Agama dan Tambang

Abdul Karim (Ketua Dewas Lapar Sulsel)
banner 468x60

Oleh : Abdul Karim

Ketua Dewas Lapar Sulsel

Kita tahu, kehadiran Ormas keagamaan sebagai pembawa obor keselamatan bagi ummat manusia dan alam di negeri ini.

Pertama-tama, mereka berjuang untuk kemerdekaan bangsa ini dari kolonialisme.

Lalu kemerdekaan itu diraih ditahun 1945 silam. Tetapi keselamatan selalu menjadi ancaman bagi manusia dinegeri ini.

Disitulah Ormas hadir untuk menyempurnakan terus-menerus kemerdekaan dengan aksi-aksi penyelamatan.

Dalam aksi-aksi penyelamatan itu, Ormas keagamaan lantas bekerja disektor pendidikan, dakwah, ekonomi, sosial dan kesehatan.

Ormas Islam misalnya, NU dan Muhammadiyah bersusah payah mendirikan pesantren dan perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan untuk mencerdaskan bangsa.

Gerakan mendidik itu dilancarkan pula diruang publik dengan dakwah. Lalu menghimpun sumbangan, zakat, sadaqah untuk penguatan ekonomi warga. Dan disektor kesehatan mereka menyiapkan rumah sakit dan layanan kesehatan lainnya.

Dengan segala keterbatasannya, Ormas memberi layanan penyelamatan pada ummat melalui sektor-sektor itu. Sebab, disektor sektor itu harus diakui negara tak paripurna menjalankannya.

Disini Ormas sebenarnya berfungsi sebagai penyelamat bangsa. Namun kini, Ormas nampaknya harus diselamatkan oleh bangsa, seperti NU.

Sebab tersiar kabar bahwa Ormas besar ini akan diberi konsesi usaha pertambangan oleh pemerintah.

Dalam acara Pembukaan Pra Kongres VIII BEM PTNU Se-Nusantara di Universitas Islam As Syafi‘iyah, Bekasi, dikutip Senin (3/6/2024), Menteri Investasi dan Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia menjanjikan bakal memberikan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) jumbo kepada Nahdlatul Ulama (NU).

PB NU merespon dengan sigap “surga” tambang yang dijanjikan itu. Ketua Umum PB NU, KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya mengatakan NU telah siap dengan segala sumber daya manusianya, perangkat institusinya hingga jaringan bisnisnya.

Ormas keagamaan memang butuh basis finansial dalam menopang kerja-kerja penyelamatannya untuk ummat dan alam ini, tetapi tak mesti tambang sebagai solusinya.

Mengapa? Karena tambang tak menyelamatkan. Ia memang mesin ekonomi jumbo, tetapi aktivitasnya merusak keseimbangan alam dan habitat sosial sekitarnya.

Belum lagi soal akuntabilitasnya yang lemah. Industri ekstraktif itu memang sumber uang. Tetapi jangan lupa, ia juga sekaligus sumber masalah yang seringkali ditutup-tutupi.

Kerusakan lingkungan seperti banjir, longsor, pengahancuran habitat, polusi, perubahan mutu iklim, pencemaran udara, air, hingga perampasan lahan warga atas nama pembangunan seringkali kita simak sebagai efek buruk pertambangan yang tak bisa ditutupi.

Tentu saja, aspek-aspek ini bertentangan dengan pesan-pesan agama dan ketuhanan. Bukankah Ormas keagamaan adalah pembawa pesan-pesan Tuhan di bumi? Apalah kata Tuhan nantinya?

Agama sebagai pembawa kemashlahatan—penyelamatan seharusnya tampil menegur aktivitas tambang. Ormas sebagai institusi keagamaan harus terdepan menjalankan kritik itu.

Bukan malah menjadi pelaku tambang. Bukankah agama sebagai pembawa kebaikan, bukan pelaku pengrusakan?

Apalah kata Tuhan nantinya? Negara-negara besar kini mulai gusar dengan industri ekstraktif seperti tambang.

Mereka menambang dinegeri orang, termasuk Indonesia. Mereka telah merasakan efek negatif industri itu, seperti krisis air, perubahan iklim, hingga menipisnya cadangan sumberdaya alam.

Mereka kini berupaya mencari industri baru yang ramah lingkungan dan tak beresiko pada menurunnya mutu bumi sebagai ruang mahluk hidup.

Agama seharusnya terlibat dalam urusan ini. Dalam sisi sosial, dampak pertambangan, khususnya tambang batubara diantaranyaadalah seringnya terbuka konflik lebar antara masyarakat dengan pihak pengelola tambang, menurunnya kualitas kesehatan masyarakat, pencemaran lingkungan, terjadinya perubahan pola pikir masyarakat dan terjadinya perubahan struktur sosial di masyarakat yang tak adil.

Ormas keagamaan yang selama ini berjuang untuk kepentingan masyarakat korban tiba-tiba hadir menciptakan masalah ditengah masyarakat karena tambang.

Apalah kata Tuhan nantinya? Dari sisi akuntabilitas, kita pun faham bagaimana pertambangan menjadi ruang persekongkolan kejahatan keuangan.

Korupsi timah 300 Triliun yang viral itu salah satu bukti bagaimana tambang menjadi industri persekongkolan “pencurian” dan kebohongan.

Dan itu sejak lama berlangsung. Tak masuk akal, bagaimana mungkin Ormas agama mau menceburkan diri dalam kubangan kebohongan sejenis itu?

Bukankah agama sebagai penyeru kejujuran? Apalah kata Tuhan nantinya? Dari sisi moralitas, agama sebagai lembaga penganjur moral yang baik akan mengingkari dirinya bila Ormas agama bekerja di industri tambang.

Ormas keagamaan Islam misalnya, kerap kali menyerukan ayat suci bahwa kerusakan dimuka bumi ini karena ulah tangan-tangan manusia.

Ayat itu teramputasi maknanya bila Ormas keagamaan menggarap tambang. Disinilah, Ormas keagamaan mengingkari dirinya.

Bila itu terjadi, Ormas keagamaan akan menodai ajaran agamanya sendiri. Moralitas agama sebagai pembersih kekotoran, bukan pencipta kekotoran.

Moralitas agama adalah pesan Tuhan yang tertera dalam kitab suci.

Kita berharap, Ormas agama tak melupakan Tuhannya. Dan kita tak mau, moralitas agama tumbang karena tambang.

Dampak lain, bisa jadi dalam setiap suksesi pergantian kepemimpinan Ormas keagamaan kelak akan mengalami pergeseran spirit.

Dulunya, spiritnya untuk penyelamatan ummat, kemungkinan berganti untuk pengelolaan tambang.

Dengan itu semua, Ormas keagamaan mesti berfikir jernih; apakah godaan tambang ini benar-benar untuk mashlahat atau bukan.

Sumber : Tribun Timur (5/6/2024)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *