Jejak Syekh Muhammad Al-Jufri di Wotu, Luwu Timur

Zaenuddin Endy Direktur Pangadereng Institut (PADI) 
banner 468x60

Syekh Muhammad Al-Jufri merupakan salah satu tokoh penting dalam proses Islamisasi di kawasan timur Luwu, khususnya di Wotu. Ia dikenal oleh masyarakat setempat sebagai ulama yang berperan besar memperkenalkan ajaran Islam, sekaligus menjadi figur spiritual yang dihormati hingga kini. Nama Al-Jufri mengisyaratkan garis keturunan Arab, khususnya dari keluarga Ba’Alawi Hadramaut, yang banyak melahirkan ulama perantau di Nusantara.

 

Tradisi lisan masyarakat Wotu menyebutkan bahwa Syekh Al-Jufri tiba di wilayah ini sekitar abad ke-17. Kedatangannya bertepatan dengan masa penguatan Islam di Sulawesi Selatan setelah penerimaan Islam oleh kerajaan-kerajaan besar, termasuk Gowa, Tallo, dan Luwu. Kehadirannya memperkuat posisi Wotu sebagai salah satu titik dakwah Islam di pesisir timur Sulawesi.

 

Salah satu peninggalan penting dari Syekh Muhammad Al-Jufri adalah kompleks makamnya di Desa Lampenai, Kecamatan Wotu, Luwu Timur. Makam tersebut kini dikenal sebagai Makam Syekh Al-Jufri dan telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Pemerintah Kabupaten Luwu Timur pada tahun 2023. Penetapan ini menunjukkan nilai sejarah dan spiritual yang tinggi dari tokoh ini.

 

Kompleks makam tersebut menjadi tujuan ziarah masyarakat lokal maupun dari daerah lain. Tradisi ziarah ini tidak hanya bernuansa religius, tetapi juga menegaskan kedudukan Syekh Al-Jufri sebagai wali dan penyebar Islam yang berjasa besar. Aktivitas ziarah rutin biasanya dilakukan pada bulan-bulan tertentu dalam kalender Islam, terutama saat Maulid Nabi dan bulan Ramadan.

 

Jejak Syekh Muhammad Al-Jufri tidak hanya terlihat dari makamnya, tetapi juga dari tradisi keagamaan masyarakat Wotu. Banyak ritual Islam bercampur dengan adat lokal yang diyakini berasal dari proses dakwahnya yang mengedepankan pendekatan budaya. Hal ini sejalan dengan metode para ulama perantau Hadrami yang terkenal lentur dalam mengintegrasikan Islam dengan kearifan lokal.

 

Keturunan dan murid-murid Syekh Al-Jufri diyakini masih ada hingga kini. Mereka dikenal sebagai penjaga tradisi keagamaan dan kultural Wotu. Nama Al-Jufri juga banyak ditemui pada silsilah keluarga atau sanad keilmuan, yang menunjukkan kesinambungan dakwah Islam di wilayah tersebut.

 

Sebagai seorang ulama perantau, Syekh Al-Jufri membawa tradisi keilmuan Islam yang kuat. Dakwahnya diperkirakan meliputi pengajaran dasar-dasar syariat, tauhid, serta pembinaan akhlak masyarakat. Ia dikenal lebih menekankan aspek moral dan tata kehidupan Islami ketimbang perdebatan teologis yang kaku, sehingga Islam diterima dengan baik oleh masyarakat Wotu.

 

Peran Syekh Muhammad Al-Jufri juga memperkuat posisi Wotu sebagai simpul dakwah Islam di jalur perdagangan. Sebagai wilayah pesisir yang berhubungan dengan Maluku, Buton, dan Jawa, Wotu menjadi pintu masuk interaksi budaya dan agama. Kehadiran Syekh Al-Jufri memungkinkan Islam tumbuh lebih cepat di kawasan ini karena mendapat dukungan jaringan ulama dan saudagar Muslim.

 

Kisah tentang Syekh Al-Jufri juga terkait dengan jaringan para wali di Sulawesi Selatan. Meski tidak seterkenal Dato’ ri Pattimang atau Dato’ ri Bandang, namun perannya di Wotu melengkapi peta besar islamisasi di kawasan Luwu Raya. Ia menegaskan bahwa Islam tidak hanya berkembang di pusat kerajaan, tetapi juga di daerah pesisir yang menjadi jalur lalu lintas dagang.

 

Dalam perspektif budaya, keberadaan Syekh Muhammad Al-Jufri menandai awal pergeseran nilai masyarakat Wotu. Ajaran Islam yang dibawanya mampu menyesuaikan dengan tradisi lokal sehingga tidak menimbulkan benturan keras. Seiring waktu, tradisi lokal Wotu menyatu dengan ajaran Islam dalam bentuk ritual, hukum adat, maupun kehidupan sehari-hari.

 

Keberhasilan dakwah Syekh Al-Jufri dapat dipahami dalam kerangka teori difusi agama yang menekankan peran figur karismatik. Karismanya sebagai ulama Arab perantau sekaligus wali menjadikan masyarakat Wotu memberikan kepercayaan penuh. Dengan itu, ajaran Islam bisa berakar kuat di wilayah ini hingga kini.

 

Dari sisi arkeologi dan sejarah, makam Syekh Al-Jufri kini menjadi salah satu objek penelitian penting. Penetapan sebagai cagar budaya membuka peluang kajian lebih dalam mengenai kronologi dakwah, jaringan ulama, serta interaksi budaya di Luwu Timur. Hal ini juga sejalan dengan upaya pelestarian warisan Islam Nusantara yang semakin mendapat perhatian akademik.

 

Syekh Muhammad Al-Jufri juga menjadi simbol persambungan dunia Arab-Hadrami dengan dunia lokal Sulawesi. Jejaknya memperlihatkan bahwa islamisasi di Nusantara tidak hanya berlangsung lewat kerajaan-kerajaan besar, tetapi juga melalui ulama perantau yang berinteraksi langsung dengan masyarakat pesisir.

 

Dengan demikian, jejak Syekh Muhammad Al-Jufri di Wotu adalah cerminan dari proses islamisasi yang damai, berbasis budaya, dan berkelanjutan. Warisan spiritualnya tidak hanya hidup di makam dan tradisi ziarah, tetapi juga dalam struktur keagamaan dan sosial masyarakat Wotu hingga kini.

 

 

Oleh: Zaenuddin Endy

Direktur Pangadereng Institut (PADI)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *