Barzanji merupakan tradisi keagamaan yang telah lama hidup di tengah masyarakat Muslim, terutama di kawasan Nusantara. Ia bukan sekadar bacaan pujian, melainkan bentuk ekspresi cinta dan penghormatan mendalam kepada Nabi Muhammad Saw. Dalam pembacaan Barzanji, umat Islam mengenang perjalanan hidup, akhlak mulia, dan perjuangan Rasulullah sebagai rahmat bagi seluruh alam. Tradisi ini menjadi media spiritual yang menumbuhkan kecintaan kepada Nabi, memperkuat identitas keislaman, serta menghidupkan semangat kebersamaan di tengah umat.
Kitab Al-Barzanji sendiri ditulis oleh Sayyid Ja‘far bin Hasan al-Barzanji, seorang ulama dan ahli hadis dari Madinah pada abad ke-18. Karya tersebut berisi kisah kelahiran, silsilah, perjuangan, hingga kemuliaan akhlak Rasulullah Saw dalam bentuk prosa dan puisi. Setiap baitnya memancarkan keindahan bahasa Arab yang penuh makna spiritual dan emosional. Dalam konteks keagamaan, membaca Barzanji bukan hanya kegiatan literer, tetapi ibadah hati yang menumbuhkan rasa syukur atas diutusnya Nabi sebagai cahaya bagi umat manusia.
Pentingnya Barzanji terletak pada fungsinya sebagai media tazakkur, yakni mengingat dan meneladani Rasulullah. Di dalamnya, tersimpan ajaran moral, kesabaran, ketawadhuan, dan perjuangan dakwah Nabi yang relevan sepanjang masa. Melalui kisah kelahiran dan perjalanan hidup Nabi yang dibacakan dengan khusyuk, umat diingatkan akan nilai-nilai kemanusiaan dan keimanan yang sejati. Dalam dunia modern yang cenderung materialistik, Barzanji menjadi oase rohani yang mengembalikan manusia kepada keteladanan spiritual.
Barzanji juga menjadi bentuk nyata cinta (mahabbah) kepada Rasulullah Saw. Dalam Islam, mencintai Nabi merupakan bagian dari kesempurnaan iman. Rasulullah bersabda, “Tidak sempurna iman seseorang hingga aku lebih dicintainya daripada dirinya sendiri, orang tuanya, dan seluruh manusia.” Melalui lantunan Barzanji, cinta itu tidak hanya diucapkan, tetapi dirasakan dalam getaran hati, dilantunkan dalam syair, dan diwujudkan dalam kebersamaan umat yang berzikir bersama.
Di banyak daerah, pembacaan Barzanji menjadi bagian tak terpisahkan dari momen-momen penting seperti kelahiran, pernikahan, khitanan, hingga peringatan Maulid Nabi. Hal ini menunjukkan bahwa Barzanji memiliki fungsi sosial yang kuat. Ia menghadirkan suasana religius yang penuh berkah, mengikat komunitas dalam rasa syukur dan kebersamaan. Setiap lantunan doa dalam Barzanji menyatukan berbagai lapisan masyarakat tanpa membeda-bedakan status sosial.
Tradisi Barzanji juga merupakan warisan budaya Islam Nusantara yang mempertemukan nilai spiritual dan estetika lokal. Di tangan para ulama dan kiai, Barzanji menjadi sarana dakwah yang indah dan mudah diterima masyarakat. Lantunan irama Barzanji yang lembut, disertai tabuhan rebana atau marawis, menjadikan ajaran Islam terasa akrab, hangat, dan menggembirakan. Dalam konteks ini, Barzanji berfungsi sebagai bentuk inkulturasi dakwah, yakni penyebaran Islam yang menghargai budaya lokal tanpa mengurangi nilai tauhid.
Lebih dari itu, Barzanji memiliki dimensi edukatif yang penting. Setiap pembacaan kisah kelahiran Nabi mengajarkan umat tentang pentingnya pendidikan akhlak, kesabaran dalam perjuangan, serta pengabdian kepada sesama. Anak-anak yang tumbuh dalam tradisi Barzanji akan terbiasa mendengar kisah-kisah keteladanan Nabi sejak dini, sehingga nilai-nilai Islam terinternalisasi secara halus dalam diri mereka.
Sebagian orang mungkin memandang Barzanji hanya sebagai ritual tradisional tanpa makna teologis. Namun pandangan ini kurang tepat. Para ulama besar, seperti Imam Nawawi, Al-Hafizh As-Suyuthi, hingga ulama Nusantara seperti Syekh Nawawi al-Bantani dan KH. Hasyim Asy’ari, mendukung kegiatan maulid dan pembacaan Barzanji sebagai bentuk ta‘zhim (pengagungan) terhadap Rasulullah. Selama tidak disertai keyakinan syirik, Barzanji justru menjadi sarana dakwah yang lembut dan penuh hikmah.
Barzanji juga mengandung nilai spiritual yang mendalam karena di dalamnya terdapat doa dan shalawat yang mengundang keberkahan. Setiap kali nama Nabi disebut, malaikat turut bershalawat, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat atas Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuknya dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan.” (QS. Al-Ahzab: 56). Dengan demikian, Barzanji menjadi media dzikir kolektif yang membawa ketenangan dan rahmat.
Dari perspektif sufistik, Barzanji merupakan bentuk maulidiyah dzikriyyah, yaitu zikir cinta kepada Nabi dalam ekspresi sastra. Para sufi memandang Barzanji sebagai jalan untuk tajalli al-mahabbah (penampakan cinta) kepada Rasulullah yang menyinari hati. Ketika seseorang mendengarkan atau melantunkan Barzanji, hatinya tersentuh oleh keharuan dan kerinduan kepada sosok agung yang menjadi pembimbing umat menuju Allah.
Barzanji juga memiliki fungsi sosial-keagamaan yang strategis. Ia menjadi ruang interaksi antara tradisi, budaya, dan agama. Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, Barzanji menghadirkan wajah Islam yang damai, toleran, dan penuh kasih. Melalui tradisi ini, umat Islam menunjukkan bahwa cinta kepada Nabi tidak harus diwujudkan dengan simbol keras, tetapi dengan kelembutan, doa, dan lantunan pujian yang menyejukkan.
Kegiatan Barzanji turut memperkuat ikatan silaturahim. Saat masyarakat berkumpul untuk membacanya, suasana persaudaraan dan kebersamaan tercipta. Di tengah tantangan zaman yang menimbulkan perpecahan dan individualisme, Barzanji menjadi jembatan sosial yang menyatukan hati-hati umat. Ia menanamkan nilai ukhuwah (persaudaraan) dan tasamuh (toleransi) dalam bingkai keagamaan yang hidup.
Barzanji juga dapat dipandang sebagai bentuk pelestarian warisan intelektual Islam klasik. Teksnya yang puitis memperlihatkan betapa kaya tradisi sastra keislaman Arab, sekaligus menunjukkan kecintaan ulama terhadap Rasulullah melalui keindahan bahasa. Di Nusantara, tradisi ini kemudian diadaptasi dalam berbagai versi lokal, menunjukkan daya hidup Islam yang mampu berdialog dengan kebudayaan setempat.
Dari sisi spiritual, membaca Barzanji menjadi sarana tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) . Lantunan shalawat dan pujian kepada Nabi membuka pintu hati yang keras, melunakkan ego, dan menumbuhkan kerendahan hati. Dalam suasana pembacaan Barzanji, setiap insan merasa dekat dengan Rasulullah, dan kedekatan itu menuntun pada kesadaran untuk memperbaiki diri dan meneladani akhlaknya.
Barzanji juga memiliki dimensi dakwah yang lembut dan menyentuh. Di saat sebagian metode dakwah menekankan pendekatan logis atau polemis, Barzanji justru berbicara dengan bahasa rasa, menyentuh hati, bukan sekadar pikiran. Ia menyapa manusia dengan kasih, bukan ancaman. Melalui pujian dan kisah cinta kepada Nabi, Barzanji menanamkan pesan moral secara halus namun mendalam.
Barzanji adalah cermin cinta, budaya, dan keislaman yang berpadu indah dalam kehidupan umat. Ia mengajarkan bahwa cinta kepada Nabi bukan hanya urusan ritual, tetapi juga nilai kemanusiaan dan peradaban. Dalam Barzanji, umat Islam menemukan cara lembut untuk mendekat kepada Allah melalui sosok yang paling dicintai-Nya. Selama hati manusia masih bergetar ketika nama Nabi dilantunkan, selama itu pula tradisi Barzanji akan hidup, menjaga cahaya cinta dan iman di tengah zaman yang kian gersang.
Oleh: Zaenuddin Endy
Koordinator Instruktur PKPNU Sulawesi Selatan







