Di dataran tinggi Enrekang, berdiri sebuah masjid tua yang menjadi saksi perjalanan panjang Islam di tanah Massenrempulu. Masjid ini dikenal dengan sebutan Masjid Tua Tondon atau Langgara’, dan diyakini berusia lebih dari 400 tahun. Di balik bangunan kayu sederhana tersebut, tersimpan nama besar seorang tokoh yang dikenal sebagai Nene’ Saimi. Beliau adalah sosok yang pertama kali menjadi imam sekaligus khatib Jumat di masjid itu, sekaligus pelopor hadirnya tradisi Islam yang membaur dengan adat lokal.
Nene’ Saimi bukan sekadar tokoh agama, tetapi juga figur yang mampu menjembatani nilai-nilai Islam dengan kearifan masyarakat adat Enrekang. Pada masa itu, Islam belum sepenuhnya merata di kawasan pedalaman Sulawesi Selatan. Melalui pendekatan damai, Nene’ Saimi mengajarkan syariat tanpa menyingkirkan tradisi. Hal ini terlihat dari berbagai ritual budaya yang tetap dilestarikan di sekitar Masjid Tua Tondon, seperti Maccera Manurung atau Ma’damulu Banua, yang kini berpadu dengan spirit keislaman.
Kehadiran masjid di puncak bukit batu andesit bukanlah kebetulan semata. Lokasi itu dulunya merupakan pusat pemukiman masyarakat, sekaligus tempat berbagai situs megalitik. Dengan mendirikan masjid di atasnya, Nene’ Saimi seolah ingin menegaskan bahwa Islam tidak menghapus jejak leluhur, melainkan melanjutkan peradaban yang lebih luhur. Masjid menjadi simbol transformasi budaya, di mana spiritualitas lama dan ajaran Islam bertemu dalam harmoni.
Arsitektur Masjid Tua Tondon sendiri mencerminkan kesederhanaan sekaligus kekuatan. Dibangun dari kayu pilihan seperti cena’ duri dan cendana, masjid berbentuk rumah panggung ini berdiri di atas batu seluas 300 meter persegi. Ia memiliki 25 tiang penyangga, atap berlapis, serta ventilasi berupa jendela di empat arah mata angin. Bentuknya yang khas menunjukkan kejeniusan arsitektur lokal yang berpadu dengan kebutuhan fungsi ibadah umat Islam kala itu.
Seiring waktu, masjid ini tidak hanya menjadi tempat salat, tetapi juga pusat kehidupan sosial dan budaya. Di sinilah masyarakat Tondon berkumpul untuk melaksanakan hari raya, musyawarah, maupun acara adat yang diberi sentuhan Islami. Keberadaan masjid ini memperlihatkan bahwa Islam di Enrekang tumbuh dalam jalan damai, jauh dari pemaksaan, melainkan diterima sebagai kebutuhan spiritual dan sosial masyarakat.
Nene’ Saimi kemudian mewariskan tradisi keimaman kepada keturunannya. Nama-nama seperti Nene’ Kepe, Toa, Tajang, Tappe, Latou, hingga Lasule tercatat sebagai penerus yang menjaga fungsi masjid dari generasi ke generasi. Hal ini menegaskan bahwa Islam di daerah ini berkembang secara organik melalui jalur keluarga dan komunitas, bukan semata lewat dakwah formal dari luar.
Kisah Nene’ Saimi juga memperlihatkan pentingnya pendekatan kultural dalam penyebaran Islam. Beliau tidak menolak tradisi, tetapi mengislamkan nilai-nilai lokal sehingga masyarakat merasa bahwa ajaran baru ini selaras dengan kehidupan mereka. Inilah yang menjadikan Islam di Enrekang mampu berakar kuat, karena lahir dari keterhubungan dengan tanah dan adat setempat.
Keberadaan Masjid Tua Tondon hingga kini menjadi daya tarik sejarah sekaligus destinasi spiritual. Banyak peziarah, peneliti, hingga wisatawan budaya yang datang untuk menyaksikan warisan ini. Di satu sisi, masjid itu meneguhkan keislaman masyarakat Enrekang, sementara di sisi lain ia juga menjadi penanda identitas lokal yang khas. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya integrasi antara agama dan budaya dalam membangun peradaban.
Meski usianya telah mencapai empat abad, masjid ini masih berdiri kokoh di puncak bukit. Daya tahannya bukan hanya pada kayu yang digunakan, tetapi juga pada nilai yang dipelihara oleh masyarakat. Nilai itu adalah keyakinan bahwa agama dan adat adalah dua sisi yang bisa berjalan bersama dalam menjaga harmoni sosial. Semangat inilah yang diwariskan Nene’ Saimi kepada generasi setelahnya.
Dalam konteks yang lebih luas, jejak Nene’ Saimi di Enrekang menjadi contoh penting bagi sejarah Islam di Sulawesi Selatan. Bila di pesisir Islam hadir melalui jalur perdagangan dan kerajaan, maka di pedalaman ia berkembang melalui tokoh lokal yang mengakar di tengah komunitasnya. Pola ini menjelaskan mengapa Islam di Enrekang diterima tanpa perlawanan, bahkan menjadi bagian dari jati diri masyarakat hingga kini.
Keunikan lain dari peninggalan Nene’ Saimi adalah keberlangsungan ritual keagamaan yang bercorak lokal. Upacara-upacara seperti Mi’cing Malillin tetap diadakan di sekitar masjid, menunjukkan bahwa Islam tidak menutup ruang bagi ekspresi budaya. Justru dengan adanya akulturasi ini, masyarakat merasa lebih dekat dengan ajaran agama, karena mereka menemukan cerminan diri dalam ritual-ritual yang mereka jalani.
Warisan spiritual Nene’ Saimi juga meneguhkan pentingnya keteladanan pemimpin agama. Ia bukan hanya imam di masjid, tetapi juga teladan dalam kehidupan sehari-hari. Sikapnya yang sederhana, bijaksana, dan terbuka membuat masyarakat mudah menerima ajaran yang dibawanya. Dengan demikian, Islam tidak hadir sebagai dogma asing, melainkan sebagai jalan hidup yang membumi.
Kini, Masjid Tua Tondon telah menjadi situs sejarah yang diakui sebagai salah satu peninggalan penting Islam di Sulawesi Selatan. Pemerintah daerah, lembaga pendidikan, hingga tokoh masyarakat terus mendorong pelestariannya agar generasi muda tidak tercerabut dari akar sejarahnya. Di tengah derasnya arus modernisasi, kisah Nene’ Saimi menjadi pengingat bahwa identitas lokal dan religius dapat berjalan beriringan.
Jejak Nene’ Saimi di Enrekang bukan hanya tentang bangunan masjid tua, tetapi juga tentang nilai-nilai kebijaksanaan, kedamaian, dan keberlanjutan tradisi. Ia adalah simbol bahwa Islam di Nusantara tumbuh dengan wajah ramah, menghargai budaya, dan menjunjung tinggi persaudaraan. Dari puncak Tondon, warisan itu terus bergaung, mengajarkan generasi bahwa agama sejatinya adalah jalan untuk merawat harmoni, bukan merusaknya.
Oleh: Zaenuddin Endy
Wakil Ketua Lakpesdam PWNU Sulawesi Selatan 2024-2029