Syekh Abdul Qadir Jaelani Daeng Parukka Tajul Arifin: Jejak Spiritualitas di Turikale Maros

Zaenuddin Endy Wakil Ketua Lakpesdam NU Sulawesi Selatan 2024-2029
banner 468x60

Syekh Abdul Qadir Jaelani Daeng Parukka Tajul Arifin, yang juga dikenal sebagai Andi Sanrima Daeng Parukka, merupakan salah satu figur penting dalam sejarah Islam di Sulawesi Selatan, khususnya di wilayah Maros. Beliau dikenal luas sebagai Karaeng Turikale ke-IV, seorang tokoh yang tidak hanya memimpin secara politik, tetapi juga menjadi sentral dalam pengembangan spiritualitas masyarakat melalui tarekat Khalwatyah Samman. Gelar keagamaannya, yang dihubungkan dengan nama besar Syekh Abdul Qadir al-Jaelani Tajul Arifin, menjadi simbol kharisma dan legitimasi spiritual dalam memimpin komunitas religius di kawasan tersebut.

 

Pada abad ke-19, ketika dinamika sosial politik Sulawesi Selatan mengalami berbagai pergolakan, peran tokoh agama menjadi semakin signifikan. Andi Sanrima Daeng Parukka tampil sebagai seorang pemimpin yang berusaha mengintegrasikan nilai-nilai agama Islam dengan kehidupan masyarakat adat Turikale. Perannya menandai sebuah transformasi, di mana otoritas lokal tidak hanya ditentukan oleh garis keturunan, tetapi juga oleh kemampuan spiritual dan kecakapan dalam membimbing masyarakat menuju jalan keagamaan yang lebih mendalam.

 

Salah satu warisan monumental dari Syekh Abdul Qadir Jaelani Daeng Parukka adalah pendirian Masjid Urwatul Wutsqa pada tahun 1854. Masjid ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, melainkan juga sebagai pusat aktivitas tarekat Khalwatyah Samman. Dari masjid inilah kemudian berkembang tradisi zikir berjamaah yang khas, yang hingga kini masih dipertahankan oleh komunitas Khalwatyah di Maros. Masjid Urwatul Wutsqa menjadi saksi bisu perjalanan spiritual masyarakat Turikale yang berakar dari ajaran-ajaran sang karaeng.

 

Keberadaan tarekat Khalwatyah Samman di Turikale meneguhkan peran Maros sebagai salah satu pusat penting perkembangan sufisme di Sulawesi Selatan. Tarekat ini dikenal dengan praktik zikir yang khas dan penguatan spiritualitas yang mendalam. Syekh Abdul Qadir Jaelani Daeng Parukka memainkan peran vital dalam mengokohkan jaringan tarekat tersebut, sehingga Maros menjadi destinasi penting bagi para pencari jalan tasawuf. Hal ini menunjukkan bahwa beliau bukan sekadar pemimpin lokal, tetapi juga seorang mursyid yang dihormati.

 

Dalam tradisi lisan masyarakat setempat, nama Syekh Abdul Qadir Jaelani Daeng Parukka selalu disebut dengan penuh hormat. Kisah-kisah tentang kewara’an, kealimannya, serta kharisma kepemimpinan beliau diwariskan turun-temurun. Bahkan hingga kini, masyarakat Turikale masih merasakan pengaruh ajaran beliau, terutama dalam tradisi peringatan Maulid Nabi yang dilaksanakan secara akbar dan dihadiri oleh ribuan jamaah dari berbagai daerah. Tradisi ini bukan sekadar ritual, melainkan wujud nyata keberlanjutan warisan spiritual yang telah dirintis oleh beliau.

 

Turikale sendiri menjadi sebuah ruang sakral yang menyimpan jejak sejarah panjang Islamisasi lokal. Selain sebagai pusat pemerintahan Karaeng Turikale, wilayah ini juga menjelma menjadi pusat dakwah Islam yang berorientasi pada tarekat. Kehadiran Syekh Abdul Qadir Jaelani Daeng Parukka menjadikan Turikale bukan sekadar pusat politik, tetapi juga pusat spiritual yang menyatukan masyarakat dalam nilai-nilai sufistik. Hal ini memperlihatkan peran penting tokoh agama dalam membentuk identitas budaya sekaligus religius masyarakat Maros.

 

Salah satu ciri penting kepemimpinan Syekh Abdul Qadir Jaelani Daeng Parukka adalah kemampuannya menyatukan komunitas melalui pendekatan spiritual. Zikir tarekat yang beliau wariskan menjadi medium pemersatu, di mana masyarakat tidak lagi terikat hanya pada ikatan genealogis atau adat, tetapi juga dipersatukan oleh spiritualitas Islam. Dengan cara ini, beliau berhasil membangun basis sosial yang kuat, sekaligus menanamkan nilai moderasi dan kebersamaan.

 

Hingga kini, Masjid Urwatul Wutsqa di Turikale masih berdiri tegak sebagai simbol sejarah dan spiritualitas. Masjid tersebut telah mengalami beberapa kali renovasi, tetapi tetap mempertahankan nilai historis dan makna religiusnya. Bagi jamaah tarekat Khalwatyah, masjid ini bukan sekadar tempat shalat, tetapi juga ruang sakral di mana mereka dapat menghidupkan kembali ajaran dan zikir yang diwariskan oleh Syekh Abdul Qadir Jaelani Daeng Parukka. Oleh sebab itu, masjid ini kerap dijadikan destinasi ziarah dan pusat peringatan Maulid.

 

Setiap tahun, ribuan jamaah Khalwatyah Samman datang ke Turikale untuk mengikuti peringatan Maulid Akbar. Tradisi ini memperlihatkan betapa kuatnya ikatan spiritual antara masyarakat dengan warisan yang ditinggalkan oleh Syekh Abdul Qadir Jaelani Daeng Parukka. Bagi masyarakat, kehadiran dalam acara tersebut bukan hanya sekadar menghadiri ritual, melainkan sebuah upaya menyambung silsilah spiritual dengan para mursyid dan leluhur mereka. Inilah yang membuat ajaran tarekat tetap relevan hingga kini.

 

Jejak Syekh Abdul Qadir Jaelani Daeng Parukka juga terlihat dalam struktur sosial masyarakat Maros. Kehadiran beliau memperkuat legitimasi otoritas keagamaan di samping otoritas politik. Dengan demikian, masyarakat Turikale belajar untuk memandang pemimpin bukan hanya dari garis keturunan, melainkan juga dari kualitas keagamaan dan spiritualitas yang dimiliki. Hal ini membentuk sebuah tradisi kepemimpinan yang khas, di mana seorang karaeng bisa sekaligus menjadi mursyid.

 

Meskipun informasi mengenai makam beliau tidak terdokumentasi secara jelas dalam sumber tertulis, tradisi lisan masyarakat tetap menyebut nama Syekh Abdul Qadir Jaelani Daeng Parukka dengan penuh penghormatan. Jejak fisiknya mungkin lebih sulit ditemukan, tetapi jejak spiritualnya tetap hidup dalam ingatan kolektif masyarakat. Kehadiran masjid, tradisi tarekat, serta ritual-ritual keagamaan yang diwariskan menjadi bukti nyata keberlanjutan warisan beliau.

 

Dalam perspektif akademis, figur Syekh Abdul Qadir Jaelani Daeng Parukka penting dikaji sebagai representasi dari sinkretisme politik dan spiritual di Sulawesi Selatan. Beliau memperlihatkan bagaimana seorang tokoh lokal dapat memainkan peran ganda: sebagai pemimpin politik sekaligus pemimpin tarekat. Hal ini mencerminkan dinamika Islamisasi di kawasan Nusantara, di mana tokoh agama sering kali juga mengisi posisi kepemimpinan lokal. Dengan demikian, sejarah beliau memberikan gambaran utuh tentang proses integrasi Islam dengan budaya lokal.

 

Jejak beliau juga memperlihatkan pentingnya peran tarekat dalam memperkuat identitas religius masyarakat. Tarekat bukan hanya fenomena spiritual, tetapi juga menjadi instrumen sosial yang mampu membentuk komunitas religius yang solid. Syekh Abdul Qadir Jaelani Daeng Parukka berhasil menjadikan tarekat Khalwatyah Samman sebagai bagian dari identitas kultural masyarakat Turikale, sehingga mereka tetap mampu mempertahankan tradisi keagamaan meskipun zaman terus berubah.

 

Dengan demikian, Syekh Abdul Qadir Jaelani Daeng Parukka adalah figur yang meninggalkan warisan besar bagi masyarakat Maros. Beliau bukan hanya dikenang sebagai Karaeng Turikale ke-IV, tetapi juga sebagai seorang mursyid yang menyalakan api spiritualitas tarekat. Masjid Urwatul Wutsqa yang beliau dirikan, tradisi zikir yang diwariskan, serta Maulid Akbar yang terus dilaksanakan menjadi bukti bahwa jejaknya tetap hidup. Sosok beliau menegaskan bahwa kepemimpinan sejati lahir dari kombinasi antara kekuatan politik, keilmuan agama, dan ketulusan spiritual.

 

 

 

Oleh:Zaenuddin Endy

Koordinator Instruktur PKPNU Sulawesi Selatan

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *