Jejak Awal Islam di Wotu: Tutur Lisan tentang Syekh Mahmud

Zaenuddin Endy Komunitas Pecinta Indonesia, Nusantara, dan Ulama (KOPINU)
banner 468x60

Berdasarkan tradisi tutur lisan masyarakat Wotu, Luwu, penyebaran Islam di kawasan ini memiliki kisah yang panjang dan penuh nuansa sejarah. Jejak yang tertinggal bukan hanya berupa peninggalan fisik, melainkan juga ingatan kolektif masyarakat yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam kisah-kisah yang dituturkan, terdapat figur penting yang diyakini sebagai pembawa Islam ke Wotu, yaitu seorang tokoh bernama Mahwang yang kemudian dikenal dengan gelar Syekh Mahmud. Kehadirannya menandai babak baru dalam kehidupan keagamaan masyarakat Wotu pada akhir abad ke-14.

 

Syekh Mahmud digambarkan bukan sekadar seorang muballigh, melainkan tokoh berilmu yang memiliki kedekatan dengan jalur internasional penyebaran Islam di Asia Tenggara. Menurut riwayat, ia memiliki hubungan erat dengan ekspedisi besar Laksamana Cheng Ho, tokoh legendaris dari Tiongkok yang melakukan pelayaran ke berbagai wilayah Nusantara. Dalam kedudukan itu, Syekh Mahmud berperan sebagai penasehat, sehingga menempatkannya dalam posisi strategis untuk menyebarkan Islam dengan pendekatan damai dan persuasif.

 

Kedudukan Syekh Mahmud sebagai penasehat Laksamana Cheng Ho memberi legitimasi pada perjalanannya dalam konteks geopolitik dan keagamaan saat itu. Melalui ekspedisi besar yang dilakukan armada Tiongkok, ia memperoleh akses dan perlindungan untuk menempuh perjalanan panjang dari satu pulau ke pulau lainnya. Dari Ternate, ia kemudian melanjutkan misi ke arah barat menuju Ontona atau Ale Luwu, melalui jalur Luwuk Banggai hingga sampai ke Wotu. Jalur ini penting karena memperlihatkan bagaimana Islam masuk melalui jaringan maritim dan perdagangan.

 

Tatkala Syekh Mahmud tiba di Wotu, ia menemukan masyarakat yang terbuka terhadap ajaran Islam. Menurut tutur lisan yang terus diulang hingga kini, ketika seorang utusan Datuk Sulaiman datang mengajak masyarakat masuk Islam, jawaban mereka adalah “Bae maensomo.” Ungkapan ini dalam bahasa Wotu bermakna “sudah lama Islam diterima di sini.” Ungkapan itu menjadi penanda bahwa Islam sudah lebih dahulu dikenal masyarakat, bahkan sebelum utusan resmi kerajaan-kerajaan Islam di wilayah barat datang ke Luwu.

 

Keterangan ini menarik karena memperlihatkan bahwa Islam di Wotu bukan semata hasil dakwah dari barat Sulawesi, tetapi juga melalui jalur timur. Perjalanan Syekh Mahmud melalui Ternate, Luwuk Banggai, dan Wotu menunjukkan pentingnya jaringan laut sebagai jalur difusi agama. Dengan kata lain, Islam di Sulawesi Selatan, khususnya di Luwu, bukan hanya dipengaruhi oleh jalur Gowa-Tallo, melainkan juga memiliki akar kuat dari jaringan maritim Maluku dan sekitarnya.

 

Masyarakat Wotu mengenang Syekh Mahmud sebagai tokoh yang membawa tradisi fiqh mazhab Hanafi. Hal ini membedakan corak awal Islam di Wotu dengan kebanyakan wilayah lain di Nusantara yang lebih banyak mengikuti mazhab Syafi‘i. Warisan Hanafi yang diperkenalkan Syekh Mahmud menunjukkan adanya keterkaitan dengan jalur Islamisasi yang lebih luas, termasuk kemungkinan kontak dengan komunitas Muslim dari India Tengah atau Asia Tengah yang memang berafiliasi pada mazhab tersebut.

 

Kehadiran mazhab Hanafi di Wotu juga memberi warna dalam praktik keagamaan masyarakat setempat. Meskipun pada akhirnya mazhab Syafi‘i menjadi dominan di seluruh Sulawesi Selatan, jejak Hanafi tetap tercatat dalam memori lisan masyarakat. Hal ini menunjukkan adanya keragaman tradisi fiqh dalam sejarah Islamisasi Nusantara yang tidak tunggal, tetapi kaya akan interaksi antarmazhab.

 

Perjalanan panjang Syekh Mahmud tidak bisa dilepaskan dari peranannya sebagai ulama perantau. Ia melintasi jalur laut yang penuh tantangan demi menyebarkan Islam. Dari Ternate yang saat itu menjadi salah satu pusat penting Islam di Maluku, ia bergerak ke Luwuk Banggai yang menjadi simpul strategis pelayaran, lalu menuju Wotu yang dikenal sebagai pintu masuk ke wilayah Luwu. Pilihan jalur ini mencerminkan pemahaman mendalam terhadap peta pelayaran dan perniagaan masa itu.

 

Dengan latar demikian, Wotu menjadi salah satu simpul penting dalam sejarah penyebaran Islam di Sulawesi Selatan. Posisi geografisnya yang strategis membuat daerah ini tidak terisolasi, tetapi justru terbuka bagi arus perdagangan, budaya, dan agama. Syekh Mahmud hadir tepat dalam momentum itu, sehingga ajarannya dapat diterima secara lebih luas dan cepat oleh masyarakat.

 

Tutur lisan masyarakat Wotu tentang kehadiran Syekh Mahmud juga menunjukkan bagaimana sejarah lokal memainkan peran besar dalam pembentukan identitas Islam di Sulawesi. Cerita tentang “Bae maensomo” tidak sekadar sebuah jawaban, melainkan simbol penerimaan masyarakat terhadap Islam sebagai bagian dari kehidupan mereka sejak lama. Islam hadir bukan melalui paksaan, tetapi melalui jalur budaya dan persuasif yang sesuai dengan karakter masyarakat pesisir.

 

Peran Syekh Mahmud sebagai penasehat Cheng Ho sekaligus muballigh menegaskan bahwa Islam masuk ke Nusantara tidak bisa dipisahkan dari dinamika global. Jalur pelayaran Tiongkok, Maluku, hingga Sulawesi menjadi saksi pertemuan peradaban yang kemudian melahirkan corak Islam Nusantara yang khas. Dalam konteks itu, Wotu dan Luwu bukan wilayah pinggiran, melainkan bagian dari arus besar sejarah maritim dunia.

 

Seiring waktu, memori tentang Syekh Mahmud tetap hidup dalam masyarakat. Nama Mahwang yang disematkan kepadanya mengandung penghormatan, sementara gelar Syekh Mahmud menegaskan kedudukan religiusnya. Kehadiran tokoh ini menjadi bagian penting dari narasi besar bahwa Islam di Sulawesi Selatan sudah lebih dulu berakar sebelum kedatangan Islam yang dibawa kerajaan-kerajaan besar.

 

Cerita tentang Syekh Mahmud juga mengajarkan bahwa sejarah Islam di Nusantara tidak bisa dilihat secara seragam. Ada jalur-jalur alternatif yang menegaskan betapa luas dan beragamnya corak Islamisasi. Di Wotu, jalur timur memainkan peran yang sama pentingnya dengan jalur barat. Hal ini memperkaya pemahaman kita tentang sejarah Islam di Luwu dan Sulawesi Selatan pada umumnya.

 

Dengan demikian, kisah tutur lisan masyarakat Wotu tentang Syekh Mahmud bukan sekadar legenda, melainkan bagian dari sejarah maritim dan keagamaan Nusantara. Ia memperlihatkan bahwa sejak akhir abad ke-14, Wotu sudah menjadi bagian dari peta besar penyebaran Islam. Jejak itu masih hidup hingga kini, menjadi warisan kultural sekaligus bukti bahwa Islam di Nusantara berakar kuat dalam jaringan global, namun tetap membumi dalam kehidupan lokal.

 

Oleh: Zaenuddin Endy

Komunitas Pecinta Indonesia, Nusantara, dan Ulama (KOPINU)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *