Menerima semua makhluk apa adanya sering terasa seperti perjalanan batin yang panjang, tetapi di baliknya tersimpan pengakuan halus bahwa hidup ini bukan sekadar interaksi antarindividu, melainkan pantulan dari satu Kehendak yang Maha Mengada. Dalam tradisi ketuhanan yang mendalam, kemampuan seseorang untuk memuliakan ciptaan justru menjadi ukuran sejati keteguhan hatinya kepada Sang Pencipta. Sebab siapa pun yang melihat makhluk dengan hati yang jernih pada dasarnya sedang mengakui kehadiran Allah dalam setiap helaan wujud.
Banyak orang menyangka bahwa keimanan teguh hanya tampak dalam ritual yang khusyuk atau argumentasi teologis yang rapi. Padahal, tanda paling subtil sering muncul dari sikap sederhana seperti tidak merendahkan siapa pun, tidak memaki alam, atau tidak membenci sesama hanya karena perbedaan. Sikap menerima seperti ini bukan kelemahan, melainkan refleksi dari pemahaman bahwa semua makhluk muncul dari sumber yang sama. Dengan kata lain, menjaga laku kasih adalah cara paling sunyi mempertahankan hubungan dengan Allah.
Dalam pandangan para arif, makhluk adalah ayat-ayat yang bergerak. Bila seseorang menolak wujud makhluk, ia tanpa sadar menolak sebagian dari tanda Tuhan. Karena itu, menerima makhluk dengan segala keberagamannya membentuk kesadaran ontologis bahwa kita sedang menghormati karya Ilahi yang tak mungkin tertandingi. Setiap daun, manusia, hewan, bahkan hal-hal kecil yang kita anggap sepele tetap memikul martabat penciptaan.
Penerimaan ini tidak berarti membenarkan kezaliman atau sikap destruktif. Justru ia menuntut seseorang membedakan antara menerima keberadaan makhluk dengan menolak keburukan yang ditimbulkannya. Seseorang boleh membenci tindakan, tetapi tidak membenci wujud dari pelakunya. Pada titik itu, keimanan mencapai kedewasaan. Ia tidak lagi bergerak atas dorongan ego, tetapi atas pengetahuan bahwa Allah mencipta dengan hikmah yang tidak selalu tampak.
Jika seseorang bisa memuliakan makhluk, sesulit apa pun bentuknya, ia sedang melatih dirinya melihat dunia melalui cahaya rahmah. Dan rahmah adalah sifat yang Allah sendiri perkenalkan sebagai fondasi penciptaan. Maka, semakin luas kasih seseorang kepada makhluk, semakin kokoh pula keterikatannya kepada Sang Pemilik Rahmah. Tidak sedikit sufi yang menyebut bahwa orang yang membenci makhluk sebenarnya belum selesai berdamai dengan Tuhannya.
Penerimaan yang demikian melahirkan ketenangan. Kita berhenti memaksakan dunia agar seirama dengan keinginan pribadi, dan mulai mengakui bahwa segala sesuatu memiliki kadar yang telah ditetapkan. Rasa ridha muncul bukan sebagai sikap pasrah buta, tetapi sebagai pengakuan bahwa ada hikmah besar di balik heterogenitas makhluk. Dan ridha semacam itu menjadi bukti bahwa seseorang telah menyerahkan identitasnya kepada Allah.
Dalam perjalanan spiritual, manusia sering berlatih melihat keindahan pada hal-hal yang tak disukai. Ketika seseorang mampu melihat wajah Allah pada makhluk yang secara sosial dianggap rendah, ia sedang naik ke tingkat penghayatan yang tinggi. Di sana, keimanan tak lagi berwujud teori, tetapi menjadi struktur pengalaman yang konkret dan menyentuh batin.
Bahkan hubungan antar manusia pun berubah. Orang yang menerima makhluk akan lebih sabar dalam menghadapi kekurangan orang lain, lebih lapang terhadap perbedaan pandangan, dan lebih lembut ketika berinteraksi. Semua ini bukan sekadar etika sosial, tetapi ekspresi teologis yang menyatakan bahwa ia memperlakukan ciptaan sesuai nilai penciptaannya.
Seseorang yang memandang makhluk sebagai amanah Allah akan menjaga lisan, tindak, dan pikirannya dari merendahkan siapa pun. Ia sadar bahwa menghina ciptaan adalah bentuk ketidakdewasaan spiritual. Dengan menjaga kata, ia menjaga hati. Dengan menjaga hati, ia menjaga hubungan dengan Allah. Dan dari hubungan itu lahir kekuatan moral yang stabil.
Penerimaan makhluk juga mengantarkan seseorang pada rasa syukur yang mendalam. Ia melihat keragaman sebagai kekayaan, bukan ancaman. Syukur ini lantas menjadi pintu bagi karunia yang lebih besar, bukan semata rezeki lahiriah, tetapi anugerah kebeningan jiwa. Kebeningan inilah yang memperkuat imannya sehingga ia tidak mudah goyah oleh ujian dunia.
Dalam konteks sosial, penerimaan semua makhluk menjadi dasar bagi harmoni. Dunia yang keras hanya dapat dilunakkan oleh hati yang mau merangkul. Dan hati yang merangkul bukan pribadi yang lemah, melainkan pribadi yang mengenal Allah melalui sifat cinta-Nya. Ia paham bahwa tugas utama manusia bukan menilai, melainkan memuliakan.
Sekalipun dunia dipenuhi konflik dan jarak antar manusia terasa semakin lebar, seseorang yang memegang prinsip ini tetap menjadi penjaga kedamaian. Ia membawa cahaya yang tidak padam oleh riuh kehidupan. Cahaya itu bersumber dari keyakinan bahwa semua makhluk berada dalam genggaman Allah yang Maha Mengatur.
Orang seperti ini selalu merasa ditemani. Melihat makhluk berarti diingatkan pada kehadiran Allah yang tidak pernah absen. Wujud makhluk menjadi cermin yang membimbing seseorang untuk kembali pada-Nya. Ia belajar menata diri, membenahi niat, dan memperbaiki laku.
Pada akhirnya, menerima semua makhluk adalah latihan menghaluskan batin agar tidak putus dari Allah. Jika seseorang hanya mencintai Tuhan tetapi membenci ciptaan-Nya, kecintaannya belum utuh. Namun jika ia mencintai Tuhan dan memuliakan makhluk, cinta itu menjadi lengkap. Di situlah seseorang menemukan kualitas iman yang matang.
Dengan merangkul makhluk secara tulus, seseorang sedang menyatakan bahwa dirinya menjaga amanah penciptaan. Tindakan ini menjadi bukti bahwa ia mempertahankan Allah dalam hidupnya, bukan hanya dalam kata-kata, tetapi dalam sikap sehari-hari. Di sanalah letak kemuliaan seorang hamba: mengenal Allah melalui makhluk, dan menjaga makhluk demi Allah.
Oleh:Zaenuddin Endy
Koordinator LTN JATMAN Sulawesi Selatan








