A. Mappanyukki: Raja, Pahlawan Nasional dan Muassis NU Sulawesi Selatan

banner 468x60

A. Mappanyukki merupakan sosok yang memegang peran penting dalam perjalanan sejarah Sulawesi Selatan, bukan hanya sebagai raja Bone, tetapi juga sebagai pahlawan nasional dan tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang berjasa dalam meletakkan fondasi gerakan keislaman yang berhaluan Aswaja di kawasan timur Indonesia. Lahir pada 28 Desember 1885 di Watampone, A. Mappanyukki tumbuh dalam tradisi bangsawan Bugis yang sangat kuat dengan nilai-nilai adat, kepemimpinan, dan keislaman. Sejak kecil, ia dididik tidak hanya dalam hal keprajuritan dan ketatanegaraan, tetapi juga dalam pendalaman ilmu agama yang kelak mewarnai seluruh perjalanan hidupnya.

 

Sebagai seorang raja Bone ke-32 yang memerintah pada masa-masa sulit, A. Mappanyukki dikenal sebagai figur yang menjaga martabat kerajaan dan rakyatnya di tengah tekanan kolonialisme Belanda. Ia memimpin Bone bukan hanya sebagai penguasa politik, tetapi juga sebagai pelindung tradisi, adat, dan syiar agama Islam. Kepemimpinannya merepresentasikan sintesis antara adat Bugis yang kuat dengan nilai-nilai Islam yang moderat, menjadikan Bone tetap kokoh dalam identitasnya di tengah arus modernisasi yang seringkali membawa tantangan bagi masyarakat lokal.

 

Dalam sejarah perlawanan terhadap penjajahan, nama A. Mappanyukki terukir jelas. Ia adalah simbol perlawanan yang cerdas dan sabar, bukan dengan kekerasan bersenjata semata, melainkan dengan diplomasi, keteguhan prinsip, dan keberanian menjaga kehormatan bangsanya. Penolakannya terhadap berbagai kebijakan kolonial yang merendahkan martabat rakyatnya menunjukkan betapa kuatnya komitmen beliau terhadap harga diri bangsa dan tanah air. Atas perannya ini, pemerintah Indonesia kemudian menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional.

 

Namun kontribusi A. Mappanyukki tidak berhenti pada wilayah politik dan perlawanan fisik semata. Ia juga memainkan peran besar dalam perkembangan keagamaan, khususnya dalam memperkenalkan dan menanamkan paham Ahlussunnah wal Jamaah ala Nahdlatul Ulama di Sulawesi Selatan. Sebagai bangsawan yang dihormati, langkah-langkahnya di bidang keagamaan mendapat tempat terhormat di tengah masyarakat Bugis-Makassar yang sangat menghargai otoritas adat dan agama. Ia membuka pintu bagi NU untuk menanamkan pengaruhnya di wilayah timur Indonesia, yang sebelumnya lebih dominan dengan Islam tarekat dan keagamaan tradisional.

 

A. Mappanyukki dikenal dekat dengan para ulama. Keterhubungannya dengan jejaring ulama ini menjadikan dirinya sebagai jembatan antara keislaman nusantara yang moderat dengan masyarakat Sulawesi Selatan. Atas restu dan dorongannya, sejumlah ulama lokal mulai bergabung dan mengembangkan NU dan menjadikan Sulawesi Selatan sebagai salah satu basis penting NU di kawasan timur.

 

Langkah A. Mappanyukki membangun NU di Sulawesi Selatan bukanlah hal yang mudah. Ia harus menghadapi berbagai tantangan dari kelompok-kelompok keagamaan lokal yang telah lebih dulu mapan. Namun dengan pendekatan yang santun, penuh hikmah, dan memadukan adat Bugis yang lemah lembut dengan nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin, ia berhasil menanamkan benih NU yang terus tumbuh hingga kini. Perannya ini menjadikannya tidak hanya sebagai raja atau pemimpin politik, tetapi juga sebagai muassis atau pendiri awal gerakan keagamaan yang besar pengaruhnya hingga saat ini.

 

Kontribusi besar A. Mappanyukki dalam membangun peradaban keagamaan di Sulawesi Selatan ini patut dicatat sebagai bagian dari sejarah panjang penyebaran Islam di Indonesia. Ia adalah contoh figur pemimpin lokal yang tidak alergi terhadap pembaruan keagamaan, selama nilai-nilai tersebut sejalan dengan adat, budaya, dan kemaslahatan masyarakat. Perpaduan adat Bugis dan paham Ahlussunnah wal Jamaah yang ia perjuangkan memberikan warna tersendiri bagi karakter keislaman masyarakat Bugis-Makassar.

 

Salah satu warisan penting A. Mappanyukki adalah keteladanan akhlak dan keteguhan prinsip. Ia dikenal sebagai pemimpin yang adil, bijaksana, dan sangat menghargai musyawarah dalam setiap pengambilan keputusan. Sikapnya yang merakyat, dekat dengan ulama, serta peduli pada pendidikan agama dan adat istiadat menjadikannya sosok yang dicintai oleh berbagai lapisan masyarakat. Bahkan hingga wafatnya pada 1967, namanya tetap harum sebagai simbol pemersatu adat, agama, dan bangsa.

 

A. Mappanyukki juga dikenal aktif mendukung upaya pendidikan keislaman yang lebih maju di Bone. Ia memberi ruang besar bagi tumbuhnya pesantren dan majelis ta’lim yang mengajarkan fikih, tauhid, dan akhlak dengan corak Aswaja. Dengan dukungannya, para ulama muda Bone semakin percaya diri membawa bendera NU, sehingga Bone kemudian dikenal sebagai salah satu daerah yang kokoh mempertahankan Islam tradisional di tengah arus modernisme dan gerakan Islam transnasional.

 

Selain sebagai muassis NU, A. Mappanyukki juga memberi kontribusi besar dalam proses integrasi nasional pasca-kemerdekaan. Ia dikenal sebagai tokoh yang setia kepada Republik Indonesia meski memiliki kekuatan politik dan adat yang cukup kuat. Kesetiaannya ini didasarkan pada keyakinan bahwa Indonesia yang merdeka adalah rumah bersama bagi seluruh anak bangsa, termasuk rakyat Bugis-Bone. Komitmen inilah yang membuatnya dihormati baik oleh pemerintah pusat maupun daerah.

 

Sikap politik A. Mappanyukki yang bijaksana dan jauh dari kepentingan pribadi menjadikannya figur yang selalu dirindukan. Ia menempatkan diri bukan sebagai penguasa yang memaksakan kehendak, melainkan sebagai bapak yang menuntun masyarakatnya dengan keteladanan, kesabaran, dan akhlak. Pendekatannya yang menyeimbangkan antara adat, agama, dan negara menjadi warisan penting bagi pemimpin masa kini.

 

Dalam catatan sejarah NU, A. Mappanyukki selalu disebut sebagai figur sentral yang membuka jalan bagi berkembangnya NU di timur Indonesia. Perannya ini memberikan kontribusi besar bagi penguatan Islam moderat yang adaptif terhadap konteks lokal, tanpa harus kehilangan akar tradisinya. Bahkan hingga kini, NU di Sulawesi Selatan masih meneladani semangat A. Mappanyukki dalam merawat harmoni antara agama, budaya, dan negara.

 

Selain di Bone, pengaruhnya juga meluas ke berbagai wilayah lain di Sulawesi Selatan, termasuk Soppeng, Wajo, dan sebagian Makassar. Jejaknya dapat ditelusuri melalui para ulama yang menjadi kader-kader awal NU di wilayah tersebut, yang sebagian besar merupakan murid langsung atau terinspirasi oleh visi keislaman A. Mappanyukki. Jaringan ulama inilah yang kemudian memperkuat eksistensi NU secara kelembagaan dan kultural di kawasan timur.

 

Bahkan dalam konteks sejarah Bugis-Makassar, A. Mappanyukki dikenal sebagai pelindung adat dan syariat yang berhasil memadukan dua entitas besar ini dalam satu visi kemasyarakatan yang damai dan seimbang. Ia memahami benar bagaimana menjaga kearifan lokal tidak bertentangan dengan ajaran Islam, justru keduanya dapat saling memperkuat membentuk identitas masyarakat yang kokoh dan bermartabat.

 

Warisan intelektual, moral, dan spiritual A. Mappanyukki patut terus dikaji dan diwariskan kepada generasi muda. Dalam era yang semakin kompleks ini, figur seperti beliau memberi teladan tentang bagaimana menjaga identitas keislaman yang moderat, nasionalisme yang sehat, serta penghargaan pada kearifan lokal yang arif dan beradab. NU di Sulawesi Selatan berdiri tegak hari ini tidak lepas dari fondasi yang diletakkan oleh sosok seperti A. Mappanyukki.

 

Sebagai pahlawan nasional, namanya telah diabadikan dalam berbagai bentuk penghargaan, baik nama jalan, gedung, maupun institusi pendidikan. Namun yang terpenting adalah bagaimana semangat perjuangannya terus hidup dalam laku kehidupan masyarakat, khususnya dalam merawat nilai-nilai Islam yang ramah, adat yang santun, dan kebangsaan yang teguh. Ia bukan hanya milik Bone, tetapi juga milik Indonesia.

 

Keberhasilan A. Mappanyukki dalam memadukan peran sebagai raja, ulama, pejuang, dan pendiri gerakan keagamaan menjadi inspirasi penting bagi kita hari ini. Di tengah tantangan globalisasi dan fragmentasi sosial, spirit keislaman yang moderat, berakar pada tradisi, dan berpijak pada cinta tanah air sebagaimana ia ajarkan, tetap relevan sebagai rujukan etis dan moral bagi bangsa Indonesia.

 

Hingga hari ini, ketokohan A. Mappanyukki menjadi rujukan utama dalam narasi sejarah Nahdlatul Ulama di Sulawesi Selatan. Perannya sebagai muassis NU bukan sekadar gelar formal, melainkan jejak nyata yang menghidupkan semangat Aswaja an-Nahdliyyah di bumi Bugis-Makassar. Ia bukan hanya tokoh masa lalu, tetapi figur yang terus hidup dalam setiap denyut nadi perjuangan keislaman yang ramah dan membumi.

 

Oleh: Zaenuddin Endy

Koordinator Instruktur Pendidikan Kader Penggerak Nusantara (PKPNU) Sulawesi Selatan

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *