Jejak Syekh Abdullah Bafadal di Pompanua: Ulama Hadramaut di Tanah Bugis

Zaenuddin Endy Komunitas Pecinta Indonesia, Nusantara, dan Ulama (KOPINU)
banner 468x60

Syekh Abdullah Bafadal merupakan salah satu ulama keturunan Hadramaut (Yaman) yang jejaknya meninggalkan pengaruh penting dalam sejarah Islam di Sulawesi Selatan, khususnya di Pompanua, Kabupaten Bone. Kehadirannya menjadi bukti nyata bagaimana jaringan ulama Arab-Hadrami memainkan peran signifikan dalam membentuk corak keagamaan dan tradisi spiritual di Tanah Bugis pada abad ke-19.

 

Kehidupan beliau di Pompanua tidak dapat dilepaskan dari gelombang migrasi para sayyid dan habaib dari Hadramaut ke kepulauan Nusantara. Migrasi ini tidak hanya bernuansa ekonomi, melainkan juga membawa misi dakwah. Para ulama Hadramaut dikenal dekat dengan tradisi tasawuf, dan mereka umumnya mendirikan pusat pengajaran agama di daerah yang mereka singgahi. Syekh Abdullah Bafadal termasuk di antara ulama yang mengambil peran besar dalam proses tersebut.

 

Catatan sejarah mengindikasikan bahwa Syekh Abdullah hadir di Sulawesi Selatan sekitar awal 1800-an. James Brooke, seorang bangsawan Inggris yang berkelana ke wilayah Nusantara pada tahun 1840, menyinggung dalam jurnalnya tentang sosok Arab yang sangat dihormati oleh para raja di kawasan TellumpoccoE. Peneliti kemudian menduga bahwa tokoh tersebut adalah Syekh Abdullah Bafadal. Catatan ini menegaskan posisi beliau sebagai figur spiritual sekaligus penasihat yang memiliki pengaruh politik dan sosial.

 

Pompanua pada masa itu merupakan kawasan penting dalam lalu lintas perniagaan dan perhubungan antara Bone dengan wilayah sekitarnya. Kehadiran seorang ulama besar seperti Syekh Abdullah memberikan warna tersendiri dalam kehidupan keagamaan masyarakat. Dakwah yang beliau lakukan tidak hanya terbatas pada pengajaran fiqh dan tauhid, melainkan juga menekankan pada dimensi tasawuf sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah.

 

Salah satu bentuk kontribusi beliau adalah membentuk jaringan murid dan pengikut yang kemudian berkembang menjadi komunitas religius. Para muridnya bukan hanya berasal dari kalangan masyarakat biasa, tetapi juga dari bangsawan Bugis yang tertarik pada ajaran spiritual. Melalui jalur inilah, pengaruh Syekh Abdullah terus meluas hingga ke berbagai pelosok Bone.

 

Pemerintah kolonial Belanda dalam catatan administratifnya menyebut keberadaan komunitas murid-murid Syekh Abdullah di Ajangale dan Pompanua. Mereka dianggap sebagai kelompok dengan ikatan solidaritas kuat, bahkan dipandang sebagai potensi basis perlawanan terhadap penetrasi kolonial. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh seorang ulama pada masa itu tidak hanya bersifat spiritual, tetapi juga menyentuh aspek sosial-politik.

 

Keturunan Syekh Abdullah hingga kini masih hidup di Sulawesi Selatan, terutama di kawasan Pompanua dan sekitarnya. Meskipun sebagian dari mereka mengalami kesulitan menelusuri silsilah secara lengkap, namun tradisi lisan tetap menjaga memori tentang sosok leluhur mereka. Dalam banyak keluarga, nama beliau disebut dalam doa dan menjadi kebanggaan identitas kultural.

 

Salah satu bentuk penghormatan masyarakat Pompanua terhadap Syekh Abdullah adalah penamaan masjid. Tercatat, Masjid Nurul Hidayah yang berdiri pada tahun 1942 kerap dihubungkan dengan nama beliau, meskipun tidak dibangun langsung pada masa hidupnya. Fenomena ini menandakan bahwa ingatan kolektif masyarakat masih terus mengaitkan keberadaan masjid dengan warisan spiritual Syekh Abdullah.

 

Hingga saat ini, keberadaan makam beliau masih menyimpan tanda tanya besar. Beberapa kalangan meyakini bahwa beliau dimakamkan di sekitar Pompanua, namun informasi pastinya sulit diverifikasi. Tidak adanya penanda yang jelas membuat peneliti harus mengandalkan tradisi lisan dan catatan kolonial sebagai sumber informasi. Hal ini menantang, tetapi sekaligus membuka ruang bagi kajian historis yang lebih mendalam.

 

Jika ditilik dari peran dan pengaruhnya, Syekh Abdullah Bafadal dapat disebut sebagai penghubung penting antara Islam transnasional dan Islam lokal. Beliau membawa tradisi keilmuan dari Hadramaut, namun tetap mampu berdialog dengan tradisi lokal Bugis. Pendekatan yang adaptif inilah yang membuat dakwahnya diterima dan diwariskan lintas generasi.

 

Kehadiran beliau juga menunjukkan betapa eratnya hubungan Bugis dengan dunia Islam global. Jalur migrasi dari Hadramaut ke Nusantara bukan hanya fenomena demografis, melainkan juga jaringan intelektual dan spiritual. Dari titik ini, Pompanua menjadi bagian dari peta besar pertemuan budaya Islam lintas kawasan.

 

Dari perspektif sosiologi agama, Syekh Abdullah berperan sebagai cultural broker yang mempertemukan Islam universal dengan kearifan lokal Bugis. Beliau tidak menegasikan tradisi lokal, tetapi mengajarkannya dalam kerangka Islam yang moderat. Pola dakwah ini sesuai dengan karakter masyarakat Bugis yang menjunjung tinggi adat (pangngadereng) sekaligus membuka diri pada nilai-nilai baru.

 

Seiring berjalannya waktu, pengaruh Syekh Abdullah memang mengalami pergeseran. Nama beliau tidak seterkenal tokoh-tokoh ulama Bugis lain yang meninggalkan naskah tertulis. Namun, justru di situlah letak keunikan sosoknya: warisannya lebih hidup dalam ingatan lisan, tradisi keluarga, dan simbol-simbol keagamaan yang melekat di Pompanua.

 

Dengan demikian, jejak Syekh Abdullah Bafadal di Pompanua merepresentasikan potret Islam yang transnasional sekaligus lokal. Beliau adalah ulama penghubung antara Hadramaut dan Bugis, yang menanamkan nilai spiritual sekaligus membangun solidaritas sosial. Untuk memulihkan gambaran utuh tentang sosok beliau, diperlukan penelitian lanjutan melalui arsip kolonial, manuskrip tarekat, maupun studi etnografi di Pompanua. Hingga hari ini, nama Syekh Abdullah tetap dikenang sebagai ulama yang meletakkan pondasi penting bagi spiritualitas masyarakat Bugis.

 

Zaenuddin Endy

Komunitas Pecinta Indonesia, Nusantara, dan Ulama (KOPINU)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *