Syekh Abdul Razak Puang Matoae adalah salah satu tokoh sentral dalam penyebaran Tarekat Khalwatiyah Samman di Sulawesi Selatan. Ia dikenal sebagai figur karismatik yang memadukan kekuatan spiritual dengan kepekaan sosial, menjembatani ajaran tasawuf klasik dengan tradisi keagamaan masyarakat Bugis. Dalam tradisi lisan, ia sering disebut Al-Bugisi Al-Buni Syams al-Arifin, gelar yang menandai kedalaman ilmunya dalam bidang makrifat dan hakikat. Julukan “Puang Matoae” atau “Puang MatowaE” adalah panggilan kehormatan yang menunjukkan statusnya sebagai mursyid besar yang dihormati murid-muridnya.
Jejak Syekh Abdul Razak dapat ditelusuri dari abad ke-19 hingga awal abad ke-20, masa ketika Sulawesi Selatan menjadi pusat penting dalam dinamika dakwah tarekat. Pada periode ini, ajaran-ajaran tasawuf menyebar melalui jalur pelayaran, perdagangan, dan jaringan ulama yang menghubungkan Makassar, Maros, Bone, hingga Tanah Bugis bagian utara. Dalam konteks ini, Syekh Abdul Razak memainkan peran strategis sebagai penyambung mata rantai spiritual antara Syekh Muhammad Samman al-Madani di Madinah dan komunitas Muslim di Sulawesi.
Tarekat Khalwatiyah Samman sendiri merupakan cabang dari tarekat Khalwatiyah yang disempurnakan oleh Syekh Samman pada abad ke-18. Ajaran inti tarekat ini menekankan zikir jahar (zikir keras) dan dzikir sirr (zikir hati) sebagai jalan untuk menyucikan jiwa dan mencapai kedekatan dengan Allah. Ketika ajaran ini tiba di tanah Bugis, Syekh Abdul Razak menjadi figur yang memformulasikan kembali metode pengamalannya agar selaras dengan kebudayaan lokal. Ia memadukan nilai-nilai Bugis seperti siri’ na pacce (harga diri dan solidaritas) dengan semangat kesufian yang lembut dan egaliter.
Dalam pandangan para muridnya, Syekh Abdul Razak bukan hanya guru tarekat, tetapi juga puang — panutan moral dan spiritual yang menuntun mereka memahami hakikat hidup. Ia dikenal menanamkan disiplin dzikir, pengendalian hawa nafsu, dan adab kepada guru. Pengajarannya disampaikan dalam bentuk hikmah, bukan dogma. Ia sering mengutip ungkapan sufistik bahwa “jalan menuju Allah tidak ditemukan di bibir yang banyak bicara, tetapi di hati yang tenang dan bersih dari keinginan dunia.”
Dari segi genealogis, Syekh Abdul Razak disebut sebagai pelanjut dari silsilah tarekat yang menghubungkan Sammaniyah di Madinah dengan Khalwatiyah di Nusantara. Dalam silsilah tarekat lokal di Maros dan Bone, namanya berada pada rantai pewarisan setelah beberapa tokoh perantara seperti Syekh Abdullah al-Munir dan Syekh Abdul Razzak. Melalui jalur inilah ajaran Sammaniyah mengakar kuat di Sulawesi Selatan, membentuk komunitas spiritual yang berpusat di zawiyah-zawiyah kecil di kampung dan pesisir.
Aktivitas dakwah Syekh Abdul Razak berlangsung dalam suasana sosial yang kompleks. Ia berdakwah di tengah masyarakat Bugis yang masih kuat mempertahankan adat, tetapi sekaligus terbuka pada gagasan keislaman baru. Dakwahnya tidak menentang adat, melainkan merasukinya. Ia menjadikan ritual keagamaan seperti zikir berjamaah, maulid, dan barzanji sebagai ruang untuk memperhalus hati masyarakat dan memperkuat tali sosial antarwarga. Dengan cara ini, tarekat menjadi bagian integral dari budaya Bugis, bukan sekadar institusi spiritual yang eksklusif.
Setelah masa Syekh Abdul Razak, estafet kepemimpinan tarekat diteruskan oleh putra-putranya. Tokoh seperti Haji Abdullah, Haji Muhammad Saleh (Puang Lompo), Haji Muhammad Amin (Puang Naba), dan Haji Ibrahim (Puang Solong) dikenal sebagai penerus langsung yang menjaga kesinambungan ajaran sang mursyid. Melalui mereka, tarekat Khalwatiyah Samman semakin mengakar dan menyebar ke berbagai daerah, termasuk Bone, Gowa, dan Pangkep. Struktur kepemimpinan yang bersifat familial menjadikan tarekat ini tetap terjaga dari perpecahan, meski kadang menghadapi tantangan dalam adaptasi terhadap zaman.
Dalam perkembangan selanjutnya, ajaran Syekh Abdul Razak menumbuhkan corak tasawuf lokal yang khas. Ia mengajarkan keseimbangan antara dzikir dan amal, antara penghayatan batin dan keterlibatan sosial. Murid-muridnya tidak hanya diajarkan untuk berkhalwat atau menyepi, tetapi juga untuk menjadi teladan dalam masyarakat. Pandangan ini menjadikan tarekat Khalwatiyah Samman di bawah pengaruhnya tidak terisolasi, tetapi hadir sebagai kekuatan moral dalam kehidupan sosial Bugis.
Kharisma Syekh Abdul Razak juga tampak dalam pengaruhnya terhadap manuskrip dan tradisi tulisan di kalangan pengikut tarekat. Beberapa naskah lontara Bugis yang membahas tema mi’raj, dzikir, dan maqamat diyakini berasal dari lingkaran muridnya. Naskah-naskah ini menjadi bukti bahwa tarekat Khalwatiyah Samman bukan sekadar tradisi lisan, melainkan juga tradisi intelektual yang menulis dan menafsirkan pengalaman spiritual dalam konteks lokal.
Namun, jejak historis Syekh Abdul Razak masih menyisakan banyak misteri. Tahun kelahiran dan wafatnya tidak diketahui pasti, begitu pula lokasi asal dan tempat pengkajiannya sebelum menetap di Sulawesi. Hal ini menunjukkan bahwa banyak kisah tentang dirinya masih hidup dalam ingatan kolektif jamaah, bukan dalam catatan tertulis. Kendati demikian, absennya data biografis tidak mengurangi kedalaman pengaruhnya terhadap tarekat Khalwatiyah Samman di Sulawesi.
Dalam konteks sejarah Islam Nusantara, peran Syekh Abdul Razak dapat disejajarkan dengan ulama penyebar tarekat lainnya seperti Syekh Yusuf al-Makassari atau Syekh Abdul Ghani Bima. Mereka sama-sama menampilkan wajah Islam yang toleran, inklusif, dan berakar kuat pada nilai budaya lokal. Perpaduan antara keislaman dan kebudayaan Bugis inilah yang menjadi warisan berharga dari dakwah tarekat yang dipelopori oleh Syekh Abdul Razak.
Salah satu ciri khas ajaran Syekh Abdul Razak adalah penekanan pada cinta sebagai inti dari hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam pandangannya, zikir bukan sekadar pengulangan lafaz, melainkan ungkapan cinta ilahiah. Ia mengajarkan bahwa manusia harus “melihat Tuhan dalam setiap makhluk dan melihat makhluk dalam cahaya Tuhan.” Nilai ini yang kemudian melahirkan sikap toleran dan welas asih di kalangan pengikutnya.
Di tengah arus modernitas dan tantangan rasionalisme agama, ajaran Syekh Abdul Razak masih memiliki relevansi. Nilai-nilai sufistik seperti kesabaran, kesederhanaan, dan keikhlasan menjadi penawar bagi kehidupan yang serba cepat dan kompetitif. Para peneliti melihat bahwa tarekat Khalwatiyah Samman dapat menjadi model Islam kultural yang menekankan keseimbangan antara spiritualitas dan kemanusiaan.
Jejak spiritual Syekh Abdul Razak juga terus hidup dalam ziarah dan tradisi lokal. Setiap tahun, jamaah tarekat masih berziarah ke makam para khalifah dan mursyid yang menjadi pewarisnya. Ziarah bukan hanya bentuk penghormatan, tetapi juga sarana memperbarui komitmen spiritual terhadap jalan yang telah ditempuh para pendahulu. Melalui ritual-ritual seperti ini, ingatan kolektif tentang Syekh Abdul Razak tetap terjaga dan diwariskan lintas generasi.
Secara akademik, sosok Syekh Abdul Razak Puang Matoae menarik untuk diteliti lebih dalam, baik dari perspektif sejarah, antropologi, maupun filologi. Penelitian terhadap naskah-naskah lontara, arsip kolonial, dan wawancara dengan keturunan para mursyid tarekat dapat mengungkap dimensi baru tentang proses Islamisasi di Sulawesi Selatan. Ia bukan hanya tokoh sufi, melainkan juga simpul penting dalam sejarah peradaban spiritual Bugis.
Dengan demikian, Syekh Abdul Razak Puang Matoae bukan sekadar figur legendaris dalam dunia tarekat, tetapi juga simbol pertemuan antara Islam dan budaya Bugis yang melahirkan corak keberagamaan khas: lembut, berakar, dan penuh kasih. Warisan spiritualnya terus berdenyut di hati masyarakat, menjadikan tarekat Khalwatiyah Samman bukan sekadar jalan sufi, tetapi juga jalan kebudayaan yang memuliakan Tuhan melalui kemanusiaan.
Daftar Pustaka:
“Eksistensi Dakwah Ajaran Tarekat Khalwatiyah Samman.” Neliti.com, 2018.
Van Bruinessen, Martin. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Bandung: Mizan, 1995.
Rahim, Rahim A. Nilai dan Makna Tarekat dalam Masyarakat Bugis Makassar. UIN Alauddin, 2017.
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Jakarta: Kencana, 2013.
“The Rise of the Khalwatiyah Samman Sufi Order in South Sulawesi.” ResearchGate, 2017.
“A Contextual Study on Mi’raje Manuscript of Tarekat Khalwatiyah Samman Community in Maros.” ResearchGate, 2022.
Oleh: Zaenuddin Endy
Koordinator LTN Imdadiyah JATMAN Sulawesi Selatan