Mengurai Simbol, Menemukan Hakikat: Pergulatan Ruhani Para Salik

Zaenuddin Endy Koordinator LTN Imdadiyah JATMAN Sulawesi Selatan
banner 468x60

Dalam tradisi tasawuf, perjalanan spiritual seorang salik tidak hanya sekadar menapaki jalur ritual yang terbingkai dalam simbol-simbol tarekat, melainkan juga melibatkan pencarian yang lebih dalam menuju hakikat. Simbol-simbol ini berupa wirid, zikir, pakaian khas, tata upacara, dan bentuk penghormatan tertentu yang secara lahiriah tampak sebagai tanda keterikatan kepada tarekat. Namun, bagi para salik, simbol hanyalah pintu masuk, bukan tujuan akhir. Pergulatan mereka adalah menembus makna batin di balik simbol tersebut hingga mencapai makrifat.

 

Hakikat dalam bingkai simbol bukanlah sesuatu yang secara otomatis muncul ketika seseorang melakukan ritual tarekat. Justru, banyak salik terjebak dalam simbol tanpa menyelami makna yang dikandungnya. Inilah yang dikritisi oleh para sufi, karena spiritualitas sejati tidak berhenti pada formalitas. Simbol adalah tanda yang mengarahkan, sementara hakikat adalah realitas yang hendak dituju. Dengan demikian, perjalanan seorang salik menuntut kepekaan rohani untuk menafsirkan simbol, agar tidak terperangkap dalam kebekuan ritual semata.

 

Pentingnya simbol dalam tarekat memang tidak dapat diabaikan. Ia berfungsi sebagai sarana pedagogis yang membantu salik memahami jalan yang rumit. Seorang mursyid menggunakan simbol sebagai medium mengajarkan makna batin yang sulit dijelaskan secara rasional. Misalnya, zikir dengan lafaz tertentu bukan hanya pengulangan kata, melainkan proses pembersihan hati dan penajaman kesadaran akan kehadiran Allah. Namun, tanpa bimbingan mursyid, simbol bisa kehilangan daya spiritualnya dan hanya menjadi rutinitas kosong.

 

Para sufi klasik seperti al-Ghazali menegaskan bahwa ritual lahiriah hanyalah tangga untuk naik menuju tingkatan batiniah. Ketika seorang salik berhenti pada tangga, ia tidak akan pernah sampai ke tujuan. Hal ini menunjukkan bahwa simbol dalam tarekat bersifat instrumen, bukan substansi. Dengan memahami hal ini, seorang salik diajak untuk terus melampaui bentuk menuju makna, melampaui kulit menuju inti.

 

Pergulatan ruhani para salik sering kali ditandai dengan kebingungan antara simbol dan hakikat. Pada tahap awal, simbol memberi rasa keterhubungan dengan komunitas spiritual dan rasa aman dalam kerangka bimbingan. Namun, seiring meningkatnya kesadaran, salik mulai menyadari bahwa yang ia kejar bukan sekadar pengakuan identitas tarekat, melainkan pengalaman langsung bertemu dengan Yang Hakiki. Proses ini memerlukan keikhlasan, kesabaran, dan keberanian untuk melepaskan keterikatan pada formalitas.

 

Dalam perjalanan menuju hakikat, salik menghadapi ujian berupa keinginan untuk berhenti di tengah jalan. Godaan berupa rasa puas dengan simbol-simbol lahiriah sering kali menghentikan langkah lebih jauh. Para mursyid mengingatkan agar salik tidak menjadikan simbol sebagai berhala baru yang menggantikan tujuan sejati. Hakikat yang dituju adalah kesadaran total akan kehadiran Allah, bukan sekadar kepatuhan pada aturan-aturan lahiriah.

 

Dimensi esoteris tarekat menuntut salik untuk menempuh jalan batin melalui tahapan-tahapan suluk. Tahapan ini mencakup takhalli (mengosongkan diri dari sifat tercela), tahalli (menghias diri dengan sifat terpuji), dan tajalli (penyingkapan nur ilahi). Dalam proses tersebut, simbol-simbol tarekat hanya menjadi alat bantu yang akan ditinggalkan ketika hakikat mulai tersingkap. Ibarat tongkat bagi seorang pengembara, simbol akan dilepaskan begitu ia mampu berjalan mantap.

 

Keterjebakan pada simbol sering kali muncul karena dorongan ego. Ketika seorang salik merasa bangga dengan pakaian tarekatnya, dengan wirid tertentu, atau dengan pengakuan komunitas, ia sejatinya masih jauh dari hakikat. Hakikat menuntut kehancuran ego (fana) sehingga yang tersisa hanyalah kesadaran akan kehadiran Allah. Oleh karena itu, pergulatan ruhani para salik adalah juga pergulatan melawan ego yang berusaha mencari pengakuan melalui simbol.

 

Dalam tradisi tasawuf, banyak kisah tentang salik yang mengalami pencerahan setelah menyadari keterbatasan simbol. Misalnya, seorang murid yang semula fanatik pada ritual tertentu akhirnya memahami bahwa inti dari ritual adalah dzikrullah yang menyatukan hati dengan Allah. Pemahaman ini mengubah perspektifnya dari berorientasi pada bentuk menuju substansi. Dari sinilah lahir kedewasaan spiritual yang membuat salik tidak lagi terikat pada simbol semata.

 

Hakikat tidak pernah bisa ditangkap secara penuh dengan bahasa atau simbol, karena ia adalah pengalaman langsung. Para sufi menggunakan metafora untuk menjelaskan hakikat, tetapi tetap menyadari keterbatasannya. Oleh karena itu, simbol tidak dihapus, melainkan dipahami sebagai bahasa isyarat yang mengantar salik mendekati realitas ilahi. Dalam bingkai ini, simbol bukan halangan, melainkan jembatan yang harus dilintasi dengan kesadaran batin.

 

Pergulatan salik dengan simbol juga menggambarkan dinamika antara syariat, tarekat, dan hakikat. Syariat menyediakan dasar hukum lahiriah, tarekat menjadi jalan penghayatan, sementara hakikat adalah tujuan akhir. Simbol dalam tarekat menjadi penghubung antara syariat dan hakikat. Namun, jika simbol diperlakukan seolah-olah sebagai hakikat, maka struktur spiritualitas menjadi timpang.

 

Hakikat sebagai tujuan akhir memberi makna mendalam bagi simbol. Tanpa orientasi pada hakikat, simbol menjadi kosong. Sebaliknya, hakikat tidak bisa dicapai tanpa melewati simbol sebagai tahap awal pembelajaran. Hubungan dialektis ini menunjukkan bahwa simbol dan hakikat bukan dua hal yang terpisah mutlak, melainkan satu rangkaian perjalanan ruhani.

 

Bagi para salik, mengurai simbol adalah proses reflektif yang melibatkan akal, hati, dan pengalaman langsung. Ia harus membaca simbol dengan kecerdasan spiritual, bukan sekadar intelektual. Inilah yang dimaksud para sufi dengan ilmu ladunni, yakni pengetahuan yang diperoleh langsung dari pengalaman batin, bukan dari buku semata.

 

Di era modern, pergulatan salik menemukan bentuk baru. Simbol tarekat sering kali ditampilkan dalam ruang publik sebagai identitas kultural, bukan lagi sebagai jalan menuju hakikat. Hal ini menimbulkan tantangan baru, di mana salik harus lebih waspada agar tidak terjebak dalam pencitraan simbolik. Spiritualitas sejati justru mengajarkan kesederhanaan, kerendahan hati, dan keterhubungan yang intim dengan Allah.

 

Perjalanan menuju hakikat melalui simbol membutuhkan keseimbangan antara penghayatan batin dan keteraturan lahiriah. Ritual tidak boleh ditinggalkan, tetapi juga tidak boleh dipandang sebagai tujuan akhir. Hakikat hanya dapat dicapai ketika ritual dijalankan dengan penuh kesadaran dan keikhlasan, bukan karena dorongan ego atau sekadar mengikuti tradisi.

 

Dengan demikian, pergulatan ruhani para salik dalam mengurai simbol adalah bagian dari proses panjang menuju makrifat. Proses ini penuh ujian, keraguan, dan pencerahan, namun pada akhirnya melahirkan pribadi yang lebih ikhlas, rendah hati, dan terhubung dengan Allah. Hakikat ditemukan bukan dengan meninggalkan simbol, melainkan dengan melampauinya.

 

Salik yang berhasil menembus makna simbol dan menemukan hakikat akan menyadari bahwa inti dari semua perjalanan adalah cinta kepada Allah. Cinta inilah yang membuat simbol mendapatkan nyawanya, ritual memperoleh maknanya, dan kehidupan sehari-hari menjadi ibadah. Dari cinta, lahirlah makrifat, dan di sanalah pergulatan ruhani mencapai tujuannya.

 

Daftar Pustaka

 

Al-Ghazali, Abu Hamid. Ihya’ Ulum al-Din. Kairo: Dar al-Ma‘arif, 2005.

 

Chittick, William C. The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination. Albany: State University of New York Press, 1989.

 

Nasr, Seyyed Hossein. Sufi Essays. Albany: State University of New York Press, 1991.

 

Schimmel, Annemarie. Mystical Dimensions of Islam. Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975.

 

Trimingham, J. Spencer. The Sufi Orders in Islam. Oxford: Oxford University Press, 1998.

 

Qushayri, Abdul Karim al-. Al-Risalah al-Qushayriyyah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2007.

 

 

Oleh: Zaenuddin Endy

Koordinator Lajnah Ta’lif wa an-Nasyr Thariqiyah JATMAN Sulawesi Selatan

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *