Korupsi Pemilu : Ancaman terbesar bagi Demokrasi yang Adil

Muh Nur Ichzan (Mahasiswa Pasca  Ilmu politik Unhas)
banner 468x60

Korupsi berakibat sangat berbahaya bagi kehidupan manusia, baik aspek kehidupan sosial, politik, birokrasi, ekonomi dan individu. Bahaya korupsi bagi kehidupan di ibaratkan bahwa korupsi adalah seperti kanker dalam darah, sehingga si empunya badan harus selalu melakukan “cuci darah” terus menerus jika ia menginginkan dapat hidup terus. Korupsi pemilu merupakan istilah baru untuk menjelaskan gejala korupsi pada pelaksanaan pemilu.

 

Korupsi dalam konteks pemilu lebih luas makna dan penjelasannya dibandingkan dengan pengertian korupsi menurut Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Istilah ini sendiri lahir dari berbagai macam kajian atas pelanggaran dalam pembiayaan kampanye yang dilakukan peserta pemilu, khususnya bagi mereka yang menyandang status incumbent. Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan peserta   kampanye pemilu lainnya juga bisa melakukan praktek serupa. Disini penulis akan menjelaskan beberapa penjelasa sebagai berikut.

 

 Arti korupsi dan korupsi pemilu

 

Korupsi berasal dari bahasa Latin: corruption dari kata kerja corrumpere berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok. Menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/ politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Sementara, disisi lain, korupsi (corrupt, corruptie, corruption) juga bisa bermakna kebusukan, keburukan, dan kebejatan. Definisi ini didukung oleh Acham yang mengartikan korupsi sebagai suatu tindakan yang menyimpang dari norma masyarakat dengan cara memperoleh keuntungan untuk diri sendiri serta merugikan kepentingan umum. Intinya, korupsi adalah menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan publik atau pemilik untuk kepentingan pribadi.

 

Sehingga, korupsi menunjukkan fungsi ganda yang kontradiktif, yaitu memiliki kewenangan yang diberikan publik yang seharusnya untuk kesejahteraan publik, namun digunakan untuk keuntungan diri sendiri. Korupsi merupakan kejahatan yang dilakukan dengan penuh perhitungan oleh mereka yang justru merasa sebagai kaum terdidik dan terpelajar. Korupsi juga bisa dimungkinkan terjadi pada situasi dimana seseorang memegang suatu jabatan yang melibatkan pembagian sumber-sumber dana dan memiliki kesempatan untuk menyalahgunakannya guna kepentingan pribadi.

 

Open Society Justice Initiative dalam bukunya, Monitoring Election Campaign Finance (2005) menjelaskan bahwa yang disebut sebagai korupsi pemilu adalah praktek pendanaan kampanye–baik penerimaan maupun pengeluaran–yang menciptakan hubungan koruptif antara penyumbang dan partai politik atau kandidat yang didukungnya maupun pola perilaku koruptif yang terjadi antara peserta pemilu dan voters. Dalam prakteknya, korupsi pemilu terdiri atas tiga bentuk.

 

 Pertama, penerimaan dana kampanye yang berasal dari sumber-sumber yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan maupun yang secara universal merupakan sesuatu yang secara nyata-nyata dianggap tidak boleh, karena menciptakan hubungan koruptif antara yang disumbang dan donatur. Keuntungan yang diperoleh penyumbang terselubung tidak dipetik pada saat pemilu. “Investasi” yang mereka keluarkan untuk menyumbang partai maupun kandidat akan dipanen pada saat peserta pemilu yang didukung memenangi pertarungan. Bentuknya yang paling nyata adalah favoritisme, tempat konsesi, kontrak-kontrak pemerintah, maupun keistimewaan kebijakan publik akan berpihak kepada para penyumbang gelap.

 

Dalam praktiknya, korupsi pemilu terdir atas tiga bentuk. Pertama, penerimaan dana kampanye yang berasal dari sumber-sumber yang dilarang oleh peraturan perundangundangan maupun yang secara universal merupakan sesuatu yang secara nyata-nyata dianggap tidak boleh, karena menciptakan hubungan koruptif antara yang disumbang dan donatur.

 

Keuntungan yang diperoleh penyumbang terselubung tidak dipetik pada saat pemilu. “Investasi” yang mereka keluarkan untuk menyumbang partai maupun kandidat akan dipanen pada saat peserta pemilu yang didukung memenangi pertarungan. Bentuknya yang paling nyata adalah favoritisme, tempat konsesi, kontrak-kontrak pemerintah, maupun keistimewaan kebijakan publik akan berpihak kepada para penyumbang gelap.

 

 Disebut penyumbang gelap karena peserta pemilu biasanya enggan atau sengaja menutup-nutupi dari mana asal-usul sumbangan kampanye itu diperoleh. Meskipun ada kewajiban dalam pencatatan dan pertanggungjawaban dana kampanye, hal yang biasa dilakukan adalah melakukan manipulasi laporan dana kampanye. Tiadanya sanksi yang berat menyuburkan praktek semacam ini. Jangan heran jika kelak, dalam laporan dana kampanye peserta pemilu, kita mendapati nama penyumbang fiktif. Kedua, penyalahgunaan fasilitas negara dan jabatan untuk keperluan atau tujuan kampanye (abuse of power).

 

Catatan pemilu di negara mana pun, baik yang demokratis maupun yang belum, menjelaskan bahwa penyalahgunaan jabatan merupakan hal yang kerap terjadi pada saat pemilu. Pembedanya adalah pada aturan main yang ketat atau longgar. Bentuk penyalahgunaan jabatan bisa macam-macam, mulai yang paling sederhana sampai ke kategori korupsi menurut UU Tindak Pidana Korupsi. Misalnya, menggunakan kendaraan dinas untuk keperluan kampanye, mengerahkan pegawai negeri sipil atau bawahan (camat, lurah, pamong desa) untuk mendukung peserta pemilu tertentu, menyusun program populis seperti pembagian uang tunai kepada kelompok masyarakat tertentu pada menjelang dan saat kampanye.

 

Ketiga, pembelian suara (money politics). Jika dikaitkan dengan isu dana kampanye, politik uang adalah bentuk ilegal dari pengeluaran dana kampanye. Artinya, dana kampanye peserta pemilu digunakan untuk kepentingan membeli suara pemilih maupun mempengaruhi penyelenggara pemilu untuk memanipulasi hasil pemilu, sesuatu yang sangat dilarang oleh UU Pemilu. Sebenarnya, dalam kaitannya dengan proses pemilihan pejabat publik, politik uang bukan hanya terjadi pada saat kampanye maupun pada saat hari pencoblosan suara yang dilakukan oleh peserta pemilu kepada pemilih. Politik uang dalam kasus ini adalah praktek penyuapan dalam level yang paling bawah.

 

Ketiga tingkatan politik uang ini sama berbahayanya. Pada saat kampanye dan hari pencoblosan, politik uang bisa mempengaruhi perilaku pemilih. Politik uang juga bisa mempengaruhi netralitas penyelenggara pemilu. Hasil pemilu menjadi tidak kredibel dan

cacat karena potensi manipulasi hasil suara. Jika suara bisa dibeli dan hasil penghitungan suara bisa diutak-atik sesuai dengan pesanan, tentu prosedur demokrasi tidak akan dapat melahirkan pemerintahan yang bersih.

 

Korupsi pemilu harus dilihat secara lebih jauh sebagai penyakit demokrasi. Dampak negatifnya tidak hanya merugikan masyarakat luas, tapi juga merugikan kepentingan pihak lain yang terlibat langsung dalam pelaksanaan pemilu, yakni peserta pemilu. Karena itu, membatasi ruang gerak korupsi pemilu akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap hasil pemilihan, sekaligus derajat legitimasi pemilu dan hasilnya. Membatasinya juga akan melahirkan iklim kompetisi politik yang lebih adil. Karena itu, semua pihak harus mengambil peran untuk mengawasinya.

 

Selain itu terdapat beberapa faktor penyebab korupsi pemilu yang Perlu menjadi perhatian kita bersama untuk bisa memahami bagaimana karakter korupsi politik pemilu. Dalam konteks ini  tentu akan berdampak besar pada bagaimana penegakan Etika dan moral penyelenggaran Pemilu itu. Bagaimana kita bisa mengidentifikasi karakter korupsi politik ini? Setidaknya ada 7 karakter korupsi politik menurut (Badoh & Dahlan, 2010).

 

Pertama, tingkah laku yang menyimpang dari aturan atau kebiasaan publik termasuk norma hukum yang mereka langgar itu sudah juga menjadi bagian dari korupsi politik. Apalagi kalau yang melanggar itu adalah pejabat yang memberikan kekuasaan. Kedua, dilakukan untuk memuluskan kepentingan pribadi atau perorangan keluarga, keluarga dekat kroni atau kelompok tertentu. Makanya dalam undang-undang pemerintahan daerah yaitu untuk kepala daerah itu ada larangan, satu diantara larangannya ini tidak memperkaya orang lain, tidak memberikan keuntungan pada orang lain, kelompok atau partai politik. Kalau itu sudah dilakukan berarti itu bagian dari korupsi politik.

 

Ketiga, karakter korupsi politik itu menyebabkan indikasikan pada aktivitas yang menyebabkan terjadinya kerugian atau kerusakan publik atau kepentingan publik. Bisa dilihat dalam konteks yang nyata bahwa korupsi itu memang merusak apa yang menjadi haknya publik itu diambil oleh pejabat melalui perbuatan yang melanggar hukum. Keempat, dilakukan oleh mereka yang memiliki posisi atas pelaksanaan tanggung jawab publik tertentu baik di birokrasi atau lembaga lain. Jadi jelas karena dia punya kuasa dan posisinya oleh karenanya dia bisa menggunakan kekuasaan dan menggunakannya untuk kepentingan kelompok atau diri mereka. Kelima, korupsi politik itu terjadi karena posisi yang dimiliki, didapatkan lewat mekanisme politik. Bukan dalam konteks dari sistem, tapi lebih kepada poin sistem, lebih kepada politik.

 

Mengangkat orang seperti yang disampaikan tadi. Bahkan di akhir masa jabatannya bisa menempatkan orang-orangnya. Kemudian melalui pengaruhnya, orang-orang itu bisa mengabdi kepada pejabat yang sudah pensiun atau berhenti itu. Tapi karena dia berhutang budi tentu sulit melepaskan pengaruh dari pejabat publik yang pensiun ini ketika menempatkan orang-orangnya di jabatan-jabatan kekuasaan politik yang penulis pikir itu bisa di lihat dalam konteks kita bernegara hari ini.

 

Korupsi dalam pemilu merupakan salah satu fenomena pelanggaran etika dan moral penyelenggaran pemilu di Indonesia. Pondasi dari etika dan moral yang sudah runtuh akan berdampak pada integritas dan kualitas pemilu. Kecurangan yang timbul akibat etika dan moral yang rendah berimplikasi pada munculnya eskalasi konflik dan hal ini bisa berbahaya kepada legitimasi pemilu yang dihasilkan atau legitimasi dari hasil pemilu yang dilaksanakan.

 

Penulis :

Muh Nur Ichzan

Mahasiswa Pasca  Ilmu politik Unhas

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *