AG. KH. Abdul Latif Amin adalah salah satu ulama kharismatik yang memiliki peran besar dalam sejarah pendidikan Islam di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Lahir pada 1 Desember 1929 di Watampone, beliau tumbuh di tengah keluarga yang menanamkan nilai-nilai keislaman sejak dini. Ayahnya, H. Muhammad Yamin, dan ibunya, Hj. Patimasang, berasal dari Desa Pallengoreng, Bone. Lingkungan keluarga yang religius membentuk kepribadian KH. Abdul Latif Amin sebagai sosok alim, sederhana, dan memiliki dedikasi tinggi dalam membina umat. Dari kecil, beliau sudah menunjukkan kecintaan pada ilmu agama, menghafal bacaan-bacaan penting, dan aktif dalam kegiatan keagamaan di kampungnya.
Perjalanan pendidikan beliau dimulai dari pengajaran agama di lingkungan keluarga, lalu berlanjut ke pesantren. Ketekunannya menuntut ilmu membuatnya dikenal di kalangan guru-guru agama dan ulama setempat. Setelah menempuh berbagai jenjang pendidikan agama, beliau mengabdikan diri untuk mengajar, memberikan ceramah, dan mendampingi santri. Jiwa pendidiknya yang kuat membuatnya tergerak untuk membangun lembaga pendidikan Islam yang tidak hanya berorientasi pada tradisi, tetapi juga mampu menjawab kebutuhan zaman. Hal ini kelak menjadi salah satu ciri kepemimpinan beliau di Pondok Pesantren Al-Junaidiyah Biru.
Pada tahun 1968, KH. Abdul Latif Amin diamanahkan untuk memimpin Pondok Pesantren Al-Junaidiyah Biru. Kepemimpinannya membawa angin perubahan bagi pesantren tersebut. Beliau menata sistem pembelajaran yang sebelumnya masih sederhana menjadi lebih terstruktur. Selain pendidikan kitab kuning dan kajian agama, beliau mulai memperkenalkan kurikulum formal sehingga santri memiliki bekal pengetahuan umum yang cukup. Upaya ini menunjukkan visi beliau yang luas: memadukan kekuatan pendidikan tradisional pesantren dengan sistem pendidikan modern agar para santri siap berkiprah di masyarakat secara lebih luas.
Langkah besar lainnya terjadi pada tahun 1986 ketika beliau mendirikan Madrasah Tsanawiyah di lingkungan pesantren. Keputusan ini merupakan tonggak penting dalam pengembangan pesantren Al-Junaidiyah Biru. Madrasah ini memberikan jalur pendidikan formal yang diakui negara, sehingga para santri memperoleh ijazah resmi tanpa harus meninggalkan pendidikan agama yang menjadi ruh pesantren. Inisiatif ini memperkuat posisi pesantren sebagai lembaga yang relevan dengan perkembangan zaman sekaligus menjaga tradisi keilmuan Islam.
Selain fokus pada pendidikan, KH. Abdul Latif Amin dikenal sebagai ulama yang memiliki kepedulian sosial tinggi. Beliau kerap terlibat dalam kegiatan masyarakat, memberikan tausiyah, memimpin pengajian, dan menjadi rujukan dalam penyelesaian masalah keagamaan. Sifatnya yang rendah hati membuatnya mudah diterima oleh berbagai kalangan, dari pejabat hingga rakyat biasa. Beliau percaya bahwa pesantren harus hadir di tengah masyarakat, menjadi pusat pencerahan, bukan sekadar tempat menuntut ilmu.
Gaya kepemimpinannya yang humanis membuat hubungan antara beliau dan santri sangat dekat. Beliau tidak hanya menjadi guru, tetapi juga orang tua yang membimbing santri dengan kasih sayang. Banyak santri yang kemudian menjadi ulama, guru, dan tokoh masyarakat, meneruskan semangat dakwah dan pendidikan yang beliau wariskan. Santri-santrinya mengenang beliau sebagai sosok yang tegas dalam prinsip, tetapi lembut dalam sikap.
Dari sisi keluarga, KH. Abdul Latif Amin menikah dengan Hj. Andi Mudhar Petta Hj. Suka pada tahun 1953 dan dikaruniai sebelas anak. Kehidupan keluarga beliau dijalani dengan kesederhanaan, meski memimpin pesantren besar. Anak-anaknya dididik untuk menghormati ilmu dan mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Keluarga ini menjadi teladan dalam membangun keharmonisan rumah tangga di tengah kesibukan mengurus lembaga pendidikan dan masyarakat.
Peran beliau tidak hanya terbatas di pesantren, tetapi juga di organisasi keagamaan. KH. Abdul Latif Amin dipercaya menjabat sebagai Rais Syuriah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Bone selama beberapa periode. Dalam kapasitas tersebut, beliau menjadi pengayom dan penentu arah kebijakan keagamaan di daerah, memastikan NU di Bone tetap berjalan sesuai manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah. Kepemimpinannya yang bijak membuat NU di Bone berkembang sebagai organisasi yang mampu memadukan dakwah, pendidikan, dan pelayanan sosial.
Kontribusinya terhadap pendidikan Islam di Bone tidak hanya dirasakan di lingkungan pesantren, tetapi juga memengaruhi perkembangan pendidikan agama di daerah sekitarnya. Banyak tokoh pendidikan dan ulama di Sulawesi Selatan yang mengakui peran beliau dalam memperluas akses pendidikan berbasis pesantren. Melalui jaringan santri dan alumni, gagasan beliau tentang pentingnya mengintegrasikan pendidikan agama dan umum menyebar ke berbagai pesantren lain.
Dalam pandangan banyak pihak, KH. Abdul Latif Amin adalah ulama pembaru yang tetap memegang teguh tradisi. Pembaruan yang beliau lakukan tidak memutus mata rantai sanad keilmuan, tetapi justru menguatkannya dengan menambah kemampuan santri di bidang ilmu pengetahuan modern. Hal ini sejalan dengan semangat Ahlussunnah wal Jama’ah yang menjadi landasan pesantren Al-Junaidiyah Biru.
Hingga akhir hayatnya, KH. Abdul Latif Amin tetap aktif membimbing santri dan masyarakat. Beliau wafat meninggalkan warisan berharga berupa sistem pendidikan pesantren yang berkelanjutan, jaringan alumni yang kuat, dan teladan akhlak yang mulia. Makam beliau kini menjadi salah satu tempat ziarah bagi mereka yang ingin mengenang jasa dan perjuangannya dalam menegakkan pendidikan Islam.
Warisan KH. Abdul Latif Amin terus hidup di hati santri, alumni, dan masyarakat Bone. Pesantren Al-Junaidiyah Biru yang beliau kembangkan tetap menjadi pusat pendidikan Islam yang disegani. Nilai-nilai yang beliau tanamkan adalah keikhlasan, integritas, pengabdian, dan kepedulian sosial, menjadi inspirasi bagi generasi penerus untuk terus melanjutkan perjuangan membangun peradaban melalui pendidikan dan dakwah yang berkesinambungan.
Oleh:Zaenuddin Endy
Ketua Harian DPP IKAPM Al-Junaidiyah Bone