AGH. Andi Muhammad Thahir, atau yang akrab disapa Puang Kali Taherong, adalah salah satu figur ulama yang seharusnya tidak hanya dikenang, tetapi juga dihidupkan kembali gagasan dan teladan hidupnya. Dalam sejarah Sinjai, beliau bukan sekadar tokoh agama, melainkan simpul peradaban yang menyatukan nilai keilmuan, keteguhan akidah, dan keberanian moral untuk memilih jalan dakwah, bahkan ketika harus meninggalkan jabatan duniawi yang mapan. Keputusan beliau mundur dari posisi jaksa pada awal abad ke-20 bukanlah langkah biasa, melainkan pernyataan sikap bahwa jalan ilmu dan pengabdian kepada umat lebih mulia daripada gelar dan kekuasaan yang sementara.
Di tengah arus modernisasi yang mulai mengikis tradisi keilmuan Islam klasik, Puang Kali Taherong justru menguatkan tradisi mangngaji tudang — sebuah metode belajar duduk melingkar yang memberi ruang kedekatan guru dan murid. Metode ini bukan sekadar strategi pedagogis, tetapi juga cermin filosofi pendidikan beliau: ilmu harus disampaikan dengan ketelatenan, diinternalisasi dengan kesabaran, dan ditanamkan melalui keteladanan, bukan hanya ceramah dari jarak jauh. Cara ini relevan hingga kini, ketika relasi guru-murid kian renggang akibat jarak teknologi.
Pendirian Madrasah Al-Islamiyah Al-Wathoniayah menjadi bukti nyata komitmen beliau pada pendidikan Islam yang terstruktur. Lembaga ini tidak hanya mengajarkan kitab kuning, tetapi juga mempersiapkan santri untuk hidup di tengah masyarakat dengan bekal akhlak dan wawasan luas. Pada masanya, langkah ini visioner, karena memadukan kekuatan tradisi pesantren dengan sistem pendidikan formal yang rapi. Sayangnya, banyak generasi muda Sinjai kini yang tak lagi mengenal sejarah pendirian madrasah ini atau peran strategisnya dalam membentuk kader ulama daerah.
Puang Kali Taherong juga menjadi sosok yang memelihara kesinambungan simbol-simbol keislaman di ruang publik. Renovasi Masjid Nur Balangnipa pada 1935 bukan hanya proyek fisik, tetapi juga manifestasi pandangan beliau bahwa rumah ibadah harus menjadi pusat peradaban. Dengan menara yang menjulang, masjid ini menjadi penanda identitas Islam Sinjai sekaligus ruang pertemuan sosial, pendidikan, dan dakwah. Dalam konteks sekarang, pandangan ini penting dihidupkan kembali agar masjid tak sekadar tempat ritual, tetapi juga episentrum peradaban lokal.
Kisah-kisah tentang kewara’an dan karomah beliau sering dianggap sebagai romantisasi masa lalu. Namun, di balik cerita-cerita itu tersimpan pesan moral: seorang ulama tidak hanya dinilai dari kefasihan lidahnya, tetapi dari keteguhan amalnya. Kisah beliau menembus hujan tanpa basah atau memadamkan api dengan surban, jika pun dibaca secara simbolis, mengajarkan bahwa keberanian moral dan ketulusan hati adalah kekuatan yang mampu memadamkan api fitnah dan mengatasi badai zaman.
Yang sering dilupakan adalah karya tulis beliau, “Singkeru LimappuloE”, yang berisi 50 pesan hikmah bagi masyarakat. Naskah ini seharusnya menjadi bacaan wajib di sekolah dan pesantren, karena berisi panduan moral yang membumi, tidak mengawang-awang, dan sangat relevan untuk membangun etika publik. Ironisnya, karya semacam ini sering terkubur di rak-rak arsip, kalah pamor oleh buku-buku populer yang miskin kedalaman.
Dalam konteks sosial Sinjai hari ini, figur Puang Kali Taherong bisa menjadi sumber inspirasi untuk merajut kembali kohesi sosial yang mulai rapuh. Nilai-nilai keikhlasan, kepemimpinan yang mengakar pada pelayanan, serta pandangan bahwa pendidikan adalah jalan perubahan, adalah warisan yang tak ternilai. Di tengah maraknya konflik kecil yang dipicu perbedaan pandangan keagamaan, keteladanan beliau dalam merangkul semua lapisan masyarakat patut menjadi model.
Menulis tentang beliau adalah juga mengingatkan bahwa sejarah ulama lokal bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan modal sosial yang harus diolah untuk menjawab tantangan masa kini. Jika generasi muda tidak lagi mengenal nama-nama seperti Puang Kali Taherong, maka kita sedang membiarkan tali penghubung antara akar dan daun peradaban kita terputus.
Sayangnya, perhatian terhadap tokoh-tokoh seperti beliau cenderung muncul hanya di momentum tertentu, seperti haul atau peringatan hari besar Islam. Selebihnya, memori kolektif kita lebih sibuk dengan tokoh-tokoh yang viral di media sosial, yang sering kali miskin kontribusi nyata. Padahal, ulama seperti Puang Kali Taherong justru meninggalkan jejak yang bisa diikuti tanpa harus terjebak pada gemerlap popularitas.
Sudah saatnya pemerintah daerah, lembaga pendidikan, dan organisasi keagamaan di Sinjai membangun kembali narasi besar tentang peran ulama Aswaja dalam membentuk karakter daerah. Ini bukan sekadar untuk kebanggaan identitas, tetapi juga sebagai strategi pembangunan manusia. Dalam hal ini, menghidupkan kembali kisah dan ajaran Puang Kali Taherong adalah langkah strategis.
Akhirnya, opini ini ingin menegaskan bahwa Puang Kali Taherong bukan hanya milik Sinjai, tetapi milik sejarah Islam Nusantara. Beliau adalah contoh bagaimana ulama lokal mampu mengakar di masyarakatnya, mengawal tradisi, memimpin perubahan, dan meninggalkan warisan yang relevan lintas zaman. Yang dibutuhkan sekarang hanyalah kesediaan kita untuk membaca kembali jejaknya, menafsirkan dengan konteks kekinian, dan menghidupkannya dalam praksis sosial. Tanpa itu, beliau hanya akan tinggal nama di batu nisan, padahal sejatinya beliau adalah cahaya yang seharusnya terus menyala.
Oleh: Zaenuddin Endy
Wakil Ketua Lakpesdam NU Sulawesi Selatan 2024-2029







