulukumba tidak terjadi kelangkaan tapi terjadi permainan di dalam distribusinya, terbukti tahun 2025 terungkap terjadi korupsi di Bulog mencapai miliaran. Hal seperti ini perlu di evaluasi dengan massif.
Bukan hanya itu, masyarakat harus tertampar dengan angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) kabupaten Bulukumba. Berdasarkan data BPS Sulawesi Selatan, TPT kabupaten Bulukumba tahun 2024 melonjak tinggi hingga 2,23. Angka ini meningkat 0,93 dimana tahun 2023 TPT Kabupaten Bulukumba hanya 1,31. Fenomena ini menuai dinamika, karena pembangunan di tahun 2024 begitu pesat. Seharusnya dengan pembangunan yang pesat maka banyak ruang pekerjaan yang mampu di isi oleh masyarakat lokal sehingga TPT ini menurun. Dengan fenomena seperti ini pastinya asumsi terbangun adalah pekerja yang diberdayakan bukanlah masyarakat Bulukumba tapi masyarakat luar. Sebenarnya pembangunan memberdayakan siapa? Ini menjadi pertanyaan kritis untuk masyarakat Bulukumba.
Dengan banyak investor yang masuk di kabupaten Bulukumba dan berkembangnya toko-toko ritel modern diharapkan mampu menekan angka TPT. Kita perlu menunggu rilisan angka TPT terbaru di tahun 2025, jika tidak menurun maka jelas terjadi kesalahan di dalamnya. Hal yang di takutkan adalah, jangan sampai toko modern yang semakin pesat tidak memberdayakan masyarakat setempat. Karena masih banyak pengangguran yang perlu diberdayakan dan dipikirkan oleh pemerintah daerah.
Fenomena ini mengindikasikan bahwa pendekatan pengentasan kemiskinan yang berorientasi pada angka dan persentase semata tidaklah cukup. Pemerintah Daerah perlu menyadari bahwa keberhasilan sesungguhnya tidak hanya diukur dari rendahnya presentase kemiskinan, melainkan juga dari kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar secara layak dan keterbukaan lapangan pekerjaan untuk menekan angka TPT.
Untuk itu, dibutuhkan kebijakan yang lebih komprehensif dan berorientasi jangka panjang bagi masyarakat pedesaan dan kota, menjaga secara masih stabilisasi harga kebutuhan pokok, pemberdayaan ekonomi masyarakat, penciptaan lapangan kerja produktif yang sesuai aturan, serta sistem perlindungan sosial yang adaptif terhadap gejolak ekonomi.
Akhirnya, pengentasan kemiskinan bukanlah tentang membanggakan posisi statistik di level provinsi, melainkan tentang memastikan bahwa setiap warga negara dapat hidup dengan bermartabat dan memiliki akses yang adil terhadap kesejahteraan.
Riswandi, Ketua Komisariat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Universitas Muhammaddiyah Bulukumba.