Menegakkan Kebebasan Beragama, Menolak Diskriminasi Paskibraka Berjilbab

Yunita Sari
banner 468x60

Yun oliKontroversi mengenai larangan penggunaan jilbab dalam upacara paskibraka sesuai dengan aturan pedoman

Pembentukan oleh Deputi Bidang Pendidikan dan Pelatihan  Badan  Pembinaan Ideologi Pancasila, Nomor 1 Tahun 2024, tentang tata cara Persyaratan  calon Paksibraka pada poin 10 yaitu

Mematuhi dan melaksanakan Ketentuan

tata cara pakaian dan sikap tampang paskibraka pada pelaks Buanaan tugas paskibraka, sebagai

berikut:

 

a. Tata Pakaian Paskibraka

1) Paskibraka putra mengenakan pakaian berupa celana panjang dan

baju lengan panjang warna putih;

2) Paskibraka putri mengenakan pakaian berupa rok dengan panjang 5 (lima) sentimeter di bawah lutut dan baju lengan panjang warna putih;

3) Kelengkapan seragam dan Atribut Paskibraka:

a) Kelengkapan seragam Paskibraka sebagai berikut:

(1) Setangan leher merah putih;

(2) Sarung tangan warna putih;

(3) Kaos kaki warna putih;

(4) Sepatu pantofel warna hitam; dan

(5) Tanda Kecakapan/Kendit berwarna hijau (dikenakan saat

pengukuhan Paskibraka).

 

Pernyataan Deputi BPIP mewajibkan menyeragamkan setiap pakaian dari para pasukan paskibraka.  Hal ini dilihat dari pernyataan,  Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), berusaha membela kebijakan tersebut dengan dalih menjaga “netralitas dan keutuhan bangsa”. Namun, pandangan BPIP ini menurut ku,  justru mengabaikan prinsip-prinsip fundamental dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 terkait jaminan kebebasan beragama dan hak asasi manusia.

 

Meski,  Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudian Wahyudi, menjawab tudingan soal larangan penggunaan jilbab bagi anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) putri, dengan menegaskan, tidak melakukan pemaksaan lepas jilbab. penampilan Paskibraka putri dengan pakaian atribut dan sikap tampang sebagaimana terlihat pada saat pelaksanaan pengukuhan Paskibraka adalah kesukarelaan mereka dalam rangka mematuhi peraturan yang ada.

 

BPIP juga membantah tudingan itu, lantaran setiap calon Paskibraka pada saat mengikuti seleksi, telah menandatangani surat pernyataan di atas materai Rp10.000 mengenai kesediaan untuk menaati peraturan dalam pembentukan dan pelaksanaan tugasnya.

 

Adapun lampiran yang ditandatangani yakni persyaratan yang mencantumkan tentang tata pakaian dan sikap tampang Paskibraka sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Deputi Diklat No 1 Tahun 2024.

 

Bantahan tersebut,  meskipun secara Ter surat tidak ada kata pelarangan tidak boleh menggunakan “jilbab”. Akan tetapi, syarat yang di keluarkan oleh BPIP yaitu “Netralitas dan keutuhan bangsa ” tersebut, adalah aturan mengikat yang menjadi acuan pelepasan jilbab dengan alasan keseragaman.

 

Jelas hal ini bukan atas dasar sukarela, tetapi atas dasar kepatuhan terhadap aturan yang ada dan jelas hal ini mengikat.

 

Sepertinya bapak Yudian yang terhormat kurang fokus sehingga gagal membedakan antara keberagaman dengan keseragaman.

Bapak Yudian, secara tidak sadar ingin membuat Negara Indonesia menjadi seragam atau satu dengan mengabaikan perbedaan yang ada. Jelas hal ini tidak sesuai dengan “bhineka tunggal ika” yaitu berbeda-beda tetapi tetap satu.

Sedangkan Keberagaman tidak menolak perbedaan. meskipun kita beda, tetapi kita masih memiliki kesamaan, Inilah keberagaman.

 

Saya pikir ini adalah kesalahan fatal yang tidak bisa ditolerir, apalagi dilakukan oleh bapak Yudian yang merupakan bagian dari BPIP yang khusus mengkaji tentang Pancasila.

 

Apakah pengkajian bapak terlalu rumit sehingga yang mudah harus diabaikan? Hal ini tak perlu dijawab dengan dahi mengkerut.

 

Bapak Yudian yang terhormat juga sebenarnya telah melanggar UUD 1945, Pasal 28E ayat (1), yang dengan jelas menyebutkan “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya”. Larangan penggunaan jilbab dalam upacara paskibraka jelas-jelas melanggar jaminan konstitusional atas kebebasan beragama.

 

Argumen BPIP tentang netralitas sangat problematik, karena dalam undang-undang tidak pernah tertulis bahwa kebebasan beragama harus dibatasi, demi menjaga persatuan. Justru sebaliknya, sila pertama Pancasila dengan tegas menyatakan “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk dan menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Artinya Negara tidak pernah mempersoalkan tentang Keberagaman dalam  persatuan bangsa ini.

 

Menjaga persatuan dan integrasi bangsa memang penting, namun tidak dapat dilakukan dengan cara mengorbankan kebebasan beragama dan hak asasi warga negara. Justru, keberagaman, toleransi, dan penghormatan terhadap perbedaan merupakan kekuatan besar yang dapat memperkokoh persatuan Indonesia.

 

Bukankah Seharusnya pemerintah wajib melindungi dan memastikan tidak ada perlakuan diskriminatif terhadap warganya termasuk anak-anak yang hendak berpartisipasi dalam upacara paskibraka.

 

Pemerintah seharusnya mengambil sikap yang lebih bijaksana dengan membuka dialog dan mendengarkan aspirasi masyarakat, terutama kelompok yang terdampak langsung oleh kebijakan ini. Upaya penegakan ideologi Pancasila tidak boleh dilakukan dengan cara memaksa warga negara untuk meninggalkan identitas keagamaannya.

 

Oleh karena itu, seharusnya  sudah sepatutnya kami sebagai perempuan   menyerukan kepada pemerintah, khususnya Presiden Joko Widodo, untuk segera meninjau kembali kebijakan pelarangan penggunaan jilbab dalam upacara paskibraka yang dibungkus dengan aturan “Netralitas”.

 

Tegakkan kebebasan beragama dan junjung tinggi persatuan. Persatuan tidak mesti harus seragam karena jika harus seragam pelangi yang indah tak pernah dapat kita saksikan.

 

Penulis: Yunita Sari

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *