AGH. Muhammad Junaid Sulaiman adalah sosok ulama yang menempati posisi penting dalam sejarah keagamaan dan kebudayaan Sulawesi Selatan. Ia tidak hanya dikenal sebagai hafidz Al-Qur’an yang memiliki sanad bacaan terpercaya, tetapi juga seorang penyair yang menorehkan ribuan bait puisi berbahasa Arab. Keduanya berpadu dalam dirinya sebagai simbol pertemuan antara hafalan, penghayatan, dan ekspresi ruhani yang dituangkan dalam karya sastra. Kehidupannya menggambarkan bahwa agama dan seni dapat berjalan seiring untuk memperkaya khazanah peradaban Islam lokal.
Lahir di Bone pada tahun 1921, Junaid Sulaiman tumbuh dalam keluarga religius yang kental dengan tradisi mengaji. Pendidikan awalnya ditempa di lingkungan pesantren dan surau, di mana ia mempelajari dasar-dasar ilmu agama, tajwid, serta bahasa Arab. Sejak kecil, ia telah menunjukkan kecerdasan luar biasa, khususnya dalam menghafal ayat-ayat Al-Qur’an. Tidak heran jika kemudian ia tumbuh menjadi hafidz yang disegani, bahkan dipercaya membimbing santri-santri untuk memperoleh sanad qira’at yang sahih.
Perjalanan intelektualnya berlanjut hingga ke Mekkah. Di tanah suci, ia memperdalam ilmu-ilmu keislaman, memperhalus bacaan Al-Qur’an, dan menjalin hubungan dengan para ulama internasional. Sanad qira’at yang ia miliki menjadi salah satu kekayaan spiritual yang kelak diwariskan kepada murid-muridnya di Bone. Dengan begitu, tradisi penghafalan Qur’an di Sulawesi Selatan memperoleh legitimasi keilmuan yang lebih luas karena berhubungan langsung dengan mata rantai sanad global.
Sekembalinya ke tanah air, Junaid Sulaiman tidak berhenti pada peran ritual. Ia mendirikan Pesantren Al-Junaidiyah Biru di Bone, yang menjadi wadah pengkaderan ulama dan hafidz. Pesantren ini berkembang sebagai pusat ilmu, tempat di mana kitab kuning diajarkan, Al-Qur’an dihafalkan, dan sekaligus ruang literasi Arab. Melalui pesantren, ia membumikan Al-Qur’an tidak hanya sebagai bacaan ritual, tetapi juga sebagai inspirasi bagi lahirnya kesadaran sosial dan kebudayaan.
Keulamaannya semakin terlihat ketika ia terlibat aktif dalam organisasi dan lembaga sosial. Ia pernah menjadi Ketua MUI Sulawesi Selatan dan terlibat dalam parlemen nasional. Dari sana terlihat bahwa peran seorang hafidz tidak berhenti di ruang mihrab, melainkan meluas ke ruang publik untuk memberi arah dan panduan moral bagi masyarakat. Namun, yang membuatnya istimewa adalah kemampuannya menyampaikan gagasan keagamaan melalui medium yang jarang dimiliki ulama: puisi.
Sebagai penyair, Junaid Sulaiman menulis ribuan bait dalam bahasa Arab. Karya monumentalnya, al-Tazkirah, berisi peringatan, nasihat, dan refleksi religius. Puisi-puisinya memadukan kekuatan bahasa dengan kedalaman spiritual. Tidak hanya itu, ia juga menulis catatan harian selama puluhan tahun yang mencapai 19 jilid, memuat puluhan ribu bait syair. Catatan ini bukan sekadar dokumentasi pribadi, melainkan sekaligus arsip sejarah sosial, politik, dan budaya yang hidup pada masanya.
Tradisi menulis yang ditekuninya menunjukkan disiplin yang tinggi. Setiap bait yang ia tulis adalah cermin dari jiwa yang terus bergulat dengan waktu, pengalaman, dan wahyu. Ia menempatkan puisi sebagai sarana zikir, sehingga setiap larik adalah doa yang dipuisikan. Melalui syair, ia seakan menyampaikan bahwa dakwah tidak hanya dilakukan lewat khutbah dan kitab, tetapi juga melalui estetika bahasa.
Puisi-puisinya lahir dari pengalaman religius yang dalam. Ada nada peringatan, ada pula nuansa pengharapan. Kadang-kadang ia menyinggung keadaan sosial, namun selalu disandarkan pada nilai-nilai ketuhanan. Bagi Junaid Sulaiman, menulis adalah bentuk pengabdian, sedangkan bahasa Arab adalah pintu untuk menyatu dengan tradisi Islam yang lebih luas. Dengan begitu, ia mewariskan bukan hanya sanad qira’at, melainkan juga sanad sastra.
Keberadaannya sebagai penyair Arab dari Bugis adalah fenomena yang menarik. Hal ini menegaskan bahwa Islam di Nusantara tidak hanya hadir dalam bentuk ritual dan hukum, tetapi juga seni dan sastra. Ia menunjukkan bagaimana seorang ulama bisa menguasai bahasa wahyu sekaligus memanfaatkannya untuk melahirkan karya kreatif. Dengan demikian, Junaid Sulaiman mengisi celah yang jarang dijamah ulama lain: penggabungan antara penghafalan Qur’an dan penciptaan puisi.
Di sisi lain, karya-karyanya masih menyisakan tantangan. Tidak semua puisinya telah dikaji atau dipublikasikan. Banyak di antaranya masih berbentuk manuskrip, terhimpun dalam catatan harian, dan menunggu untuk didigitalisasi. Ini menjadi peluang besar bagi para peneliti untuk menelaah secara filologis, linguistik, dan sastra. Analisis tentang metrum, rima, dan diksi puisinya dapat membuka wawasan baru mengenai perkembangan sastra Arab di Indonesia.
Jejaknya sebagai hafidz pun penting dalam peta keislaman Nusantara. Dengan sanad qira’at yang ia bawa, pesantren di Sulawesi Selatan semakin menguatkan otoritas keilmuan mereka. Santri-santri dari Bone dan sekitarnya memperoleh legitimasi ketika menghafal Al-Qur’an, karena sanadnya bersambung hingga ke ulama internasional. Inilah bentuk konkret kesinambungan tradisi Islam yang hidup dari generasi ke generasi.
Kombinasi sebagai hafidz dan penyair membuat sosok Junaid Sulaiman unik. Ia tidak hanya menjaga teks wahyu dalam hafalan, tetapi juga mengolah bahasa untuk mengekspresikan pengalaman spiritual. Dengan demikian, ia menghadirkan model ulama yang seimbang: teguh dalam hafalan, kreatif dalam karya, dan luas dalam pandangan. Sosoknya melampaui batas-batas formal ulama tradisional, karena ia menampilkan sisi humanis dan estetis.
Tidak sedikit tokoh yang menilai bahwa puisi-puisinya menjadi bagian dari strategi dakwah. Syair yang penuh dengan peringatan dan nasihat mampu menyentuh hati masyarakat, bahkan mereka yang mungkin tidak akrab dengan khutbah panjang atau teks kitab. Dalam hal ini, puisi berperan sebagai jembatan komunikasi yang efektif antara ulama dan umat.
Warisannya juga terletak pada keteladanan pribadi. Sebagai hafidz, ia menunjukkan disiplin menjaga hafalan. Sebagai penyair, ia menunjukkan konsistensi menulis. Kedua hal itu membutuhkan ketekunan yang luar biasa. Hal ini memberi pesan kepada generasi penerus bahwa ilmu dan seni hanya dapat bertahan jika dipelihara dengan kesabaran dan kerja keras.
Seiring waktu, nama Junaid Sulaiman tidak hanya dikenang di Bone, tetapi juga di kalangan akademisi yang meneliti pesantren, qira’at, dan sastra Islam Nusantara. Kajian-kajian tentang dirinya semakin menegaskan bahwa ulama Bugis memiliki kontribusi besar dalam menghubungkan tradisi Islam lokal dengan khazanah Islam global. Dalam hal ini, ia menjadi representasi ulama yang kosmopolit sekaligus membumi.
Kisahnya menunjukkan bahwa keulamaan bukanlah satu dimensi. Menjadi hafidz tidak berarti menutup diri dari seni, sebaliknya seni dapat menjadi jalan untuk memperindah penghayatan agama. Puisi dan hafalan Qur’an, jika digabungkan, bisa melahirkan bentuk dakwah yang lebih menyentuh. Junaid Sulaiman membuktikan bahwa ilmu dan seni bukanlah dua kutub yang terpisah, melainkan dua sayap yang membawa manusia lebih dekat kepada Tuhan.
Dengan demikian, jejak AGH. Junaid Sulaiman sebagai hafidz dan penyair adalah warisan yang patut dirawat. Ia menempatkan dirinya di antara dua tradisi besar: tradisi hafalan Qur’an yang menjaga kemurnian wahyu, dan tradisi puisi yang menghidupkan ruhani dengan keindahan bahasa. Dari Bone, ia mengirim pesan bahwa Islam di Nusantara kaya bukan hanya dalam aspek hukum dan ibadah, tetapi juga dalam estetika dan budaya. Jejak ini layak terus diteliti, dipublikasikan, dan diwariskan kepada generasi berikutnya.
Zaenuddin Endy
Ketua Harian DPP IKAPM Aljunaidiyah Bone