Rela Daeng Pawero lahir sebagai generasi keempat dari garis keturunan Arung Ponre Anre Guru Semma Daeng Marola, seorang pejuang yang turut serta dalam peristiwa Rumpa’na Bone 1905 melawan Belanda. Warisan kepemimpinan, keberanian, dan nilai-nilai luhur yang ditanamkan leluhur itu terus hidup dalam diri Daeng Pawero hingga akhir hayatnya. Kehadiran beliau menjadi mata rantai yang menyambungkan generasi kini dengan masa lalu yang penuh dengan pergulatan mempertahankan harga diri dan kehormatan orang Bugis.
Kisah tentang keberanian Arung Ponre Anre Guru Semma Daeng Marola selalu menjadi legenda di kalangan keluarga besar Ponre. Namun, yang lebih penting dari itu adalah nilai-nilai moral dan spiritual yang diwariskan turun-temurun. Rela Daeng Pawero, meskipun lahir jauh setelah perang usai, tetap membawa semangat itu dalam bentuk ajaran dan pesan yang dititipkan kepada keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Ia menjadi cermin bahwa perjuangan tidak selalu dengan senjata, melainkan juga dengan menjaga hati, memperbaiki akhlak, dan menebarkan kebaikan.
Salah satu pesan yang terekam kuat dalam ingatan keluarga adalah nasihatnya: “Pada Padecengi Atimmu nasaba PuangngE nita atimmu” (Perbaiki hatimu, karena Allah melihat hatimu). Bagi Daeng Pawero, inti dari kehidupan manusia terletak pada hati. Jika hati bersih, maka seluruh amal dan perilaku akan terpancar kebaikan. Pesan sederhana ini sejatinya adalah warisan sufistik yang hidup dalam tradisi Bugis, di mana ketulusan dan kesucian batin selalu dijunjung tinggi.
Selain itu, beliau juga selalu mengingatkan dengan kalimat: “Appodecekko lao pada-padammu rupatau, agiagi” (Berbuat baiklah kepada sesama manusia, apa saja). Bagi Daeng Pawero, kebaikan bukanlah sesuatu yang perlu ditunda atau dipilah, melainkan harus menjadi kebiasaan sehari-hari. Kebaikan tidak membutuhkan alasan lain selain karena ia adalah wujud nyata dari iman dan kemanusiaan.
Pesan lain yang selalu menggema adalah: “Pessako nacecce pada padammu rupa tau assaleng taniya iko maccecce” (Biarlah orang membencimu, asal bukan engkau yang membenci). Ungkapan ini menunjukkan betapa luhur pemahaman beliau tentang hubungan antarmanusia. Kebencian tidak seharusnya dibalas dengan kebencian, karena itu hanya akan melahirkan lingkaran dendam yang tidak ada akhirnya. Sebaliknya, membiarkan diri tetap tenang dan tidak menyimpan benci adalah bentuk kemenangan sejati.
Kepada anak-anaknya, beliau sering berkata: “Oo ana’ aja naiko nasabari naengka pada-padammu rupa tau mappuja” (Wahai anakku, jangan engkau menjadi penyebab sesamamu manusia berbuat jahat). Pesan ini menjadi pengingat bahwa setiap tindakan kita bisa menuntun orang lain ke arah kebaikan atau justru keburukan. Maka berhati-hatilah, sebab menjadi penyebab orang lain berbuat salah adalah beban yang berat.
Kearifan lain dari Rela Daeng Pawero adalah nasihatnya: “Ooo ana’ namuni engkapaddissengengmum yakkeppasiha kude’, accueri accueri to Panritata nasaba alenatu warisi Nabitta.” (Wahai anakku, kendatipun engkau memiliki pengetahuan apalagi tidak memiliki, ikutilah ulama karena ulama lah pewaris Nabi kita). Ucapan ini menegaskan pentingnya menghormati dan mengikuti ulama, karena mereka adalah cahaya penerang umat. Ia percaya bahwa tanpa bimbingan ulama, ilmu manusia akan mudah tergelincir pada kesombongan dan kesesatan.
Salah satu pesan yang paling dalam adalah ketika ia menuturkan makna seorang pemimpin: “Ooo ana’ issengngi majeppu yaro diasengnge pemimpinnge ebara’na purapi manre maneng rakya’e nappa wedding manre. Matinro manengpi rakya’e nappa weddikko matinro. Narekko mulle, weddingnitu muola.” (Wahai anakku, pahamilah yang dimaksud pemimpin itu ibaratnya rakyat sudah makan baru pemimpin makan, rakyat sudah tidur, baru pemimpin tidur. Jika engkau sanggup, kau bisa jalani jadi pemimpin). Pesan ini adalah filosofi kepemimpinan Bugis yang menekankan pengabdian, bukan kekuasaan.
Dalam keseharian, Rela Daeng Pawero tidak hanya menyampaikan pesan lewat kata-kata, tetapi juga melalui keteladanan hidup. Kesabaran, kesederhanaan, dan kesetiaan beliau terhadap nilai agama menjadi teladan yang terus dikenang. Ia menjalani hidup panjang hingga lebih dari satu abad, sebuah anugerah yang jarang dimiliki manusia, sekaligus menjadi kesempatan untuk menanamkan nilai-nilai kepada empat generasi penerusnya.
Keluarga besar (Sompunglolo) di Ponre selalu mengingat Daeng Pawero sebagai sosok yang bersahaja, ramah, dan penyayang. Kehidupannya yang panjang dilalui dengan kebersamaan dan pengabdian kepada masyarakat. Kepergiannya meninggalkan duka, tetapi juga kebanggaan karena beliau telah menutup perjalanan hidup dengan meninggalkan warisan nilai yang akan terus hidup di hati generasi berikutnya.
Tanggal 29 September 2025 pukul 00.00 WITA, Rela Daeng Pawero wafat di RSUD La Mappanenning Bakunge. Usianya diperkirakan lebih dari seratus tahun—ada yang menyebut 112, ada pula yang menyebut 113. Angka panjang usia itu tidak hanya dihitung dalam hitungan tahun, tetapi juga dalam jejak kebaikan dan nasihat yang telah ditanamkan sepanjang hidupnya.
Beliau dimakamkan di Dusun Dekko, Desa Mappesangka, Kecamatan Ponre, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Pemakaman itu menjadi momen penuh haru, di mana keluarga, kerabat, dan masyarakat berkumpul melepas seorang tokoh yang telah menjadi penjaga warisan leluhur dan penanam benih kearifan. Doa dan dzikir mengiringi peristirahatan terakhirnya, menandakan bahwa beliau pergi dengan meninggalkan cahaya.
Kepergian Daeng Pawero bukanlah akhir dari sebuah kisah, melainkan kelanjutan dari sebuah warisan panjang yang bermula sejak perlawanan Rumpa’na Bone 1905. Ia adalah bukti bahwa garis keturunan pejuang tidak hanya diwarisi dalam darah, tetapi juga dalam pesan moral dan spiritual yang tetap hidup lintas zaman.
Generasi penerus kini memikul amanah untuk menjaga pesan-pesan luhur itu. “Perbaiki hatimu, karena Allah melihat hatimu,” adalah pesan yang harus tetap bergema di tengah arus modernitas yang sering menjerumuskan manusia pada kepalsuan. Begitu pula pesan tentang kepemimpinan, kebaikan, dan cinta kepada ulama—semuanya adalah fondasi yang relevan sepanjang masa.
Rela Daeng Pawero telah berpulang, tetapi nilai-nilai yang ditinggalkannya akan terus hidup. Seperti air yang mengalir dari sumber mata air pegunungan, pesan-pesan itu akan menghidupi ladang kehidupan generasi demi generasi. Dalam ingatan masyarakat Bone, nama beliau akan senantiasa terpatri sebagai pewaris sejati kearifan Bugis, yang hidup bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk kemanusiaan dan pengabdian.
Menariknya, dalam perjalanan hidupnya, Rela Daeng Pawero juga pernah didatangi oleh tokoh besar Sulawesi Selatan, Ketua Veteran Andi Sose, di rumahnya di Jalan A. Sambaloge Baru, Watampone. Andi Sose datang dengan maksud mengajak beliau bergabung dalam barisan Veteran, mengingat jasa dan keturunan beliau yang jelas memiliki garis perjuangan melawan kolonialisme. Kehadiran Andi Sose itu menjadi bukti bahwa sosok Rela Daeng Pawero diakui sebagai bagian dari mata rantai sejarah perjuangan bangsa.
Namun, dengan kerendahan hati yang khas, Daeng Pawero menolak ajakan tersebut. Ia hanya berkata singkat, “Pessana iyya kusaliweng” (biarlah saya di luar). Penolakan itu bukan karena meremehkan perjuangan, melainkan karena kesadaran dirinya untuk tetap menjadi bagian dari rakyat biasa. Baginya, kehormatan tidak selalu harus diakui secara formal, sebab yang terpenting adalah menjaga nilai-nilai perjuangan dalam hati, keluarga, dan amal sehari-hari. Itulah bentuk kerendahan hati seorang pewaris pejuang, yang lebih memilih diam di luar barisan resmi, tetapi tetap teguh dalam menjaga api perjuangan.
Oleh: Zaenuddin Endy
Komunitas Pecinta Indonesia, Ulama, dan Nusan
tara (KOPINU)/Putra Rela Daeng Pawero