Di tengah arus perubahan sosial dan tantangan keberagamaan yang kompleks, sosok ulama yang mampu memadukan kedalaman ilmu, kearifan lokal, dan komitmen kebangsaan menjadi sangat langka dan berharga. KH. Ali Yafi’i adalah salah satu tokoh langka tersebut. Lahir dari tradisi pesantren Bugis-Makassar yang kuat, beliau menjelma menjadi jembatan penting antara keulamaan lokal Sulawesi Selatan dan dinamika keislaman nasional. Kiprah dan warisannya menjadi bukti bahwa Islam rahmatan lil ‘alamin bisa tumbuh dari tanah Sulawesi dan bergaung hingga ke pusat-pusat kebijakan nasional.
Nama KH. Ali Yafi’i memiliki tempat tersendiri dalam sejarah perjalanan Islam di Sulawesi Selatan, khususnya dalam konteks dinamika keulamaan dan keterlibatannya dalam Nahdlatul Ulama (NU) di tingkat nasional. Sosoknya tak hanya dikenal sebagai ulama kharismatik, tetapi juga sebagai tokoh yang berkontribusi besar dalam memperkuat posisi NU sebagai ormas keagamaan moderat yang berakar kuat pada tradisi pesantren dan keilmuan Ahlussunnah wal Jama’ah.
Dalam catatan sejarah NU di Sulawesi Selatan, tercatat sebuah peristiwa penting yang melibatkan KH. Wahid Hasyim, putra pendiri NU Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari sekaligus Ketua PBNU waktu itu. Dalam rangka menguatkan NU di wilayah timur Indonesia, KH. Wahid Hasyim melakukan kunjungan silaturahim ke pesantren besar pimpinan ulama kharismatik Sulawesi Selatan, yakni Anregurutta KH. Abdurrahman Ambo Dalle. Maksud kedatangan KH. Wahid Hasyim bukan lain adalah untuk mengajak Anregurutta bergabung secara organisatoris ke dalam tubuh NU.
Namun, Anregurutta KH. Abdurrahman Ambo Dalle, meskipun sangat menghormati KH. Wahid Hasyim dan sejalan dalam visi perjuangan Ahlussunnah wal Jama’ah, memilih untuk tetap berkiprah di Partai Syarikat Islam (PSI), yang saat itu juga menjadi kendaraan perjuangan umat Islam di berbagai wilayah. Anregurutta memiliki pandangan sendiri dalam mengelola peran sosial-keagamaannya, khususnya di wilayah Sulawesi Selatan.
Kendati demikian, sikap Anregurutta tersebut bukan berarti menutup ruang bagi santri-santri terbaiknya untuk berkhidmat di NU. Bahkan, secara khusus Anregurutta menginstruksikan dua murid terbaiknya, yakni Anregurutta KH. Rahman Matammeng dan Anregurutta KH. Ali Yafi’i untuk bergabung dan berkiprah di Nahdlatul Ulama. Anregurutta memahami, NU sebagai ormas besar akan memerlukan kader-kader ulama yang kuat dalam ilmu dan berakhlak dalam gerakan. Maka, kedua muridnya ini dipercaya membawa tradisi keilmuan pesantren Sulawesi Selatan untuk mewarnai NU di tingkat nasional.
Nama KH. Ali Yafi’i kemudian semakin berkibar, bukan hanya di Sulawesi Selatan, tetapi juga di tingkat nasional. Reputasinya sebagai ulama yang mendalam dalam ilmu fikih, tasawuf, dan tafsir, serta pemahamannya yang luas terhadap dinamika sosial-keagamaan bangsa, mengantarkan beliau menduduki posisi penting di tubuh PBNU. KH. Ali Yafi’i pernah dipercaya sebagai Rais Syuriah PBNU, sebuah posisi tertinggi dalam struktur keulamaan NU yang memiliki wewenang besar dalam menentukan arah kebijakan keagamaan organisasi. Jabatan ini adalah bukti pengakuan terhadap keluasan ilmunya, keluhuran akhlaknya, dan komitmen perjuangannya terhadap Islam ahlussunnah wal jama’ah an-nahdliyyah.
Di bawah kepemimpinan para ulama seperti KH. Ali Yafi’i, NU tidak hanya berkembang sebagai ormas keagamaan, tetapi juga menjadi kekuatan moral yang menjaga keseimbangan antara agama dan negara, antara tradisi dan kemajuan, antara kearifan lokal dan tantangan global. KH. Ali Yafi’i membawa nilai-nilai keilmuan pesantren Bugis-Makassar ke panggung nasional, mempertemukan kearifan lokal dengan keindonesiaan yang lebih luas.
Sosok KH. Ali Yafi’i dikenal luas bukan saja sebagai pengasuh pesantren, tetapi juga sebagai cendekiawan, penulis, dan tokoh yang memperkuat hubungan keulamaan antara pusat dan daerah. Ia sering mewakili NU dalam berbagai forum internasional, menegaskan wajah Islam Indonesia yang damai, moderat, dan penuh rahmat bagi seluruh alam.
Kharisma dan keluasan ilmu KH. Ali Yafi’i menjadikannya tokoh rujukan, tidak hanya di kalangan pesantren, tetapi juga di lingkungan akademik dan pemerintahan. Ia sering kali diminta memberikan pandangan dalam forum-forum strategis, baik dalam rangka membahas isu-isu keumatan maupun kebangsaan. Ketajaman analisisnya dalam membaca konteks sosial-politik dan kemampuannya mengaitkan prinsip-prinsip Islam dengan realitas kebangsaan membuat suaranya didengar dan diperhitungkan lintas sektor.
Di tengah dinamika perubahan zaman, KH. Ali Yafi’i tetap memegang teguh prinsip-prinsip Ahlussunnah wal Jama’ah yang moderat, toleran, dan kontekstual. Ia menolak keras sikap ekstrem dalam beragama, baik yang berbasis puritanisme maupun liberalisme yang kebablasan. Dalam pandangannya, Islam Indonesia harus berakar pada tradisi, tetapi juga tidak boleh tertinggal dari tuntutan zaman. Oleh karena itu, ia giat membina generasi muda NU agar memahami agama dengan pendekatan yang komprehensif, menggabungkan dalil-dalil tekstual dengan kebijaksanaan kontekstual.
Salah satu warisan penting dari KH. Ali Yafi’i adalah komitmennya terhadap dakwah yang merangkul, bukan memukul. Ia percaya bahwa dakwah harus menyentuh hati, mengedepankan akhlak, dan menampilkan wajah Islam yang ramah dan inklusif. Dalam ceramah-ceramahnya, ia kerap menyitir ayat-ayat yang menekankan kasih sayang, persaudaraan, dan tanggung jawab sosial. Pendekatan ini membuatnya diterima di berbagai lapisan masyarakat, dari petani hingga pejabat negara.
Kontribusinya juga tampak nyata dalam pengembangan pendidikan Islam. KH. Ali Yafi’i dikenal sebagai pendidik sejati yang tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menanamkan nilai dan adab kepada para santrinya. Ia terlibat dalam perumusan kurikulum pesantren, pengembangan lembaga pendidikan NU, dan pembinaan kader-kader ulama muda. Dalam banyak kesempatan, ia menekankan pentingnya integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum, serta pentingnya membangun mentalitas ulama yang terbuka dan solutif terhadap persoalan umat.
Warisan intelektual dan spiritual KH. Ali Yafi’i masih terasa hingga kini. Banyak santri dan muridnya yang kini menjadi tokoh penting di berbagai bidang: ada yang menjadi pengasuh pesantren, dosen, penulis, hingga tokoh masyarakat. Jejak pengabdiannya menginspirasi generasi baru untuk terus menghidupkan semangat keulamaan yang mencerahkan dan membumi. KH. Ali Yafi’i bukan hanya ulama asal Sulawesi Selatan, melainkan telah menjadi milik bangsa—sebagai teladan bagaimana tradisi lokal dan nilai-nilai Islam universal dapat bersatu dalam karya dan pengabdian.
Mengenang KH. Ali Yafi’i berarti menghidupkan kembali semangat Islam yang menyejukkan, membumikan nilai-nilai keilmuan pesantren dalam realitas sosial, dan menjaga warisan keulamaan Nusantara dari arus ekstrimisme yang mengancam. Di tengah polarisasi identitas dan krisis keteladanan, figur seperti KH. Ali Yafi’i menghadirkan harapan: bahwa Islam bisa ramah, ulama bisa bersahaja, dan tradisi bisa berdialog dengan zaman. Sudah saatnya kita menapak jejak beliau, tidak sekadar untuk nostalgia sejarah, tapi untuk menyalakan kembali pelita keislaman yang moderat dan membebaskan.
Oleh: Zaenuddin Endy
Koordinator Instruktur PKPNU Sulawesi Selatan