Pesantren tidak semata berdiri dari bata dan semen, melainkan dari ruh dan nilai yang hidup dalam diri santri dan kiai. Ia bukan hanya bangunan yang dipagari tembok tinggi atau halaman yang dipenuhi asrama dan masjid, tetapi sebuah jiwa yang menubuh dalam kesederhanaan, keikhlasan, dan pengabdian. Dalam pesantren, segala sesuatu hidup bukan karena bentuk fisik, melainkan karena ruh keilmuan dan spiritualitas yang senantiasa berdenyut. Itulah sebabnya, ketika seorang santri keluar dari pesantren, pesantrennya tidak ikut hilang—ia tetap hidup dalam batin, menjadi nur yang menuntun di setiap langkah kehidupan.
Pesantren adalah jiwa karena di dalamnya tumbuh kesadaran bahwa hidup bukan sekadar tentang dunia, tetapi juga tentang perjalanan menuju akhirat. Kiai mengajarkan dengan keteladanan, bukan hanya dengan kata-kata. Santri belajar bukan sekadar menghafal teks, tetapi menyelami makna kehidupan. Setiap waktu yang dihabiskan di serambi masjid atau di bawah sinar lampu minyak bukanlah sekadar rutinitas belajar, melainkan ziarah ruhani menuju pemahaman yang hakiki tentang makna pengabdian kepada Allah.
Bangunan bisa roboh, tetapi pesantren tidak akan pernah mati. Sebab ia hidup di hati para santri yang telah ditempa untuk menjadi pribadi yang tahan banting, sabar, dan tulus dalam berjuang. Jiwa pesantren membentuk karakter kemandirian bahwa segala sesuatu harus diusahakan dengan tangan sendiri, dengan keyakinan bahwa kerja keras adalah bagian dari ibadah. Dalam dunia yang semakin materialistik, jiwa pesantren menjadi oase yang menyejukkan, mengajarkan kesederhanaan di tengah gemerlap keserakahan.
Di pesantren, kiai bukan sekadar guru, melainkan juga orang tua spiritual. Ia menanamkan cinta yang tak bersyarat kepada ilmu dan mengajarkan bagaimana mencintai sesama manusia karena Allah. Jiwa pesantren lahir dari hubungan batin antara murid dan guru, dari doa di sepertiga malam, dari air wudu yang membasuh hati, dan dari lafaz-lafaz suci yang menjadi denyut kehidupan. Pesantren bukan sistem, melainkan ekosistem nilai yang tumbuh dari keikhlasan dan kasih sayang.
Jiwa pesantren juga berarti kebersamaan yang tulus. Santri makan bersama, tidur bersama, berjuang bersama, dan belajar untuk tidak mengeluh. Dalam kesederhanaan itu mereka belajar arti kebersyukuran. Mereka tahu bahwa rezeki tidak hanya datang dari nasi di piring, tetapi juga dari keberkahan doa sang kiai dan ridha orang tua. Di sinilah pesantren menanamkan nilai ukhuwah yang sejati bahwa persaudaraan bukan hanya diucapkan, tetapi dijalani dengan tulus dan istiqamah.
Dalam tradisi pesantren, tidak ada kemewahan, tetapi ada kekayaan batin yang luar biasa. Jiwa pesantren mengajarkan bahwa kemuliaan tidak diukur dari pakaian atau jabatan, melainkan dari keteguhan hati dan amal saleh. Santri yang tidur di atas tikar pandan dan makan dengan lauk sederhana justru sedang menempuh jalan para kekasih Allah. Dari kesederhanaan itu lahir ulama besar, pemimpin bangsa, dan pejuang moral yang menebarkan cahaya di tengah kegelapan zaman.
Pesantren adalah jiwa karena ia menghidupkan makna ilmu. Ilmu bukan untuk berkuasa, tetapi untuk melayani. Ilmu bukan untuk menyombongkan diri, tetapi untuk menuntun umat menuju kebenaran. Jiwa pesantren membentuk manusia yang tawaduk di hadapan guru dan rendah hati dalam menghadapi sesama. Dari sinilah tumbuh tradisi intelektual yang santun—dimana perbedaan pendapat tidak menjadi sumber perpecahan, melainkan ladang untuk saling melengkapi.
Dalam setiap denyut waktu, jiwa pesantren selalu bergetar dengan dzikir. Kalimat la ilaha illallah menjadi napas kehidupan, dan shalawat menjadi irama keseharian. Santri belajar bahwa kekuatan sejati bukan pada fisik, tetapi pada hati yang senantiasa terhubung dengan Allah. Jiwa pesantren menjadikan spiritualitas bukan sekadar ritual, tetapi jalan hidup yang menyatu dengan tindakan.
Ketika modernisasi datang dengan segala kecanggihan dan tantangannya, pesantren tetap kokoh karena yang dijaganya bukan bangunan, melainkan ruh. Modernitas mungkin bisa merobohkan dinding, tetapi tidak bisa mencabut akar nilai yang telah tumbuh dalam jiwa para santri. Di tengah digitalisasi, pesantren tetap menjadi benteng moral yang menjaga manusia agar tidak kehilangan arah dan makna hidup.
Jiwa pesantren juga berarti cinta tanah air. Santri diajarkan bahwa membela negeri adalah bagian dari iman. Mereka meneladani para ulama yang berjuang merebut kemerdekaan dengan doa, ilmu, dan darah. Itulah sebabnya, cinta tanah air di pesantren tidak lahir dari slogan, melainkan dari keyakinan bahwa menjaga Indonesia berarti menjaga amanah Allah.
Nilai-nilai pesantren hidup dalam setiap langkah santri di luar pagar pondok. Ketika mereka menjadi guru, pedagang, atau pemimpin, jiwa pesantren tetap mengiringi. Mereka membawa semangat kejujuran, kerja keras, dan kasih sayang ke mana pun pergi. Jiwa itu menjadi pelita yang menuntun di tengah kabut zaman, menjadi kompas moral dalam dunia yang mudah kehilangan arah.
Pesantren adalah jiwa karena di sanalah manusia belajar menjadi manusia seutuhnya. Tidak hanya pandai membaca kitab, tetapi juga mampu membaca kehidupan. Santri dididik untuk menyeimbangkan akal dan hati, dunia dan akhirat, ilmu dan amal. Jiwa pesantren mengajarkan bahwa ilmu tanpa akhlak hanyalah kesombongan, dan ibadah tanpa ilmu hanyalah kebodohan.
Bagi kiai, membangun pesantren bukanlah membangun tembok, melainkan membangun peradaban. Ia menanam benih jiwa dalam setiap santri, agar kelak menjadi pohon yang rindang bagi umat. Maka, meski kiai telah tiada, pesantrennya tetap hidup karena jiwanya telah menitis dalam murid-muridnya. Jiwa itu menembus waktu, melintasi generasi.
Ketika malam sunyi, dan suara santri mengaji menggema dari surau, di sanalah jiwa pesantren berdenyut paling kuat. Ia bergetar di antara huruf-huruf Al-Qur’an, di antara doa-doa panjang, di antara kesungguhan yang tak terlihat. Jiwa itu menjadi saksi bahwa pesantren tidak pernah mati, ia selalu hidup dalam cahaya yang tak padam.
Pesantren adalah jiwa yang menghidupkan bangsa. Dari sanalah lahir ulama, pemimpin, dan pejuang moral yang menegakkan nilai kemanusiaan dan ketuhanan. Selama masih ada hati yang berzikir, selama masih ada santri yang menimba ilmu dengan ikhlas, selama masih ada kiai yang berjuang tanpa pamrih, pesantren akan selalu hidup. Sebab ia bukan bangunan, melainkan jiwa yang abadi.
Dan ketika suatu hari kelak, dunia berubah dengan segala bentuknya, pesantren akan tetap menjadi rumah bagi jiwa-jiwa yang haus makna. Ia akan terus melahirkan generasi yang beriman, berilmu, dan berakhlak. Karena sesungguhnya, pesantren bukanlah tempat di bumi.Pesantren adalah ruang dalam hati, tempat jiwa berlabuh kepada Tuhan.
Oleh: Zaenuddin Endy
Ketua Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Pesantren Modern (DPP IKAPM) Aljunaidiyah Bone





