KH. Abdullah Syamsuri merupakan salah satu ulama besar yang memberi warna penting dalam sejarah perkembangan Islam di Bone. Beliau lahir sekitar tahun 1918 dan merupakan keturunan keluarga ulama yang memiliki akar kuat dalam tradisi keilmuan Islam. Ayahnya, KH. Syamsuddin, pernah bermukim di Makkah dan menjadi pengajar, sementara kakeknya, Muhammad Nuruddin Assagaf, merupakan figur penting yang mendapat posisi terhormat dari Kerajaan Bone. Latar belakang keluarga inilah yang membentuk fondasi spiritual dan intelektual KH. Abdullah Syamsuri sejak usia dini.
Masa mudanya banyak diwarnai dengan tradisi pendidikan Islam yang disiplin. Ia dikenal telah menguasai Al-Qur’an 30 juz di usia belia dan mendalami sejumlah kitab klasik. Sejak remaja, kecerdasannya sudah menonjol, sehingga ia sering menjadi rujukan bagi orang-orang di sekitarnya. Keunggulan intelektual ini kemudian menjadikannya bukan hanya seorang penghafal, melainkan juga pengamal ilmu agama yang konsisten. Kemampuan tersebut menjadi modal besar ketika kelak ia kembali ke Bone dan membaktikan diri dalam dakwah serta pendidikan.
Sekitar tahun 1930-an, KH. Abdullah Syamsuri kembali ke Bone bersama sang ayah. Mereka menghidupkan sebuah langgar kecil di Lonrae yang sempat terbengkalai. Langgar tersebut menjadi pusat penyebaran agama Islam, tempat masyarakat belajar membaca Al-Qur’an, memahami dasar-dasar fikih, dan mengenal akhlak. Dari titik inilah kiprah dakwahnya semakin dikenal luas, sebab beliau mampu memadukan ketegasan ajaran agama dengan pendekatan yang santun kepada masyarakat.
Kiprahnya tidak berhenti pada kegiatan mengajar secara sederhana. Pada usia 17 tahun, KH. Abdullah Syamsuri sudah mulai berdakwah secara lebih sistematis. Ceramah-ceramahnya dikenal sangat kaya, dan masyarakat Bone mengingat bahwa selama bulan Ramadan ia mampu menyampaikan materi berbeda setiap malam tanpa pengulangan. Hal ini menunjukkan keluasan ilmunya sekaligus kemampuannya menyusun narasi dakwah yang kontekstual.
Tidak hanya aktif dalam pendidikan agama, KH. Abdullah Syamsuri juga mengambil peran dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Ia tercatat bergabung dalam barisan BPRB “Keris Terhunus”, sebuah kesatuan yang berjuang melawan penjajah. Keterlibatan ini memperlihatkan bahwa ia bukan hanya seorang ulama yang berdiam di mimbar, tetapi juga seorang pejuang yang peduli pada masa depan bangsa.
Setelah Indonesia merdeka, KH. Abdullah Syamsuri semakin meneguhkan kiprahnya dalam lembaga formal. Ia diangkat sebagai Imam Masjid Raya Watampone, sebuah posisi prestisius yang memperlihatkan pengakuan masyarakat terhadap otoritas keagamaannya. Dari mimbar masjid tersebut, ia tidak hanya membimbing umat dalam ibadah, tetapi juga menanamkan kesadaran moral dan sosial.
Selain itu, beliau juga dipercaya menjadi Ketua pertama Pengadilan Agama Syariah di Watampone. Peran ini menegaskan kontribusinya dalam bidang hukum Islam. Ia berusaha mengintegrasikan nilai-nilai syariah dengan praktik hukum yang berlaku di masyarakat. Dengan kebijaksanaannya, KH. Abdullah Syamsuri mampu menjaga keseimbangan antara hukum agama dan kebutuhan masyarakat.
Dedikasinya terhadap pendidikan dan pemberdayaan umat semakin nyata ketika ia merenovasi langgar di Lonrae pada tahun 1968. Tempat ibadah itu kemudian dinamai Masjid An-Nur’AIN. Tidak sekadar berfungsi sebagai masjid, bangunan ini menjadi pusat kegiatan keagamaan, sosial, dan pendidikan. Melalui masjid ini, KH. Abdullah Syamsuri membangun generasi yang beriman sekaligus peduli terhadap sesama.
Masyarakat Bone melihat sosok KH. Abdullah Syamsuri sebagai pribadi karismatik. Penampilannya yang sederhana namun berwibawa—selalu dengan jubah, baju kurung, dan tubuh yang tegap—membuatnya dihormati oleh siapa pun yang berinteraksi dengannya. Wibawa ini bukan hanya lahir dari penampilan, melainkan juga dari ketulusan dan konsistensinya dalam mengamalkan ajaran Islam.
Di mata keluarga, beliau adalah sosok ayah yang sabar dan tidak memaksakan pandangan. Ia memberikan kebebasan kepada anak-anaknya untuk menentukan jalan hidup masing-masing. Sikap ini menunjukkan filosofi pendidikan yang sangat modern: mendidik dengan keteladanan, bukan dengan paksaan. Dengan begitu, beliau menjadi contoh nyata bagaimana Islam mengajarkan kelembutan sekaligus ketegasan dalam mendidik keluarga.
KH. Abdullah Syamsuri juga dikenal inovatif dalam berdakwah. Ia mampu menggabungkan metode tradisional dengan pendekatan modern sehingga ajarannya dapat diterima oleh berbagai lapisan masyarakat. Strategi dakwah ini membuatnya dihormati, bukan hanya di kalangan santri atau masyarakat awam, tetapi juga oleh elit pemerintahan dan tokoh-tokoh Bone.
Di tengah keberagaman masyarakat Bone, beliau menekankan pentingnya nilai kesetaraan. Baginya, semua umat memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan agama dan bimbingan moral. Prinsip ini membuat dakwahnya terasa inklusif, mampu merangkul berbagai kalangan, dan jauh dari sikap eksklusif yang memisahkan antara kelompok masyarakat.
Salah satu ciri khas dakwah KH. Abdullah Syamsuri adalah kemampuannya membumikan nilai-nilai Al-Qur’an ke dalam kehidupan sehari-hari. Ia selalu menekankan pentingnya kesabaran, kerja keras, dan keikhlasan. Tiga nilai ini tidak hanya diajarkan dalam ceramah, tetapi juga tercermin dalam kehidupannya sehari-hari. Masyarakat melihat langsung bahwa apa yang beliau ajarkan juga yang beliau praktikkan.
Pengaruh KH. Abdullah Syamsuri terus melekat hingga hari ini. Banyak muridnya yang melanjutkan tradisi dakwah dan pendidikan di Bone. Masjid yang ia bangun masih berdiri sebagai saksi bisu perjuangan dan dedikasinya. Jejak langkahnya membuktikan bahwa peran ulama bukan hanya mengurus urusan akhirat, tetapi juga berkontribusi nyata dalam pembangunan sosial dan kebangsaan.
Dari sosok KH. Abdullah Syamsuri, kita belajar bahwa ulama sejati adalah mereka yang mampu menyeimbangkan peran spiritual, intelektual, sosial, dan politik. Ia hadir sebagai guru, hakim, imam, sekaligus pejuang bangsa. Kehadirannya menjadi penopang moral masyarakat Bone, bahkan setelah beliau wafat.
Dengan demikian, KH. Abdullah Syamsuri bukan hanya bagian dari sejarah lokal Bone, tetapi juga bagian dari sejarah Islam di Sulawesi Selatan. Jejaknya menunjukkan keterhubungan antara dakwah, pendidikan, perjuangan bangsa, dan penguatan hukum Islam. Warisan itu kini menjadi inspirasi generasi baru untuk melanjutkan perjuangan dalam menjaga iman, moral, dan cinta tanah air.
Oleh: Zaenuddin Endy
Wakil Ketua Lakpesdam NU Sulawesi Selatan 2024-2029







