Setiap tanggal 28 Oktober, bangsa Indonesia kembali memperingati Hari Sumpah Pemuda sebagai momentum penting untuk mengingat kembali komitmen tiga guna yang diikrarkan dalam Kongres Pemuda II tahun 1928 bertumpah darah satu, tanah air Indonesia berbangsa satu, bangsa Indonesia dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Di tengah peringatan itu, fakta sosial kini menunjukkan bahwa kaum muda dan elemen masyarakat lebih aktif mengambil peran dalam ruang publik terutama melalui demonstrasi dan unjuk rasa sebagai wujud kritik terhadap kebijakan dan kondisi bangsa. Hal ini menunjukkan bahwa spirit Sumpah Pemuda bukan sekadar warisan simbolik, melainkan panggilan untuk partisipasi real dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun demikian, korelasi antara peringatan Sumpah Pemuda dan aksi demonstrasi yang semakin marak membawa sejumlah catatan penting. Pertama, momentum peringatan ternyata digunakan oleh sejumlah kelompok, termasuk mahasiswa, dan organisasi pemuda, sebagai waktu strategis untuk menyampaikan tuntutan atau protes terhadap kebijakan pemerintah. Misalnya, dalam rangkaian peringatan Sumpah Pemuda, elemen buruh telah beberapa kali melakukan aksi penolakan terhadap UndangUndang Cipta Kerja (“omnibus law”). Ini menunjukkan bahwa nilai bersatu dan berbahasa satu yang menjadi bagian Sumpah Pemuda juga diinterpretasikan dalam konteks “berjuang” terhadap kondisi yang dirasa tidak adil.
Kedua, demonstrasi yang dilakukan bertepatan dengan peringatan ini menandakan bahwa pemuda dan masyarakat sipil menuntut agar semangat persatuan tidak hanya jadi jargon, tetapi jadi aksi nyata dalam aspek kesejahteraan, keadilan, dan pemerataan. Sebagai contoh, dalam peringatan Sumpah Pemuda tahun 2022, massa aksi mahasiswa membawa tuntutan mulai dari penolakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) hingga penegakan supremasi hukum dan hak asasi manusia. Dengan demikian, peringatan ini dapat dijadikan momen introspeksi sejauh mana semangat 1928 itu benar‐benar hadir dalam kebijakan dan praktik hari ini.
Ketiga, jelas juga bahwa demonstrasi massa tidak sekadar soal pemuda dalam arti usia muda saja, melainkan melibatkan berbagai elemen masyarakat, mahasiswa, aktivis, warga sipil yang merasa punya andil dalam nasib bangsa. Contoh lain, dalam malam renungan peringatan Sumpah Pemuda, elemen mahasiswa di Jawa Tengah mendesak pencopotan Ketua Mahkamah Konstitusi atas putusan yang dinilai kontroversial. Ini menandakan bahwa ruang kritik dan demokrasi sipil semakin dirasakan sebagai bagian dari warisan Sumpah Pemuda yang mengajak pemuda dan masyarakat untuk aktif.
Meski demikian, terdapat beberapa tantangan yang patut dicermati. Salah satu tantangan terbesar adalah risiko bahwa peringatan yang semestinya mendorong persatuan justru menjadi panggung konflik atau polarisasi. Di satu sisi, aksi unjuk rasa bisa memperkuat partisipasi demokrasi. Di sisi lain, jika tidak dikelola dengan baik, bisa menimbulkan ketegangan sosial dan memunculkan narasi “kami kontra mereka” yang berpotensi memecah belah. Sebagai contoh, muncul wacana “darurat militer” akibat demo yang dianggap anarkis, sehingga memunculkan kekhawatiran bahwa ruang demokrasi dipersempit menjadi ruang keamanan.
Lebih jauh, penting diingat bahwa Sumpah Pemuda bukan hanya soal retorika kebangsaan atau simbol persatuan, tetapi juga realitas bahwa bangsa ini memiliki tantangan besar kemiskinan, pengangguran, korupsi, hoaks dan ujaran kebencian, serta keadilan sosial yang belum merata. Maka dari itu, peringatan hari ini harus lebih dari seremoni harus menjadi provokasi bagi generasi muda dan bangsa untuk “bergerak” dalam arti nyata, bukan hanya “berbicara”.
Dalam konteks demonstrasi terkini, kita dapat melihat bahwa pemuda dan elemen masyarakat memanfaatkan momen Sumpah Pemuda untuk menyuarakan keresahan terhadap kondisi masa kini ekonomi yang terasa berat, budaya politik yang dianggap jauh dari harapan, hingga sistem hukum yang dirasa belum adil. Peringatan ini seharusnya memacu refleksi apakah negara dan bangsa memberi ruang nyata kepada pemuda untuk bertindak dan berinovasi, atau justru membatasi ekspresi dan partisipasi masyarakat.
Sikap kritis seperti itu sesuai dengan semangat Sumpah Pemuda aslinya, yaitu bahwa pemuda Indonesia bersatu dalam keragaman, memiliki tanggung jawab moral dan etika terhadap bangsa, serta harus aktif dalam perubahan sosial. Dengan kata lain, peringatan ini tidak bisa hanya jadi nostalgia masa lalu, tetapi harus menjadi pengingat bahwa “bersatu” dan “berbahasa satu” juga berarti “bertindak bersatu” dan “berbahasa satu dalam aksi dan visi”.
Namun, ada pula aspek yang perlu diwaspadai dalam rangka aksi demokrasi yang semakin intens. Pertama, pemuda dan masyarakat yang bergerak perlu memastikan bahwa tuntutan dan aksi mereka dilakukan secara konstruktif, tidak mudah terprovokasi, dan menghindari kekerasan atau kerusakan yang justru merugikan masyarakat luas. Pemuda yang berjuang untuk perubahan harus memastikan bahwa metode perjuangannya memperkuat, bukan memecah, persatuan bangsa. Kedua, pemerintah dan institusi negara juga harus mendengar dan menindaklanjuti tuntutan masyarakat dengan transparan dan responsif jika tidak, maka peringatan Sumpah Pemuda akan jadi seremonial kosong tanpa makna praktis.
Secara khusus, dalam era digital dan media sosial, pemuda hari ini memiliki tantangan tambahan bagaimana menyeimbangkan antara semangat kritis dan semangat konstruktif, antara ekspresi kebebasan dan tanggung jawab sosial. Semangat Sumpah Pemuda yang dulu lahir dalam konteks kebersamaan antar suku dan bahasa, kini harus diterjemahkan ke dalam konteks keberagaman identitas digital, media, dan globalisasi dan dalam konteks ini, demonstrasi bisa menjadi salah satu saluran partisipatif yang sah. Tetapi, kembali ditegaskan, saluran itu harus menjaga etika, menjaga persatuan, dan menjamin bahwa suara masyarakat tidak hilang dalam “keramaian” aksi.
Sebagai kesimpulan, peringatan Hari Sumpah Pemuda tahun ini harus dilihat sebagai titik tolak, bukan sekadar tanggal. Ia adalah pengingat bahwa bangsa ini memiliki modal persatuan yang besar, namun juga tantangan yang besar. Dalam suasana di mana demonstrasi dan protes massal menjadi bagian dari lanskap politik dan sosial Indonesia, semangat Sumpah Pemuda bisa menjadi filter nilai: apakah kita bergerak untuk persatuan dan keadilan, atau hanya berteriak tanpa arah. Pemuda hari ini dan masyarakat luas memiliki kesempatan untuk menuntun bangsa ke arah yang lebih baik, jika mampu menyatukan visi, mengartikulasikan aspirasi dengan cara yang konstruktif, dan mewujudkan tindakan nyata. Bila tidak, maka peringatan ini akan hanya jadi seremonial tahunan tanpa dampak yang terasa dalam kehidupan sehari-hari.
Semoga peringatan ini menjadi momentum bukan hanya untuk mengenang, tapi untuk merealisasikan: bahwa “satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa” bukan hanya slogan, melainkan kenyataan yang dihidupi dalam keseharian, melalui aksi nyata yang memastikan keadilan sosial dan keberlanjutan bangsa.
Penulis : Andi Ikky Fernando
KABID Hubungan Antar Lembaga Dan Advokasi Non Letigasi PMII UINAM Rayon Ushuluddin Filsafat Dan Politik Cabang Gowa







