Dalam perjalanan panjang sejarah Islam, keberadaan mazhab menjadi fondasi kokoh yang menuntun umat agar tidak terombang-ambing dalam memahami ajaran agama. Bermazhab bukan sekadar mengikuti pendapat seorang ulama, melainkan bentuk penghormatan terhadap ijtihad yang telah ditempuh dengan kesungguhan, ilmu, dan kedalaman spiritual. Mazhab hadir bukan untuk membatasi kebebasan berpikir, tetapi untuk menjaga agar kebebasan itu tetap berpijak pada koridor kebenaran yang teruji dan terwarisi dari generasi ke generasi ulama.
Mazhab menjadi manifestasi dari keberlanjutan ilmu dalam Islam. Para imam mazhab seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi‘i, dan Imam Ahmad bin Hanbal bukan hanya ahli fikih, tetapi juga penjaga sanad keilmuan yang bersambung hingga kepada Rasulullah Saw. Mereka menafsirkan Al-Qur’an dan Hadis dengan perangkat metodologis yang sangat ketat. Tanpa mazhab, umat akan kehilangan panduan metodologis dalam menggali hukum Islam, dan penafsiran akan mudah jatuh pada subjektivitas yang berpotensi menyesatkan.
Bermazhab juga mengajarkan umat tentang adab dalam berilmu. Seorang muslim tidak langsung menafsirkan ayat dan hadis sesuai kehendaknya, melainkan belajar dari para ulama yang telah mendalamkan ilmu ushul, qiyas, istihsan, dan berbagai kaidah istinbath hukum. Dengan cara ini, bermazhab menjaga kerendahan hati seorang penuntut ilmu agar tidak tergesa-gesa merasa mampu berijtihad sebelum waktunya. Hal ini menumbuhkan sikap tawadhu di hadapan warisan keilmuan para ulama terdahulu.
Selain itu, mazhab berfungsi sebagai sistem penyaring terhadap penyimpangan pemahaman agama. Banyak kelompok ekstrem lahir karena menolak otoritas mazhab dan mengandalkan penafsiran pribadi terhadap teks-teks suci. Akibatnya, mereka memahami Islam secara kaku dan parsial. Dengan bermazhab, umat memiliki rambu-rambu yang menjaga agar tafsir agama tetap seimbang, rasional, dan kontekstual. Mazhab bukan penghalang, melainkan pagar keselamatan dari penyimpangan.
Dalam konteks sosial keagamaan, bermazhab juga menjadi perekat umat. Umat Islam yang mengikuti mazhab tertentu memiliki kesamaan metodologi dan prinsip hukum yang memudahkan kehidupan berjamaah. Contohnya, keseragaman tata cara shalat, zakat, dan muamalah di antara pengikut satu mazhab menciptakan harmoni dan keteraturan. Tanpa mazhab, umat akan terpecah karena setiap orang merasa tafsirnya sendiri yang paling benar.
Kebebasan bermazhab juga merupakan bentuk kebebasan berpikir yang terarah. Islam tidak memonopoli kebenaran pada satu mazhab saja, tetapi mengakui validitas empat mazhab sebagai hasil ijtihad yang sah. Ini menunjukkan keluasan rahmat Islam: perbedaan bukan sumber pertentangan, tetapi rahmat yang menyesuaikan kondisi sosial dan geografis umat. Dengan demikian, bermazhab justru menumbuhkan sikap toleran dan terbuka dalam memahami keragaman pandangan.
Bermazhab juga melatih seseorang berpikir ilmiah. Seorang pengikut mazhab tidak hanya menerima hukum secara dogmatis, tetapi diajarkan untuk memahami dasar hukumnya. Mazhab menyediakan perangkat analisis, dari dalil hingga qiyas, yang membentuk tradisi berpikir kritis. Melalui ini, Islam tidak hanya diwarisi secara tekstual, tetapi juga rasional dan kontekstual.
Salah satu bahaya meninggalkan mazhab adalah munculnya sikap merasa cukup dengan terjemahan Al-Qur’an dan hadis. Padahal, teks agama tidak bisa dipahami hanya dari makna literal. Tanpa penguasaan bahasa Arab, ilmu tafsir, ushul fikih, dan konteks sejarah turunnya ayat atau hadis, seseorang mudah terjebak pada kesimpulan keliru. Mazhab hadir untuk mengantisipasi kekeliruan tersebut, memastikan bahwa setiap pemahaman berjalan dalam koridor ilmu.
Dalam sejarah Islam, tak satu pun ulama besar yang menolak pentingnya bermazhab. Bahkan Imam Nawawi dan Imam Suyuthi menegaskan bahwa bermazhab bagi orang awam adalah kewajiban, karena tidak semua mampu berijtihad langsung dari nash. Ini menunjukkan bahwa mazhab bukan sekadar pilihan pribadi, melainkan kebutuhan metodologis yang memastikan keabsahan praktik ibadah.
Mazhab juga mengajarkan keseimbangan antara teks dan konteks. Misalnya, Imam Malik dengan maslahah mursalahnya sebagai sumber hukum, karena di sana hidup generasi sahabat dan tabi‘in. Sementara Imam Syafi‘i menekankan kekuatan dalil nash dan qiyasnya sebagai prioritas utama. Perbedaan ini bukan pertentangan, tetapi variasi pendekatan yang memperkaya khazanah fikih Islam.
Dalam konteks keindonesiaan, bermazhab terutama mazhab Syafi‘i, telah menjadi fondasi kehidupan keagamaan yang moderat. Ulama Nusantara menjadikan mazhab ini sebagai pedoman utama dalam menanamkan Islam yang ramah, kontekstual, dan sejalan dengan budaya lokal. Inilah yang membuat Islam di Indonesia tumbuh tanpa kekerasan, tetapi melalui dakwah penuh hikmah dan kearifan.
Bermazhab juga memiliki implikasi spiritual. Ketika seseorang mengikuti jalan ulama yang ikhlas dan bertakwa, maka ia tidak hanya mengikuti logika hukum, tetapi juga barakah keilmuan. Mazhab menjadi wasilah (perantara) untuk terhubung dengan sanad ulama hingga Rasulullah Saw. Ini adalah bentuk penghormatan terhadap rantai keilmuan (silsilah) yang menjaga kemurnian Islam.
Di era digital, di mana banyak orang dengan mudah menafsirkan agama hanya dari media sosial, pentingnya bermazhab justru semakin besar. Informasi agama yang tersebar tanpa filter sering kali mencampuradukkan antara pendapat ulama dan opini pribadi. Dengan bermazhab, umat memiliki standar otoritatif dalam membedakan mana ilmu yang sahih dan mana yang menyesatkan.
Selain itu, bermazhab membangun etika perbedaan. Mazhab mengajarkan bahwa perbedaan pandangan fikih adalah hal wajar, karena setiap imam memiliki metodologi berbeda dalam menafsirkan dalil. Dengan memahami hal ini, umat tidak mudah menyalahkan atau mengkafirkan orang lain yang berbeda dalam hal cabang (furu‘iyyah). Prinsip tasamuh (toleransi) dalam bermazhab adalah kunci perdamaian umat Islam.
Akhirnya, bermazhab adalah bentuk penghormatan terhadap ilmu dan sejarah. Kita tidak sedang membatasi diri pada pendapat lama, tetapi melanjutkan estafet ilmu dari generasi ke generasi. Dengan mazhab, Islam tetap hidup, rasional, dan relevan. Tanpa mazhab, umat kehilangan arah dan pondasi berpikir. Oleh karena itu, bermazhab bukan pilihan, melainkan kebutuhan bagi siapa pun yang ingin meniti jalan agama dengan aman dan benar.
Mazhab adalah lentera yang menerangi jalan panjang menuju kebenaran syariat. Ia menjaga agar akal tidak liar, hati tetap tunduk, dan ibadah tetap sahih. Dalam dunia yang penuh kebingungan dan relativisme moral, bermazhab adalah benteng terakhir umat agar tetap berada di jalan yang lurus, sebagaimana diajarkan oleh para ulama pewaris Nabi.
Oleh: Zaenuddin Endy
Wakil Ketua Lakpesdam NU Sulawesi Selatan








