Mengabdi pada organisasi adalah sikap etis yang menuntut kejernihan niat dan keteguhan orientasi. Organisasi dibangun bukan untuk memuliakan individu, melainkan untuk menegakkan nilai, tujuan, dan cita-cita bersama. Ketika pengabdian bergeser dari organisasi kepada orang atau pengurus, maka yang terjadi adalah reduksi makna perjuangan menjadi loyalitas personal yang rapuh dan mudah menyimpang.
Dalam tradisi Nahdlatul Ulama, pengabdian memiliki fondasi yang jelas dan kokoh, yakni Khittah NU. Khittah bukan sekadar dokumen historis atau rumusan normatif, melainkan kerangka etik dan ideologis yang menuntun cara berpikir, bersikap, dan bertindak warga NU. Ia menjadi penanda bahwa NU adalah jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah, bukan milik individu atau kelompok tertentu.
Mengabdi pada NU berarti menempatkan Khittah sebagai kompas utama, bukan figur pengurus yang bersifat sementara. Pengurus datang dan pergi, berganti sesuai mekanisme organisasi, sementara nilai dan prinsip NU bersifat berkelanjutan. Kesetiaan yang sejati adalah kesetiaan pada garis perjuangan, bukan pada jabatan atau personalia.
Bahaya terbesar dalam organisasi adalah ketika figur diposisikan lebih tinggi daripada sistem dan nilai. Pada titik itu, kritik dianggap pembangkangan, dan kepatuhan berubah menjadi kultus. NU sejak awal didirikan justru untuk menghindari model keberagamaan dan keorganisasian yang bertumpu pada otoritarianisme personal.
Khittah NU hadir untuk memastikan bahwa setiap warga NU, baik secara individu maupun kolektif, memiliki standar etik yang sama dalam berorganisasi. Ia menjadi rambu agar dinamika internal tetap berada dalam koridor keulamaan, kebangsaan, dan kemaslahatan umat. Dengan Khittah, NU tidak mudah terseret oleh kepentingan sesaat atau ambisi segelintir orang.
Dalam konteks pengambilan kebijakan, Khittah berfungsi sebagai alat ukur moral dan ideologis. Setiap keputusan semestinya diuji bukan berdasarkan siapa yang mengusulkan, tetapi sejauh mana ia selaras dengan prinsip dasar NU. Di sinilah pentingnya membedakan antara taat organisasi dan taat pada orang.
Mengabdi pada organisasi juga berarti siap bersikap kritis secara beradab. Kritik dalam NU bukanlah bentuk pembangkangan, melainkan wujud tanggung jawab intelektual dan moral. Selama kritik berpijak pada Khittah dan disampaikan dengan etika jam’iyyah, ia justru memperkuat organisasi.
NU tidak kekurangan tokoh besar, tetapi NU tidak pernah menggantungkan hidupnya pada satu tokoh. Kekuatan NU terletak pada tradisi kolektif, sanad keilmuan, dan kesadaran jam’iyyah yang melampaui individu. Inilah yang membuat NU tetap bertahan dan relevan lintas zaman.
Ketika warga NU lebih mengabdi pada orang, maka organisasi berisiko terjebak dalam fragmentasi dan konflik personal. Loyalitas menjadi cair, tergantung posisi dan kepentingan. Sebaliknya, ketika pengabdian diarahkan pada Khittah, perbedaan dapat dikelola secara dewasa dalam bingkai nilai bersama.
Khittah juga mengajarkan keseimbangan antara keikhlasan dan rasionalitas. Mengabdi tidak berarti menutup mata, dan taat tidak identik dengan membenarkan segala hal. NU mendidik warganya untuk berpikir jernih, bersikap moderat, dan bertindak proporsional.
Dalam sejarah NU, Khittah selalu menjadi titik kembali ketika organisasi menghadapi persimpangan jalan. Ia berfungsi sebagai mekanisme koreksi internal agar NU tidak larut dalam arus pragmatisme politik atau godaan kekuasaan. Kesetiaan pada Khittah adalah bentuk tertinggi dari pengabdian.
Pengurus NU sejatinya adalah pelayan organisasi, bukan pusat loyalitas. Mereka diberi amanah untuk menjalankan roda jam’iyyah sesuai aturan dan nilai yang disepakati. Ketika amanah itu dipahami dengan benar, maka hubungan antara warga dan pengurus akan sehat dan produktif.
Mengabdi pada organisasi juga berarti siap menerima pergantian kepemimpinan dengan lapang dada. Tidak ada kepemimpinan yang abadi, tetapi nilai dan cita-cita NU harus terus dijaga. Di sinilah Khittah berfungsi sebagai jembatan antargenerasi.
Mengabdi pada NU adalah mengabdi pada nilai, tradisi, dan cita-cita kemaslahatan. Bukan pada nama, jabatan, atau figur. Selama Khittah dijadikan landasan berpikir, bersikap, dan bertindak, NU akan tetap berdiri tegak sebagai rumah besar umat, melampaui siapa pun yang sedang mengurusnya.
Pengabdian yang berakar pada Khittah juga menuntut kedewasaan spiritual dan intelektual warga NU. Kedewasaan ini tercermin dari kemampuan membedakan antara kepentingan organisasi dan kepentingan personal, antara kritik konstruktif dan konflik ego. Dengan landasan tersebut, NU tidak mudah terjebak dalam polarisasi internal yang melemahkan energi jam’iyyah dan mengaburkan tujuan perjuangan.
Dengan demikian, menjaga Khittah bukan semata tugas struktural, melainkan tanggung jawab kultural seluruh warga NU. Setiap kader, simpatisan, dan pengurus memiliki kewajiban moral untuk merawat orientasi pengabdian agar tetap tertuju pada organisasi dan nilai-nilainya. Selama Khittah hidup dalam kesadaran kolektif, NU akan tetap kokoh sebagai organisasi yang berkhidmat untuk agama, bangsa, dan kemanusiaan, tanpa bergantung pada siapa yang sedang berada di tampuk kepengurusan.
Oleh: Zaenuddin Endy
Koordinator Instruktur Pendidikan Kader Penggerak NUsantara (PKPNU) Sulawesi Selatan








