Syekh Abdul Gani merupakan salah satu nama yang hingga kini melekat kuat dalam sejarah keislaman masyarakat Bantaeng. Meski tidak banyak dokumen resmi yang mencatat kehidupannya, nama beliau diabadikan melalui masjid, jalan, hingga nama kampung. Jejak tersebut menandakan bahwa Syekh Abdul Gani bukan sekadar tokoh agama, melainkan bagian dari memori kolektif masyarakat yang percaya pada perannya sebagai pembawa dan penyebar Islam di daerah itu.
Kehadiran masjid yang diberi nama Masjid Agung Syekh Abdul Gani di Kelurahan Pallantikang adalah bukti nyata betapa sosok ini dihormati. Masjid tersebut menjadi pusat ibadah dan kegiatan keagamaan, dari salat berjamaah hingga peringatan hari besar Islam. Renovasi masjid beberapa tahun terakhir membuatnya semakin megah, seolah menjadi simbol penghormatan berkelanjutan atas jasa beliau. Kehadiran masjid itu juga menjadi pengingat bahwa dakwah Islam di Bantaeng memiliki akar sejarah panjang yang tidak boleh dilupakan.
Selain masjid, nama Syekh Abdul Gani juga diabadikan pada sebuah jalan penting di kota Bantaeng. Jalan T. A. Gani menjadi jalur penghubung utama yang dilalui masyarakat setiap hari. Penamaan jalan ini tidak hanya sekadar penghormatan, melainkan juga cara menjaga ingatan sejarah agar tetap hidup di tengah perkembangan zaman. Setiap orang yang melintasi jalan itu sesungguhnya sedang menapak pada jejak warisan seorang ulama yang pernah membawa nilai-nilai Islam ke Bantaeng.
Ada pula sebuah kampung bernama Tombolo Gani, yang dipercaya memiliki keterkaitan erat dengan perjalanan dakwah Syekh Abdul Gani. Nama kampung tersebut memperkuat dugaan bahwa beliau pernah menetap atau berdakwah di wilayah itu. Dalam tradisi lisan, kampung-kampung sering diberi nama sesuai tokoh berpengaruh yang singgah atau berkontribusi besar bagi masyarakat. Hal ini memperlihatkan bahwa sosok Syekh Abdul Gani memiliki peran signifikan yang diingat oleh generasi ke generasi.
Meski demikian, riwayat hidup Syekh Abdul Gani masih menyisakan misteri. Tidak ada catatan resmi mengenai tahun kelahiran, asal-usul keluarga, maupun periode dakwahnya secara pasti. Sebagian cerita menyebutkan bahwa ia berasal dari Arab Saudi, kemudian masuk ke Nusantara melalui Aceh sebelum akhirnya sampai ke Bantaeng. Namun, keterangan ini lebih bersifat kepercayaan lisan dibanding fakta sejarah yang terverifikasi. Hal tersebut membuat sosok Syekh Abdul Gani lebih banyak dikenal sebagai figur spiritual ketimbang tokoh historis.
Dalam tradisi masyarakat Bantaeng, kisah tentang Syekh Abdul Gani sering dipadukan dengan narasi dakwah Islam di Sulawesi Selatan secara umum. Ulama-ulama yang datang dari Arab maupun Jawa dianggap memiliki peran dalam membangun fondasi keislaman di tanah Bugis-Makassar. Kehadiran Syekh Abdul Gani dilihat sebagai bagian dari gelombang ulama perantau yang meninggalkan tanah kelahirannya demi menyebarkan ajaran Islam. Kisah ini membentuk imajinasi kolektif bahwa Islam di Bantaeng lahir dari ketulusan para ulama pendatang.
Penting dicatat bahwa dalam perkembangan sejarah, penghormatan terhadap seorang ulama tidak hanya didasarkan pada catatan tertulis. Dalam masyarakat tradisional, warisan seorang tokoh lebih sering dikenang melalui cerita rakyat, penamaan tempat, dan ritual keagamaan. Oleh sebab itu, meski jejak tertulis Syekh Abdul Gani minim, namanya tetap hidup dan bahkan semakin kokoh di tengah masyarakat. Hal ini membuktikan bahwa memori sosial bisa lebih kuat dibanding dokumen sejarah formal.
Masyarakat Bantaeng kerap menjadikan Masjid Syekh Abdul Gani sebagai lokasi utama dalam perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Dzikir bersama, pembacaan barzanji, dan ceramah agama sering digelar di masjid ini. Momentum tersebut bukan hanya perayaan keagamaan, melainkan juga ruang untuk mengenang jasa ulama yang namanya melekat pada masjid. Dengan demikian, dakwah Syekh Abdul Gani tidak hanya menjadi kisah masa lalu, tetapi terus hidup dalam praktik keberagamaan umat Islam setempat.
Dalam beberapa kesempatan, pemerintah daerah Bantaeng pun turut meneguhkan posisi Syekh Abdul Gani sebagai figur penting. Rencana pembangunan sekolah tahfidz di sekitar Masjid Syekh Abdul Gani adalah salah satu bentuknya. Hal ini memperlihatkan bahwa warisan ulama bisa dihidupkan kembali dalam bentuk program pendidikan modern. Dengan begitu, nama Syekh Abdul Gani tidak berhenti sebagai sejarah, melainkan terus bergerak menjadi inspirasi generasi berikutnya.
Bila ditinjau dari sisi antropologi, kisah Syekh Abdul Gani mencerminkan bagaimana sebuah masyarakat membangun narasi identitasnya. Ulama yang hadir dalam sejarah lokal dijadikan simbol keagamaan sekaligus penanda kebudayaan. Di Bantaeng, keberadaan masjid, jalan, dan kampung yang menyandang nama Syekh Abdul Gani adalah bukti konkret dari proses sakralisasi sejarah yang membentuk identitas kolektif masyarakat Muslim setempat.
Di sisi lain, ketiadaan dokumen sejarah yang jelas tentang Syekh Abdul Gani menjadi tantangan bagi para peneliti. Hal ini membuka ruang kajian lebih lanjut, baik melalui penelitian arsip maupun tradisi lisan. Penelusuran ke pesantren-pesantren tua, wawancara dengan sesepuh kampung, serta telaah manuskrip lokal bisa menjadi jalan untuk menemukan potongan sejarah yang lebih detail. Dengan demikian, figur Syekh Abdul Gani dapat ditempatkan dalam kerangka sejarah Islam Sulawesi yang lebih utuh.
Perlu dicatat pula bahwa tokoh bernama Syekh Abdul Gani tidak hanya dikenal di Bantaeng. Di beberapa daerah Nusantara, nama serupa juga muncul, entah sebagai ulama tarekat atau pendakwah lokal. Hal ini menimbulkan kemungkinan adanya tumpang tindih identitas. Namun, bagi masyarakat Bantaeng, Syekh Abdul Gani yang mereka kenal tetaplah sosok unik yang punya tempat tersendiri dalam sejarah lokal. Inilah yang menjadikan ingatan kolektif lebih berperan dibanding perdebatan akademis.
Seiring perkembangan zaman, penghormatan terhadap Syekh Abdul Gani justru semakin menguat. Renovasi masjid, penamaan jalan, hingga kegiatan keagamaan memperlihatkan bahwa masyarakat terus memperbarui cara menghargai warisan leluhur. Fenomena ini menunjukkan bahwa sejarah lokal bukanlah sesuatu yang statis, melainkan selalu bergerak mengikuti kebutuhan masyarakat. Selama ada yang mengingat dan merayakan, nama Syekh Abdul Gani akan tetap hidup.
Dalam perspektif keislaman, kisah Syekh Abdul Gani mengajarkan tentang keikhlasan berdakwah tanpa pamrih. Meskipun tidak banyak catatan tertulis, keberhasilannya terletak pada dampak jangka panjang yang dirasakan masyarakat. Islam di Bantaeng berkembang pesat, dan hal itu tidak lepas dari kontribusi ulama yang berjuang menyebarkan agama dalam keterbatasan. Warisan semacam ini lebih berharga daripada sekadar catatan kronologis yang mudah hilang ditelan waktu.
Dengan demikian, Syekh Abdul Gani di Bantaeng adalah contoh nyata bagaimana ulama bisa hidup abadi dalam ingatan masyarakat. Keberadaannya diabadikan lewat masjid, jalan, kampung, serta praktik keagamaan yang terus berlangsung hingga kini. Walaupun detail biografinya masih menjadi misteri, semangat dakwahnya tetap menjadi inspirasi. Ia adalah bagian dari narasi besar penyebaran Islam di Sulawesi Selatan, yang menyatukan dimensi sejarah, budaya, dan spiritualitas.
Kisah Syekh Abdul Gani bukan hanya soal masa lalu, melainkan juga tantangan bagi generasi kini. Bagaimana kita merawat warisan itu, meneliti lebih dalam sejarahnya, sekaligus menghidupkan kembali semangat dakwahnya dalam kehidupan modern. Dengan begitu, nama Syekh Abdul Gani tidak hanya dikenang, tetapi juga menjadi energi moral untuk membangun masyarakat Bantaeng yang religius, beradab, dan berakar kuat pada sejarahnya sendiri.
Zaenuddin Endy
Komunitas Pecinta Indonesia, Nusantara, dan Ulama (KOPINU)







