Syekh Mahmud Abdul Jawad al-Madani adalah salah seorang ulama besar yang memberikan pengaruh signifikan dalam sejarah perkembangan pendidikan Islam di Sulawesi Selatan, khususnya di Bone. Ia berasal dari Madinah dan termasuk ulama yang melarikan diri dari negerinya akibat pergolakan politik antara kelompok Wahhabi dan penguasa Syarifah di Hijaz. Dalam perjalanannya, ia sempat singgah di India dan Singapura sebelum akhirnya tiba di Nusantara. Kehadirannya di Bone tidak hanya sebagai seorang perantau, melainkan sebagai pembawa cahaya ilmu dan reformasi pendidikan Islam.
Kedatangan Syekh Mahmud Abdul Jawad di Bone mendapat sambutan baik dari penguasa lokal. Raja Bone ke-32, Andi Mappanyukki, melihat kapasitas keilmuannya yang tinggi, sehingga mengundangnya untuk memimpin pendidikan Islam yang sedang berkembang di daerah tersebut. Langkah ini menunjukkan adanya kesadaran politik sekaligus religius bahwa pendidikan Islam perlu dikelola secara lebih sistematis dan modern. Peran Abdul Jawad menjadi sangat penting dalam merumuskan arah baru pendidikan Islam di Bone pada awal abad ke-20.
Salah satu sumbangsih terbesar Syekh Mahmud Abdul Jawad adalah kepemimpinannya di Madrasah Amiriyah Islamiyah di Watampone. Lembaga ini berdiri pada tahun 1933 atas prakarsa Raja Bone bersama Kadi Bone, KH. Abdul Hamid. Dalam rentang waktu kurang lebih tiga belas tahun (1933–1948), ia menjadi tokoh sentral yang menata kurikulum, metode pengajaran, sekaligus mencetak generasi terpelajar Islam di Bone. Madrasah Amiriyah merupakan simbol transformasi pendidikan dari pola pengajian tradisional berbasis masjid menuju lembaga yang lebih formal dan terstruktur.
Namun, kiprahnya tidak berhenti pada pendidikan formal. Syekh Mahmud Abdul Jawad juga aktif memberi pengajian kitab klasik di Masjid Al-Mujahidin, salah satu masjid tertua di Watampone. Masjid tersebut menjadi pusat halaqah, tempat santri, masyarakat, dan bangsawan Bone belajar langsung darinya. Tradisi halaqah ini melanjutkan model dakwah Islam tradisional yang sudah berlangsung sebelumnya, tetapi ia mengintegrasikannya dengan wawasan keilmuan modern yang dibawanya dari Timur Tengah.
Keberadaan Syekh Mahmud Abdul Jawad menjadi penghubung antara tradisi keilmuan Haramain (Mekkah dan Madinah) dengan masyarakat Bugis. Dalam hal ini, ia tidak hanya berperan sebagai guru yang mentransfer ilmu, melainkan juga sebagai mediator budaya. Ia menghadirkan praktik keilmuan khas Timur Tengah ke dalam konteks lokal Bugis, tanpa meniadakan tradisi yang sudah ada. Dengan demikian, Islam yang berkembang di Bone pada masa itu semakin kaya dengan corak universal sekaligus tetap berakar pada kearifan lokal.
Selain menjadi pendidik, Syekh Mahmud Abdul Jawad turut memberi warna dalam kehidupan sosial keagamaan masyarakat Bone. Ia dikenal dekat dengan para bangsawan dan tokoh agama, sehingga mampu mempengaruhi kebijakan keagamaan kerajaan. Ia juga dianggap sebagai sosok penyeimbang yang meneguhkan posisi Islam sebagai dasar moral dan spiritual masyarakat Bone, di tengah derasnya pengaruh kolonialisme dan perubahan sosial pada masa itu.
Tidak mengherankan jika banyak tokoh kemudian yang menimba ilmu darinya, baik langsung maupun tidak langsung. Hubungan sanad keilmuan ini menjadi salah satu warisan penting, sebab ulama-ulama Bone yang muncul di kemudian hari banyak yang merupakan murid atau penerus pemikirannya. Bahkan, nama Syekh Mahmud Abdul Jawad tercatat dalam rantai keilmuan beberapa tokoh penting seperti KH. Ali Yafie, yang pernah menjadi Rais Am PBNU dan ulama nasional.
Madrasah Amiriyah yang dipimpinnya menandai lahirnya generasi baru Muslim terdidik di Bone. Para lulusan madrasah ini banyak melanjutkan kiprahnya di masyarakat, baik sebagai kiai, guru, maupun pegawai kerajaan. Dengan demikian, lembaga tersebut tidak hanya berfungsi sebagai pusat ilmu, tetapi juga sebagai kawah candradimuka pembentukan elite intelektual Islam di Bone. Hal ini memperlihatkan bagaimana peran Abdul Jawad sangat strategis dalam pembangunan sumber daya manusia berbasis nilai-nilai Islam.
Di sisi lain, kedatangan Syekh Mahmud Abdul Jawad juga mencerminkan dinamika global Islam pada masa itu. Migrasi ulama dari Haramain ke Nusantara bukanlah fenomena tunggal, melainkan bagian dari arus besar jaringan ulama yang menyebarkan ilmu di berbagai wilayah. Sulawesi Selatan, khususnya Bone, menjadi salah satu titik penting dalam jaringan ini. Kehadirannya menegaskan bahwa perkembangan Islam di Bugis tidak dapat dilepaskan dari keterhubungan global, baik melalui jalur haji, perdagangan, maupun mobilitas ulama.
Meski telah wafat, jejaknya tetap hidup dalam tradisi pendidikan Islam di Bone. Madrasah Amiriyah dan Masjid Al-Mujahidin yang pernah menjadi pusat aktivitasnya masih berdiri, sekalipun telah mengalami perubahan dan perkembangan. Kenangan kolektif masyarakat Bone terhadap dirinya tetap kuat, terutama di kalangan pesantren dan keluarga ulama. Jejak ini memperlihatkan bahwa sosok Abdul Jawad bukan sekadar guru sementara, melainkan peletak dasar pendidikan Islam modern di Bone.
Dalam perspektif sejarah pendidikan, kontribusi Syekh Mahmud Abdul Jawad dapat dilihat sebagai fase transisi. Ia menjembatani antara pola tradisional yang berbasis surau dan masjid dengan sistem madrasah modern yang lebih terstruktur. Hal ini sejalan dengan dinamika pendidikan Islam di berbagai wilayah Nusantara pada masa awal abad ke-20, di mana sistem madrasah mulai bermunculan sebagai respons terhadap tantangan modernitas dan kolonialisme.
Dari sisi keilmuan, ia memperkenalkan disiplin fiqh, tafsir, hadis, dan akhlak yang diajarkan dengan pendekatan baru. Pengajaran kitab kuning tetap menjadi tradisi utama, tetapi diperkaya dengan metode klasikal dan penekanan pada disiplin ilmu yang lebih sistematis. Dengan demikian, generasi Muslim Bone memperoleh pemahaman yang lebih luas dan mendalam mengenai ajaran Islam, sekaligus siap menghadapi perubahan sosial politik yang sedang berlangsung.
Kiprah Syekh Mahmud Abdul Jawad di Bone juga dapat dipandang sebagai bagian dari perlawanan kultural terhadap kolonialisme Belanda. Dengan menguatkan pendidikan Islam, ia membangun basis moral dan intelektual masyarakat untuk tidak mudah terpengaruh oleh sistem pendidikan kolonial. Pendidikan yang ia kembangkan meneguhkan identitas keislaman masyarakat Bone, sekaligus memperkuat rasa kebangsaan dan kemandirian.
Syekh Mahmud Abdul Jawad dikenang sebagai ulama perantau yang menanamkan jejak mendalam di tanah Bugis. Ia membawa keilmuan dari Madinah, menanamkannya di Watampone, dan melahirkan generasi penerus yang menyebarkan kembali ilmunya. Jejaknya merupakan bukti nyata keterhubungan antara dunia Islam internasional dengan kehidupan lokal masyarakat Bone. Hingga kini, namanya tetap terpatri dalam sejarah sebagai guru, pendidik, dan pelopor pendidikan Islam di Sulawesi Selatan.
Oleh: Zaenuddin Endy
Wakil Ketua Lakpesdam NU Sulawesi Selatan 2024-2029