Gerakan Pohon Sawo Diponegoro: Sanad Perjuangan NU dan Seruan Sawwuu Shufuufakum

Zaenuddin Endy Koordinator Instruktur PKPNU Sulawesi Selatan
banner 468x60

Sanad perjuangan NU tidak lahir dalam ruang kosong. Ia tumbuh dari pertemuan sejarah panjang antara spiritualitas pesantren, keteguhan para ulama, dan jejak heroik para tokoh yang menempatkan agama dan tanah air sebagai satu kesatuan moral. Di antara tokoh itu, Pangeran Diponegoro menempati posisi khusus, bukan hanya sebagai pemimpin perang, tetapi sebagai figur ruhani yang menanamkan nilai keberanian, keikhlasan, dan ketertiban barisan. Warisan ini mengalir dalam tradisi NU sampai hari ini, menjelma sebagai sumber etos perjuangan yang terus hidup dalam komunitasnya.

 

Pangeran Diponegoro dikenal memiliki tradisi spiritual yang kuat. Laku tapa, tirakat, dan kedekatannya dengan para kiai menjadikannya tidak saja seorang pangeran, tetapi juga seorang santri yang paham makna jihad dalam konteks moral dan sosial. Ketika ia memimpin rakyat dalam Perang Jawa, ia tidak mewariskan senjata atau strategi militer semata, melainkan ajaran batin untuk rapatkan barisan, teguhkan niat, dan luruskan tujuan. Inilah makna Sawwuu Shufuufakum yang kemudian bergaung dalam praktik sosial-budaya umat dan diserap oleh jaringan pesantren yang kelak membentuk NU.

 

Dalam tradisi lisan pesantren, Diponegoro sering digambarkan sebagai pemimpin yang bertindak seperti seorang kiai lapangan. Ia merawat batin pasukannya, memperkuat disiplin, dan memastikan bahwa perjuangan mereka berada dalam garis keadilan. Seruan Sawwuu Shufuufakum baginya bukan hanya instruksi perang, melainkan ajaran untuk menyelaraskan hati dan langkah. Keselarasan itulah yang kemudian hidup dalam tradisi NU, terutama ketika para kiai menyerukan persatuan umat di tengah guncangan sosial.

 

Salah satu simbol unik dalam sejarah Diponegoro adalah pohon sawo yang ia tanam di garis depan laskar-laskarnya. Tradisi ini kemudian dipahami masyarakat sebagai “Gerakan Pohon Sawo Diponegoro.” Pohon sawo itu bukan sekadar penanda tempat atau hiasan medan. Ia merupakan simbol bahwa perjuangan harus mengakar kuat, tumbuh tenang, memberi keteduhan, dan menghasilkan kebaikan. Di balik kesederhanaannya, pohon sawo membawa pesan mendalam tentang barisan yang rapi dan hati yang teguh.

 

Pohon sawo tumbuh pelan, tidak tergesa-gesa, tetapi akarnya merambat jauh ke dalam tanah. Pertumbuhan itu menjadi simbol bagaimana sebuah perjuangan seharusnya dijalankan: perlahan tetapi pasti, tidak gaduh tetapi kokoh. Para kiai NU melihat nilai ini selaras dengan prinsip perjuangan mereka. NU tidak pernah bersuara lantang untuk kepentingan duniawi, tetapi mengakar kuat melalui pendidikan, pengabdian sosial, dan konsistensi moral yang dijaga turun-temurun.

 

Dalam berbagai pengajian sejarah kebangsaan yang digelar pesantren, pohon sawo Diponegoro kerap dijadikan metafor penting. Ia menegaskan bahwa kekuatan umat tidak terletak pada jumlah atau tampilan luar, melainkan pada kerapian barisan dan kedalaman akarnya. Dalam konteks itulah seruan Sawwuu Shufuufakum mendapatkan makna baru: bukan hanya perintah untuk mendekat secara fisik, tetapi ajakan untuk menyatukan kesadaran dan memupuki persaudaraan.

 

Gerakan Pohon Sawo Diponegoro menjadi cermin dari karakter perjuangan yang tidak sekadar bersandar pada keberanian, tetapi juga kesabaran. Keduanya merupakan nilai inti dalam tradisi NU. Para kiai mengajarkan bahwa perjuangan moral harus dihadapi dengan tekad yang kuat namun hati yang teduh; seperti pohon sawo yang rendah hati tetapi tahan lama. NU bergerak seperti pepohonan itu: meneduhkan, menguatkan, dan hadir tanpa memaksa.

 

Sanad perjuangan NU sendiri berisi rangkaian hubungan ruhani dengan ulama-ulama terdahulu, termasuk mereka yang pernah berinteraksi dan terlibat dalam jaringan perjuangan Diponegoro. Banyak kiai pendiri NU adalah keturunan spiritual dari para ulama yang hidup dan berjuang pada masa Perang Jawa. Dari mereka, nilai-nilai Diponegoro diserap: kedisiplinan, keberanian berbasis iman, dan kesetiaan pada umat yang tertindas.

 

Tradisi Sawwuu Shufuufakum kemudian menjadi bagian dari pendidikan kader NU. Ia tidak diajarkan sebagai slogan, tetapi sebagai laku hidup. Para santri dididik untuk rapi dalam barisan ilmu, konsisten dalam adab, dan bersatu dalam pengabdian. Ketika nilai itu dipraktikkan dalam kehidupan sosial, NU menjadi tubuh besar dengan akar pesantren sebagai fondasinya dan para kiai sebagai pilar moralnya.

 

Dalam sejarah gerakan sosial, barisan yang rapi bukan hanya strategi, tetapi identitas. Pangeran Diponegoro memahami ini jauh sebelum teori-teori modern tentang organisasi dikembangkan. Baginya, kemenangan moral lahir dari keteraturan batin manusia. Dalam konteks NU, keteraturan batin itulah yang menjadikan organisasi ini tetap stabil meski zaman berubah cepat. NU memilih ketenangan sebagai pertahanan dan persatuan sebagai energi.

 

Pohon sawo Diponegoro bukan sekadar memori masa lalu, tetapi inspirasi gerakan masa kini. Ketika masyarakat berhadapan dengan polarisasi, ketegangan sosial, atau gempuran ideologi yang memecah belah, nilai keteduhan pohon sawo itu menjadi penawar. Ia mengingatkan bahwa barisan harus dirapatkan bukan untuk menyerang siapa pun, tetapi untuk menjaga hidup bersama agar tetap teduh, adil, dan bermartabat.

 

Pada saat yang sama, pohon sawo juga mengajarkan bahwa perubahan perlu dijalankan dengan kesantunan. NU pernah dan selalu mengambil jalan ini: mengoreksi tanpa menghancurkan, memperbaiki tanpa menghinakan, mengingatkan tanpa menakut-nakuti. Itulah gaya perjuangan yang diwariskan Diponegoro melalui sanad spiritualnya kepada para kiai dan umat.

 

Gerakan Pohon Sawo Diponegoro menjadi simbol perlawanan moral yang tidak keras namun tegas. NU merawat simbol itu melalui tradisi mengaji, musyawarah, dan membangun masyarakat dari akar terbawah. Seperti pohon sawo yang meneduhkan pekarangan, NU menjadi naungan bagi banyak kalangan, dari petani hingga cendekiawan, dari desa hingga kota.

 

Seruan Sawwuu Shufuufakum hari ini bergema kembali dalam konteks yang baru. Ia bukan lagi seruan medan perang, tetapi ajakan untuk mengokohkan solidaritas di tengah tantangan zaman. Barisan yang dirapatkan berarti memperkuat jaringan pesantren, memperdalam pendidikan karakter, dan membangun kebersamaan yang tidak mudah dikoyak isu-isu destruktif.

 

Pada akhirnya, sanad perjuangan NU, jejak Pangeran Diponegoro, dan Gerakan Pohon Sawo bertemu dalam ruang makna yang sama: perjuangan harus dijalankan dengan hati yang tertib, barisan yang rapi, dan tekad yang lurus. Selama nilai itu dijaga, NU akan terus menjadi penjaga keteduhan bangsa, seperti pohon sawo yang tak pernah berhenti memberi bayangan damai di tengah panas sejarah.

 

 

Oleh: Zaenuddin Endy

Koordinator Instruktur PKPNU Sulawesi Selatan

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *