Khidmat yang Membumi, Bukan Jalan Merebut Kuasa

Zaenuddin Endy Koordinator Pendidikan Kader Penggerak Nusantara Sulawesi Selatan
banner 468x60

NU sejak kelahirannya bukan sekadar entitas sosial-keagamaan, tetapi wadah pengabdian yang tumbuh dari denyut nadi pesantren dan kebutuhan umat. Ia berdiri bukan untuk memperluas jangkauan kekuasaan, melainkan untuk menjaga keseimbangan nilai, tradisi, dan kemanusiaan. Dalam sejarah panjangnya, NU lebih banyak hadir sebagai peneduh, bukan perebut panggung; sebagai penjaga akhlak publik, bukan pemain utama dalam kontestasi kuasa. Karena itu, khidmat menjadi jantung gerakannya, sementara kekuasaan hanya ruang yang sesekali disentuh bila diperlukan untuk melindungi kepentingan umat.

 

Watak pengabdian NU lahir dari kultur pesantren yang memandang kekuasaan sebagai amanah, bukan tujuan. Para kiai, sejak masa para muassis, menempatkan jabatan duniawi sebagai sesuatu yang harus dijaga jaraknya agar tidak mencemari ketulusan niat. Ajaran ihlas, tawaduk, dan khumul menjadi fondasi etos khidmat itu. Maka tidak mengherankan bila NU tumbuh sebagai organisasi yang mengutamakan kerja pelayanan, pendidikan, dan pembelaan terhadap kelompok-kelompok rentan, bukan sebagai kendaraan untuk menaikkan nama atau mempertajam pengaruh politik.

 

Organisasi yang bernafaskan khidmat selalu memaknai keberadaan dirinya melalui manfaat yang dapat diberikan. NU berjalan mengikuti prinsip itu: merawat tradisi, memperkuat akidah, mengokohkan nasionalisme, sekaligus memelihara ruang sosial yang damai. Semua dilakukan tanpa orientasi meraih posisi kekuasaan yang lebih tinggi. Bahkan ketika banyak kekuatan politik berusaha menariknya ke gelanggang perebutan kuasa, NU tetap memilih jalur moderatnya: bekerja di tengah masyarakat, bukan di pusat perdebatan kekuasaan.

 

Kesadaran ini membuat NU menempatkan umat sebagai fokus utama. Pendidikan, dakwah, kesehatan, advokasi sosial, hingga pengembangan ekonomi kerakyatan menjadi bidang yang terus dikerjakan tanpa banyak hiruk pikuk. Di desa-desa, para penggerak NU membangun madrasah; di kota-kota, mereka membuka lembaga sosial dan pemberdayaan. Semua bergerak senyap namun konsisten, mencerminkan wajah organisasi yang berkhidmat, bukan berhasrat meraih dominasi.

 

Tentu NU tidak dapat sepenuhnya terpisah dari arena politik, karena realitas kebangsaan menuntut keterlibatan moral dalam menentukan arah negara. Namun peran politik NU bersifat etis, bukan pragmatis; memberi panduan, bukan berebut kursi; menjadi penjaga kompas moral, bukan pemain yang ikut memperkeruh kompetisi. Kiai-kiai besar selalu mengingatkan bahwa politik untuk NU hanyalah kendaraan membela yang lemah, bukan tangga menuju ambisi personal.

 

Dalam banyak peristiwa kebangsaan, NU tampil sebagai kekuatan peredam konflik. Ketika ketegangan politik memuncak, suara NU hadir seperti air penyejuk. Ketika arus ideologi keras mengancam ruang publik, para ulama NU berdiri sebagai benteng moderasi. Semua itu dikerjakan tanpa mengedepankan simbol kuasa, melainkan semangat khidmat yang diwariskan turun-temurun dari pesantren-pesantren yang menjadi akar budaya organisasi ini.

 

Khidmat yang dijalankan NU juga tampak dari cara para pengurusnya bekerja. Di tingkat paling bawah, para kader menjalankan tugas dengan sederhana: mendampingi masyarakat, menyelesaikan persoalan sosial, dan memperkuat solidaritas. Tidak ada kegaduhan pernyataan atau manuver, karena yang lebih penting adalah manfaat nyata yang dirasakan oleh umat. NU bergerak dengan prinsip “sedikit bicara, banyak bekerja”, meski tanpa slogan itu pernah ditulis secara eksplisit.

 

Kekuatan khidmat NU juga terlihat dalam cara ia memandang jabatan organisasi. Posisi struktural bukan alat untuk mengendalikan orang lain, tetapi wadah untuk memperluas pelayanan. Karenanya, pergantian kepemimpinan di NU sering kali berlangsung dengan suasana teduh, jauh dari ambisi berlebihan. Kualitas ini membuat NU tetap kokoh meski diterpa berbagai dinamika zaman, sebab ruh pelayanannya lebih kuat daripada godaan kekuasaan.

 

Keteladanan para kiai menjadi faktor yang membentuk karakter organisasi ini. Para tokoh seperti Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim, KH. As’ad Syamsul Arifin, dan banyak lainnya mempraktikkan kehidupan yang jauh dari ambisi duniawi. Mereka mengajarkan bahwa kekuasaan tidak boleh menjadi pusat orientasi, karena hal itu hanya akan merusak kewarasan spiritual. Ajaran inilah yang kemudian mengakar kuat dalam tubuh NU dan menjadi pedoman bagi generasi penerusnya.

 

Khidmat NU juga menekankan kesabaran sebagai landasan bergerak. Kesabaran dalam membangun pendidikan pesantren, kesabaran dalam meneguhkan moderasi beragama, dan kesabaran dalam menghadapi dinamika sosial yang sering berubah cepat. Dalam kesabaran itu terkandung keyakinan bahwa kerja pelayanan akan lebih bertahan lama dibanding perebutan kekuasaan yang bersifat sementara.

 

Bahkan ketika sebagian warganya terjun ke dunia politik, NU tetap menjaga garis demarkasi antara organisasi dan perebutan jabatan. NU tidak pernah berubah menjadi mesin politik, melainkan tetap menjadi rumah besar yang memberi ruang bagi keberagaman pilihan politik warganya. Organisasi ini tidak menentukan siapa yang harus dipilih, tetapi mengajarkan cara berdemokrasi yang beradab dan bermoral. Peran itu jauh lebih mulia daripada sekadar memenangkan suatu kelompok atau figur.

 

Nilai khidmat juga tampak dari cara NU merawat tradisi. Ritual-ritual keagamaan, kegiatan sosial, dan pembacaan kitab kuning menjadi bagian dari upaya menjaga kesinambungan ilmu dan budaya. Aktivitas-aktivitas itu tidak memberikan keuntungan materi besar, namun memberikan manfaat spiritual yang luas. Itulah wajah pengabdian yang tulus, yang membuat NU tetap dicintai masyarakat lintas lapisan.

 

Di tengah perubahan sosial yang semakin cepat, NU tetap berpegang pada prinsip bahwa kekuasaan bukan jati diri organisasi. Jati diri itu adalah keberkahan dalam melayani dan memberi manfaat. Karena itu, ketika lembaga-lembaga sosial didirikan atau program-program pemberdayaan diluncurkan, orientasinya selalu untuk kebaikan umat, bukan untuk kepentingan segelintir elite.

 

NU juga mengajarkan bahwa kekuasaan tanpa akhlak adalah bencana. Oleh sebab itu, ia lebih memilih membangun basis akhlak sosial melalui pendidikan, dakwah, dan keteladanan kultural. Kehadiran NU di masyarakat bagaikan pagar yang menjaga keseimbangan: tidak membiarkan kekuasaan disalahgunakan, tanpa harus menginginkan kekuasaan itu sendiri.

 

Khidmat yang dilakukan NU sering kali berjalan dalam kesunyian, jauh dari sorotan media. Namun justru itulah kekuatan sejatinya. Gerakan sosial yang berakar pada keikhlasan akan bertahan melewati generasi. Pengabdian yang tidak dibangun atas dasar ambisi akan melahirkan kepercayaan yang kuat dari masyarakat. Dan NU telah membuktikan hal itu sejak hampir satu abad lamanya.

 

 NU adalah organisasi yang memilih jalan khidmat sebagai prinsip hidup. Ia hadir bukan untuk menguasai, tetapi untuk menjaga; bukan untuk merebut panggung, tetapi untuk menuntun; bukan untuk menambah kuasa, tetapi untuk melipatgandakan manfaat. Selama prinsip ini dijaga, NU akan tetap menjadi pancaran cahaya keteduhan dalam kehidupan kebangsaan, dan menjadi tonggak kokoh yang memayungi masyarakat dari godaan kekuasaan yang menyesatkan.

 

Oleh: Zaenuddin Endy

Koordinator Pendidikan Kader Penggerak NUsantara Sulawesi Selatan

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *