La Patiware’ Daeng Parabung: Raja Luwu Pertama yang Menerima Islam

Zaenuddin Endy Koordinator Instruktur Pendidikan Kader Penggerak Nusantara (PKPNU) Sulawesi Selatan
banner 468x60

La Patiware’ Daeng Parabung adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah Islamisasi Sulawesi Selatan. Ia dikenal sebagai Datu Luwu ke-15 yang memerintah sekitar akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-17. Dalam sejarah lokal, ia dikenang sebagai raja pertama di Sulawesi Selatan yang memeluk agama Islam, sebuah peristiwa monumental yang menandai awal perubahan sosial, politik, dan keagamaan di kawasan ini. Dengan masuknya La Patiware’ ke dalam Islam, kerajaan Luwu menjadi pusat awal dakwah Islam yang kemudian menyebar ke berbagai wilayah lain di jazirah Sulawesi Selatan.

Proses konversi La Patiware’ Daeng Parabung tidak terjadi secara mendadak, melainkan melalui dialog dan dakwah damai yang dilakukan oleh seorang ulama asal Minangkabau, Datuk Sulaiman atau dikenal sebagai Dato’ ri Patimang. Tokoh ulama ini memiliki pengaruh yang besar dalam mengajarkan nilai-nilai Islam kepada kalangan bangsawan Luwu. Melalui pendekatan yang bijak dan penuh hikmah, ajaran Islam diterima oleh raja tanpa adanya peperangan atau pemaksaan. Hal ini menunjukkan bahwa Islam di Luwu berkembang lewat jalan damai, berbeda dengan gambaran umum Islamisasi di beberapa wilayah lain.

Konversi sang raja terjadi pada tanggal 15 atau 16 Ramadan 1013 Hijriah, bertepatan dengan 4 atau 5 Februari 1605 Masehi. Tanggal ini menjadi tonggak penting yang kemudian dikenang sebagai momentum resmi masuknya Islam di Tana Luwu. Setelah mengucapkan syahadat, La Patiware’ mengganti gelarnya menjadi Sultan Muhammad Wali Mu’z’hir al-din. Gelar ini bukan sekadar simbol, tetapi juga penegasan bahwa kekuasaan yang ia pegang kini disandarkan pada nilai-nilai agama. Transformasi politik ini menjadi titik balik perjalanan sejarah Luwu, sebab setelah itu Islam mulai mengakar dalam kehidupan masyarakat.

Penerimaan Islam oleh La Patiware’ Daeng Parabung memberikan legitimasi politik dan keagamaan bagi penyebaran Islam di Sulawesi Selatan. Ketika seorang raja menerima Islam, maka rakyat dan bangsawan di bawahnya cenderung mengikuti jejak tersebut. Hal ini memperlihatkan pentingnya otoritas politik dalam proses islamisasi. Tidak heran jika setelah peristiwa itu, Islam cepat berkembang ke kerajaan-kerajaan tetangga seperti Gowa, Tallo, Soppeng, Wajo, dan Bone. Luwu menjadi contoh awal bagaimana agama dapat masuk melalui jalur kekuasaan tanpa harus mengabaikan kearifan lokal.

Setelah masuk Islam, La Patiware’ berperan besar dalam mendukung pembangunan institusi keagamaan. Salah satu simbol penting adalah berdirinya Masjid Tua Palopo yang hingga kini masih berdiri sebagai saksi bisu Islamisasi Luwu. Masjid ini tidak hanya menjadi pusat ibadah, melainkan juga pusat pembelajaran Islam. Kehadiran masjid tersebut menandakan bahwa Islam di Luwu sejak awal tidak hanya bersifat seremonial, tetapi juga diarahkan untuk membangun komunitas beriman yang berlandaskan pada syariat.

Selain pembangunan masjid, perubahan lain yang dilakukan oleh La Patiware’ adalah pembentukan jabatan qadhi atau hakim agama. Keberadaan qadhi di kerajaan menandakan penerapan hukum Islam dalam beberapa aspek kehidupan masyarakat. Hal ini menunjukkan keseriusan sang raja dalam menjadikan Islam sebagai bagian dari tatanan sosial-politik. Dengan demikian, Islam tidak hanya berhenti sebagai keyakinan pribadi, tetapi juga menjadi landasan hukum yang mengatur masyarakat Luwu.

Peranan Datuk Sulaiman dalam mendampingi La Patiware’ sangatlah besar. Ia bukan hanya guru agama, melainkan juga penasihat raja dalam hal-hal yang berkaitan dengan penerapan syariat. Dari titik inilah kemudian muncul jaringan ulama lokal yang melanjutkan dakwah Islam ke berbagai pelosok. Mereka mengajarkan Al-Qur’an, fikih, dan tasawuf kepada masyarakat, sehingga Islam makin membumi di Tana Luwu. Kombinasi antara kekuasaan politik raja dan bimbingan spiritual ulama menjadi kunci keberhasilan Islamisasi di wilayah ini.

Islamisasi Luwu di masa La Patiware’ berlangsung relatif damai. Tidak ditemukan catatan tentang perlawanan besar-besaran dari masyarakat. Hal ini bisa dipahami karena ajaran Islam diperkenalkan secara bijaksana, serta mampu menyesuaikan diri dengan tradisi lokal. Islam tidak datang untuk menghapus kearifan yang sudah ada, melainkan melengkapinya dengan nilai-nilai tauhid dan akhlak. Inilah yang membuat masyarakat Luwu dapat menerima Islam tanpa rasa keterasingan.

Setelah peristiwa konversi itu, Luwu semakin dikenal sebagai gerbang awal Islamisasi di Sulawesi Selatan. Peran La Patiware’ sebagai raja Muslim pertama memberi teladan yang diikuti oleh kerajaan-kerajaan lain. Gowa-Tallo kemudian menyusul masuk Islam pada 1605, disusul oleh kerajaan-kerajaan Bugis pada dekade berikutnya. Dengan demikian, posisi Luwu dalam sejarah Islamisasi Sulawesi tidak dapat diabaikan.

Pemindahan ibu kota kerajaan dari Malangke ke Palopo juga memiliki kaitan erat dengan perkembangan Islam. Palopo dipilih sebagai pusat pemerintahan baru yang lebih representatif untuk mengembangkan ajaran agama. Di sana pula dibangun berbagai institusi Islam yang memperkuat posisi Luwu sebagai kerajaan Muslim. Pemindahan ini menegaskan bahwa Islam tidak hanya hadir dalam ranah simbolik, tetapi juga membentuk struktur politik dan budaya baru.

Sejak saat itu, Luwu menjadi basis kuat Islam di jazirah Sulawesi Selatan. Perkembangan Islam di Luwu kemudian melahirkan tokoh-tokoh ulama lokal yang berpengaruh, yang meneruskan ajaran Dato’ ri Patimang dan mengokohkan warisan La Patiware’. Hingga kini, masyarakat Luwu masih menghormati peran besar sang raja dan menjadikan peristiwa masuk Islamnya sebagai bagian dari identitas budaya dan spiritual.

Dalam historiografi Islamisasi Indonesia, peran La Patiware’ Daeng Parabung sering disejajarkan dengan raja-raja awal Muslim di Jawa, Maluku, dan Kalimantan. Ia menjadi simbol bagaimana kepemimpinan politik dapat mempercepat proses penerimaan Islam. Namun, yang membedakannya adalah cara Islam masuk ke Luwu—tanpa penaklukan militer, melainkan dengan dialog dan persuasif. Inilah yang membuat kisahnya menjadi teladan hingga kini.

Jejak Islamisasi yang dimulai oleh La Patiware’ tidak hanya meninggalkan bangunan fisik seperti masjid, tetapi juga warisan spiritual yang masih terasa. Tradisi-tradisi keagamaan di Luwu tetap berakar kuat dan menjadi bagian dari identitas masyarakat. Dengan demikian, peran La Patiware’ bukan hanya dalam konteks politik, melainkan juga dalam membentuk jati diri masyarakat Muslim Luwu.

La Patiware’ Daeng Parabung dikenang bukan hanya sebagai penguasa, tetapi juga sebagai pionir yang membawa bangsanya memasuki era baru. Keputusannya untuk memeluk Islam membuka jalan bagi transformasi besar yang hingga kini masih dirasakan dampaknya. Dari Luwu, Islam menyebar ke berbagai pelosok Sulawesi Selatan, menjadikannya salah satu pusat penting dalam sejarah Islam di Nusantara. Warisan itu masih hidup, menjadi bagian dari narasi panjang perjalanan spiritual dan budaya bangsa.

 

Zaenuddin Endy
Koordinator Instruktur Pendidikan Kader Penggerak Nusantara (PKPNU) Sulawesi Selatan

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *