Sulawesi Selatan menyimpan banyak kisah tentang ulama dan penyebar Islam yang jejaknya masih bisa dirasakan hingga hari ini. Salah satunya adalah Pallipa Pute’e, tokoh yang diyakini sebagai wali penyebar Islam di wilayah Pinrang. Nama beliau terus disebut dalam tradisi lisan masyarakat, dipelihara dalam ritual ziarah, dan diabadikan melalui peninggalan-peninggalan historis yang masih terjaga hingga kini. Jejak Pallipa Pute bukan hanya menghadirkan catatan sejarah keagamaan, melainkan juga memperlihatkan akulturasi antara Islam dan budaya lokal Bugis-Makassar.
Makam Pallipa Pute berada di Kampung Katteong, Desa Samaenre, Kecamatan Mattiro Sompe, Kabupaten Pinrang. Letaknya yang relatif dekat dari pusat kota membuat situs ini mudah dijangkau oleh peziarah maupun peneliti. Makamnya terlindung oleh cungkup sederhana yang dahulu dibuat dari bilah bambu sebelum digantikan oleh bangunan permanen. Dua batu nisan berbentuk menhir berdiri di sana, berdampingan dengan dua nisan lain, melambangkan kesederhanaan sekaligus sakralitas.
Masyarakat setempat meyakini bahwa setiap ziarah ke makam Pallipa Pute harus dilakukan dengan tata krama khusus. Peziarah diwajibkan mencuci kaki di sumur tua yang dahulu dipakai beliau untuk berwudhu, mengenakan sarung, serta meluruskan niat. Tradisi ini menjadi bagian dari etika spiritual yang menegaskan bahwa ziarah bukanlah sekadar aktivitas wisata, melainkan ibadah yang disertai penghormatan. Uniknya, ziarah hanya dilakukan pada hari Senin dan Kamis, mengikuti wasiat beliau semasa hidup. Batasan waktu ini bukan sekadar teknis, tetapi sarat simbolik—hari yang identik dengan puasa sunnah dan peningkatan spiritualitas.
Selain makam dan sumur, salah satu peninggalan paling berharga dari Pallipa Pute adalah Alqur’an kuno dengan tulisan tangan beliau sendiri. Kitab ini hanya dikeluarkan dalam prosesi adat tertentu yang disebut maddoa. Terbuat dari kertas Belanda abad ke-18–19 dengan merek Propatria dan HR VAN LYL, mushaf ini menjadi bukti otentik bagaimana Islam di Pinrang tidak hanya hadir melalui dakwah lisan, tetapi juga tertulis. Warisan semacam ini memperlihatkan bahwa Pallipa Pute tidak hanya seorang penyiar agama, tetapi juga seorang intelektual yang mengabadikan ajaran Islam melalui karya tulis.
Di kompleks makam juga ditemukan berbagai artefak lain, seperti cangkir, cerek, pakaian, badik, dan tempat air minum. Semua ini memperlihatkan integrasi antara kehidupan sehari-hari, adat Bugis, dan simbol-simbol religius. Bahkan sumur di lokasi tersebut dipercaya menyimpan berkah. Tradisi lokal bercerita tentang kehadiran ular penjaga sumur sebagai simbol perlindungan spiritual, sebuah narasi mistis yang menguatkan posisi Pallipa Pute sebagai figur karismatik.
Seiring berjalannya waktu, legenda tentang karamah beliau turut mengakar dalam ingatan kolektif masyarakat. Konon, Pallipa Pute mampu menunggang kuda menyeberangi laut menuju Mekkah, atau masjid tempat beliau mengimami salat ikut miring saat kopiahnya bergeser, lalu kembali tegak setelah beliau memperbaikinya. Kisah-kisah semacam ini, meski sulit diverifikasi secara empiris, tetap penting dalam kerangka antropologi agama karena memperlihatkan bagaimana masyarakat membangun simbol-simbol karismatik untuk meneguhkan iman dan tradisi.
Menelusuri jejak Pallipa Pute di Pinrang berarti melihat titik temu antara agama, budaya, dan sejarah. Di satu sisi, beliau dikenang sebagai penyebar Islam yang berhasil menanamkan ajaran agama dengan pendekatan penuh kearifan. Di sisi lain, peninggalan fisik dan ritual yang diwariskan memperlihatkan bagaimana Islam dipraktikkan secara kontekstual dan membumi. Tidak mengherankan jika hingga kini makam Pallipa Pute menjadi salah satu situs ziarah penting yang ramai didatangi masyarakat pada hari-hari tertentu.
Warisan ini menjadi pengingat bahwa Islam di Nusantara, khususnya di Pinrang, tumbuh melalui jalur kultural yang damai, penuh simbol, dan sarat nilai lokal. Jejak Pallipa Pute menegaskan pentingnya pelestarian situs-situs sejarah keagamaan, bukan hanya sebagai tempat ziarah spiritual, melainkan juga sebagai sumber pengetahuan dan identitas kolektif. Bagi akademisi, situs ini menyimpan potensi penelitian lintas disiplin; sejarah Islam lokal, antropologi ritual, hingga studi manuskrip. Bagi masyarakat, ia tetap menjadi ruang doa dan harapan.
Pada akhirnya, jejak Pallipa Pute bukan sekadar kisah masa lalu. Ia adalah jembatan antara sejarah dan masa kini, antara spiritualitas dan budaya, serta antara manusia dengan Tuhannya.
Oleh:Zaenuddin Endy
Komunitas Pecinta Indonesia dan NUsantara (KOPI-NU)