Puangta Lona, atau yang dikenal dengan nama Syekh Ahmad Saleh Zaqiatuddin yang nama Bugisnya La Maddusila, adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah penyebaran Islam di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Sosoknya tidak hanya dikenang sebagai ulama, tetapi juga sebagai pewaris tradisi spiritual yang kuat, sehingga namanya terus hidup dalam ingatan masyarakat Bugis hingga kini. Julukan “Puangta Lona” disematkan kepadanya karena kediaman dan makamnya berada di kawasan Lona, Kelurahan Cellu, Kecamatan Tanete Riattang Timur, Bone.
Kehadiran Puangta Lona di tengah masyarakat Bone mencerminkan peran ulama sebagai pengikat nilai keislaman dengan budaya lokal. Ia dikenal bukan hanya karena ilmunya, tetapi juga kebijaksanaan dan keteguhannya dalam menjaga tradisi dakwah. Dari generasi ke generasi, masyarakat Bugis Bone menyebut namanya dengan penuh hormat, menempatkannya sebagai figur yang patut dijadikan teladan dalam menjalankan kehidupan religius.
Menurut tradisi tutur lisan masyarakat Bone, Puangta Lona diyakini hidup pada masa pemerintahan Raja Bone ke-VI, La Uliyu Bote’e, yang memerintah antara tahun 1535 hingga 1560. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaannya bersamaan dengan periode awal pengaruh Islam mulai masuk dan berkembang di kawasan Bugis. Meski Islam baru diresmikan sebagai agama kerajaan Bone pada masa Raja Bone ke-X, La Tenri Tappu (1611), peran ulama-ulama awal seperti Puangta Lona telah mempersiapkan landasan spiritual yang kuat di kalangan masyarakat.
Sejarah lisan juga menyebutkan bahwa Puangta Lona merupakan seorang alim yang mendalami ilmu agama hingga tingkat tinggi. Ia diyakini menguasai ilmu tafsir, fikih, tasawuf, dan juga menghafal Al-Qur’an. Ilmu tersebut tidak hanya diperoleh dari pengajian lokal, tetapi juga dari jejaring ulama di Sulawesi Selatan pada masanya. Jaringan keilmuan ini menjadikannya bagian dari mata rantai ulama yang turut membentuk corak Islam Bugis yang damai, moderat, dan dekat dengan nilai-nilai budaya.
Dalam tradisi masyarakat Bone, ulama seperti Puangta Lona seringkali menjadi rujukan bukan hanya dalam masalah agama, tetapi juga persoalan sosial dan budaya. Beliau dianggap sebagai tokoh yang mampu memberikan jalan tengah ketika masyarakat menghadapi persoalan hidup. Perannya sebagai ulama karismatik memperlihatkan bahwa dakwah Islam di Bone selalu berdampingan dengan kearifan lokal, sehingga Islam tidak hadir secara kaku, melainkan berakar pada kehidupan masyarakat sehari-hari.
Selain ilmu dan kebijaksanaannya, Puangta Lona dikenal sebagai figur spiritual yang mendalam. Doa-doanya diyakini memiliki kekuatan, sehingga banyak masyarakat datang kepadanya untuk meminta nasihat dan berkah. Karisma inilah yang membuat namanya tetap harum hingga kini, bahkan setelah beliau wafat. Ziarah ke makamnya menjadi tradisi yang masih dijaga, baik sebagai bentuk penghormatan maupun sebagai sarana spiritual untuk mendoakan sang ulama.
Makam Puangta Lona yang terletak di Lingkungan Lona, Kelurahan Cellu, Bone, hingga kini menjadi salah satu situs religius yang ramai dikunjungi. Tidak hanya warga setempat, peziarah dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan datang untuk berziarah, berdoa, dan mengenang jasa-jasanya. Kehadiran makam ini menjadikan Bone tidak hanya sebagai pusat sejarah politik Bugis, tetapi juga sebagai salah satu pusat spiritualitas Islam yang berakar kuat di tanah Sulawesi.
Keterkaitan antara Islam dan budaya Bugis terlihat jelas dalam jejak Puangta Lona. Dakwah yang ia lakukan senantiasa menekankan harmoni, kesederhanaan, dan kebersamaan. Nilai-nilai ini sejalan dengan falsafah hidup Bugis seperti siri’ na pacce, yang mengajarkan tentang harga diri dan solidaritas sosial. Dengan demikian, dakwahnya tidak menegasikan tradisi, melainkan meneguhkannya dalam bingkai nilai Islam yang universal.
Pentingnya peran Puangta Lona juga dapat dilihat dalam konteks jaringan ulama di Sulawesi Selatan. Ia diyakini memiliki hubungan keilmuan dengan para ulama besar yang menjadi penggerak dakwah Islam di kawasan Bugis-Makassar, termasuk mereka yang mendapat sanad keilmuan dari Timur Tengah. Jejak intelektual ini memperlihatkan bahwa Islam di Bone tidak berkembang secara terisolasi, melainkan menjadi bagian dari arus besar Islamisasi di Nusantara.
Bagi masyarakat Bone, kisah Puangta Lona bukan hanya bagian dari sejarah, melainkan juga sumber inspirasi dalam kehidupan sehari-hari. Kisah-kisah tentang ketekunannya dalam beribadah, kecintaannya pada Al-Qur’an, dan sikap rendah hatinya masih sering dituturkan dari mulut ke mulut. Tradisi tutur ini menjaga agar keteladanan sang ulama tidak hilang ditelan zaman, tetapi tetap hidup sebagai nilai yang menuntun generasi berikutnya.
Pentingnya menjaga makam Puangta Lona juga menjadi bagian dari kesadaran kolektif masyarakat Bone. Situs makam ini dipandang bukan sekadar tempat peristirahatan terakhir, melainkan simbol kontinuitas tradisi keagamaan. Dengan menjaga makam tersebut, masyarakat seakan menjaga hubungan spiritual dengan ulama yang telah berjasa membimbing mereka menuju kehidupan yang berlandaskan Islam.
Sejumlah penelitian akademik juga mulai menaruh perhatian pada figur Puangta Lona. Ia dianggap sebagai representasi ulama Bugis yang mampu menyatukan peran keagamaan dengan tradisi lokal. Dalam konteks historiografi Islam di Sulawesi Selatan, Puangta Lona menempati posisi penting dalam mengisi celah antara sejarah kerajaan Bone dan sejarah dakwah Islam. Hal ini menunjukkan bahwa ulama tidak dapat dilepaskan dari dinamika sosial budaya masyarakat Bugis.
Di era modern, penghormatan terhadap tokoh seperti Puangta Lona tetap relevan. Dalam konteks moderasi beragama, nilai-nilai yang diwariskan melalui dakwahnya dapat menjadi fondasi bagi terciptanya kehidupan sosial yang harmonis. Prinsip dakwah yang damai, akomodatif, dan menghargai tradisi lokal selaras dengan upaya menjaga kerukunan di tengah masyarakat yang semakin kompleks.
Jejak Puangta Lona mengingatkan kita bahwa penyebaran Islam di Nusantara bukan semata-mata hasil kekuatan politik atau militer, tetapi juga buah dari kesungguhan ulama dalam mendakwahkan agama dengan cara-cara yang lembut dan bijaksana. Dengan pendekatan yang arif, ajaran Islam dapat diterima oleh masyarakat Bugis tanpa menimbulkan benturan dengan nilai-nilai kearifan lokal.
Pada akhirnya, Puangta Lona adalah simbol perpaduan antara Islam dan Bugis, antara agama dan budaya, antara teks suci dan realitas kehidupan. Namanya terus diingat bukan hanya sebagai ulama, tetapi juga sebagai penjaga moralitas dan spiritualitas masyarakat Bone. Dengan menjaga warisan ini, generasi Bugis hari ini dan masa depan akan tetap terhubung dengan akar sejarah dan spiritualitas yang kokoh.
Oleh:Zaenuddin Endy
Pengurus Lakpesdam PWNU Sulawesi Selatan 2024-2029