KH. Muhammad Husain Jeneponto: Ulama Pencerah dari Pesisir Selatan

Zaenuddin Endy Wakil Ketua LAKPESDAM NU Sulawesi Selatan
banner 468x60

KH. Muhammad Husain Jeneponto yang biasa disebut Gurutta Mauseng adalah salah satu tokoh ulama tradisional yang menorehkan jejak penting dalam sejarah Islam di Sulawesi Selatan, khususnya di wilayah pesisir selatan yang dikenal dengan karakter masyarakatnya yang religius dan berpegang kuat pada tradisi. Dalam konteks perkembangan pendidikan Islam di awal abad ke-20, beliau tampil sebagai figur sentral yang tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga menanamkan kesadaran kolektif tentang pentingnya lembaga pendidikan formal bagi umat Islam. Keberanian beliau mendirikan Madrasah Nahdlatu al-Thawalib pada tahun 1925 menjadi tonggak awal perubahan arah pendidikan Islam di Jeneponto.

 

Latar sosial masyarakat Jeneponto pada masa itu masih berada dalam bayang-bayang struktur tradisional kerajaan dan adat Bugis-Makassar yang kuat. Dalam situasi seperti itu, kehadiran seorang ulama dengan visi pendidikan modern berbasis nilai-nilai Islam merupakan langkah revolusioner. KH. Husain memahami bahwa dakwah tidak cukup hanya disampaikan melalui mimbar, tetapi perlu diinstitusionalisasi melalui lembaga pendidikan yang sistematis. Maka, madrasah yang didirikannya bukan sekadar tempat belajar mengaji, melainkan menjadi ruang transformasi sosial bagi generasi muda muslim di Jeneponto.

 

Madrasah Nahdlatu al-Thawalib yang diprakarsai KH. Husain menandai awal dari tradisi baru dalam sistem pendidikan Islam lokal. Kurikulum yang digunakan memadukan pelajaran agama klasik seperti tauhid, fikih, dan tafsir dengan pengetahuan umum dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung. Langkah ini menunjukkan bahwa beliau telah memahami arah perubahan zaman, di mana umat Islam tidak bisa hanya bergantung pada sistem halaqah tradisional, tetapi juga harus membuka diri terhadap pengetahuan rasional dan kemajuan peradaban.

 

Kepemimpinan KH. Husain juga mencerminkan tipologi ulama yang tidak hanya alim secara keilmuan, tetapi juga memiliki kemampuan sosial-politik yang adaptif. Ia mampu berinteraksi dengan berbagai lapisan masyarakat ; bangsawan, petani, dan nelayan , dengan cara yang meneduhkan dan inklusif. Pendekatan dakwahnya tidak konfrontatif, melainkan persuasif, sebagaimana semangat rahmatan lil ‘alamin. Dalam situasi kolonial pada masa itu, beliau mengajarkan pentingnya kemandirian umat melalui pendidikan dan kerja keras.

 

Pengaruh KH. Muhammad Husain tidak hanya terbatas di Jeneponto. Jaringan keulamaan yang ia bangun meluas hingga ke wilayah Bantaeng, Bulukumba, dan Takalar. Para muridnya kemudian menjadi penerus tradisi keilmuan Islam yang kuat di kawasan selatan Sulawesi. Pola ini mencerminkan apa yang disebut oleh Azyumardi Azra sebagai jaringan ulama nusantara, yaitu sistem transmisi ilmu dan otoritas keagamaan yang bergerak dari satu daerah ke daerah lain melalui hubungan guru dan murid.

 

Salah satu keistimewaan KH. Husain adalah kemampuannya mengintegrasikan nilai-nilai lokal Bugis-Makassar dengan ajaran Islam. Ia tidak menolak tradisi, tetapi menafsirkan kembali maknanya dalam bingkai tauhid. Misalnya, nilai siri’ na pacce diterjemahkan sebagai kehormatan dan empati yang sejalan dengan akhlak Islam. Dengan cara ini, beliau tidak menimbulkan benturan antara Islam dan budaya, melainkan menghadirkan sintesis harmonis yang memperkaya praktik keagamaan masyarakat.

 

Dalam pengajaran sehari-hari, KH. Husain dikenal sangat disiplin dan berwibawa. Ia menanamkan pentingnya adab sebelum ilmu kepada para santri. Baginya, seorang pelajar tidak hanya dituntut untuk cerdas secara intelektual, tetapi juga matang dalam spiritualitas. Karena itu, madrasah yang ia kelola tidak hanya menghasilkan penghafal kitab, tetapi juga kader masyarakat yang berakhlak mulia dan memiliki kesadaran sosial tinggi.

 

Jejak perjuangan KH. Husain juga memperlihatkan bagaimana ulama tradisional memainkan peran strategis dalam membangun kesadaran kebangsaan. Pada masa menjelang kemerdekaan, madrasah yang beliau dirikan menjadi tempat persemaian nilai-nilai keislaman dan kebangsaan. Para muridnya belajar bahwa cinta tanah air merupakan bagian dari iman, sebagaimana diajarkan oleh para ulama Aswaja yang menempatkan agama dan nasionalisme dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

 

Di balik ketegasan dan kedalaman ilmunya, KH. Husain dikenal sebagai pribadi yang rendah hati dan mudah bergaul. Ia sering turun langsung ke sawah dan berdialog dengan masyarakat desa tanpa sekat status sosial. Sikap egaliter ini membuat beliau sangat dihormati dan menjadi panutan lintas generasi. Keulamaannya bukan hanya karena kitab yang dikuasainya, tetapi karena akhlak yang memantulkan cahaya ilmu itu sendiri.

 

Kontribusi KH. Husain dalam membentuk watak pendidikan Islam di Sulawesi Selatan patut dicatat sebagai bagian dari sejarah besar transmisi ilmu Islam di Nusantara. Melalui gagasannya, model pendidikan yang berbasis pada tafaqquh fi al-din namun terbuka terhadap pembaharuan berhasil mengakar di kalangan masyarakat pesisir. Dalam konteks sejarah pendidikan Islam Indonesia, peran beliau sepadan dengan ulama-ulama pelopor madrasah di Jawa maupun Sumatera.

 

Hingga kini, nama KH. Muhammad Husain tetap dikenang oleh masyarakat Jeneponto sebagai simbol keteladanan dan pencerahan. Beberapa lembaga pendidikan di daerah tersebut bahkan mengabadikan namanya sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa-jasanya. Warisan moral dan intelektual beliau terus hidup dalam sistem nilai masyarakat yang menjunjung tinggi ilmu, kerja keras, dan kesederhanaan.

 

Dalam perspektif sosiologis, KH. Husain dapat diposisikan sebagai agen perubahan kultural (cultural broker) yang mampu menjembatani nilai tradisi dan modernitas. Ia menunjukkan bahwa Islam dapat tumbuh subur di tengah masyarakat yang beragam tanpa kehilangan substansi keimanannya. Kecerdasannya membaca konteks zaman menjadikan kiprahnya relevan hingga kini.

 

Perjalanan hidup KH. Muhammad Husain juga mencerminkan dinamika ulama lokal yang sering terabaikan dalam sejarah besar Islam Indonesia. Padahal, merekalah yang sesungguhnya membumikan nilai-nilai Islam dalam praksis sosial masyarakat. Dengan dedikasi tanpa pamrih, mereka menjaga kesinambungan tradisi ilmu dan akhlak di tengah perubahan zaman yang cepat.

 

Dalam arus modernisasi yang kian deras, keteladanan seperti KH. Husain menjadi oase moral yang meneduhkan. Ia mengajarkan bahwa kemajuan harus disertai kebijaksanaan, dan ilmu harus diimbangi dengan adab. Pandangan ini sangat relevan dengan tantangan pendidikan Islam masa kini yang cenderung terjebak antara tuntutan kompetisi global dan krisis spiritualitas.

 

Warisan intelektual KH. Muhammad Husain tidak semata berupa lembaga fisik, tetapi juga etos berpikir yang terbuka dan berakar. Madrasah yang ia dirikan menjadi simbol kesinambungan antara masa lalu dan masa depan. Ia telah membuktikan bahwa ulama daerah dapat memberikan kontribusi besar bagi pembentukan peradaban Islam Indonesia yang berkarakter.

 

Kini, ketika masyarakat Jeneponto dan sekitarnya terus bergerak dalam arus perubahan sosial, figur KH. Muhammad Husain tetap menjadi cermin sejarah dan inspirasi moral. Namanya bukan hanya tercatat dalam catatan lokal, tetapi juga pantas dikenang dalam sejarah nasional sebagai salah satu ulama pencerah dari pesisir selatan yang menanamkan nilai ilmu, iman, dan amal dalam satu nafas perjuangan.

 

 

 

Oleh: Zaenuddin Endy

Wakil Ketua Lakpesdam NU Sulawesi Selatan

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *