Jejak Puatta Massabangnge dalam Islamisasi Sinjai

Zaenuddin Endy Koordinator LTN Imdadiyah JATMAN Sulawesi Selatan
banner 468x60

Penyebaran Islam di Sinjai pada awal abad ke-17 tidak dapat dilepaskan dari peran sejumlah tokoh lokal yang dikenal sebagai panrita-anreguru. Di antara mereka, Puatta Massabangnge menempati posisi penting sebagai figur yang membawa Islam ke wilayah Sinjai bagian tengah dan barat. Kehadirannya melengkapi mata rantai Islamisasi yang sebelumnya dipelopori oleh ulama besar dari luar, seperti Dato ri Tiro dan Dato ri Bandang, yang lebih dahulu dikenal sebagai perintis dakwah di Sulawesi Selatan.

Dalam catatan tradisi lokal, nama Puatta Massabangnge muncul bersama tokoh-tokoh lain seperti Puang Belle dan Tuanta Yusufu. Mereka disebut dalam naskah Taba Daeng Panolo sebagai para panrita yang berkeliling dari satu perkampungan ke perkampungan lain untuk mengajarkan dasar-dasar Islam. Aktivitas mereka bukan sekadar penyebaran agama, melainkan juga upaya mengintegrasikan Islam ke dalam sistem sosial dan budaya masyarakat Sinjai yang pada saat itu masih kental dengan warisan kepercayaan pra-Islam.

Puatta Massabangnge diyakini mulai aktif sekitar tahun 1610-an, sebuah periode penting setelah Islam mulai diterima oleh penguasa kerajaan besar di Sulawesi Selatan. Sinjai, yang terletak di jalur strategis pesisir timur, menjadi pintu masuk dakwah Islam ke wilayah pedalaman. Dalam konteks inilah Puatta Massabangnge tampil sebagai tokoh yang menghubungkan pengaruh ulama perantau dengan masyarakat lokal.

Dalam tradisi dakwahnya, Puatta Massabangnge mengedepankan pendekatan syariat Islam. Berbeda dengan beberapa tokoh lain yang lebih menekankan aspek tasawuf, ia menegaskan praktik-praktik dasar keislaman seperti salat, puasa, dan tata cara bersuci. Pendekatan ini memungkinkan masyarakat memperoleh pemahaman konkret tentang kewajiban agama, sehingga mempercepat proses internalisasi Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Metode dakwah tersebut bukan tanpa tantangan. Sebagian besar masyarakat masih memegang teguh tradisi adat yang bercampur dengan kepercayaan lama. Namun, Puatta Massabangnge berhasil menyiasati situasi ini dengan memadukan ajaran Islam dan kearifan lokal. Ia tidak serta merta menolak tradisi, melainkan mengislamkan praktik-praktik adat yang tidak bertentangan dengan ajaran dasar syariat. Strategi ini membuat dakwahnya lebih mudah diterima dan tidak menimbulkan resistensi keras.

Kehadiran Puatta Massabangnge di Sinjai juga memperlihatkan kesinambungan antar generasi dalam dakwah Islam. Jika generasi Dato ri Bandang lebih berfokus pada pengislaman penguasa kerajaan, maka generasi Puatta Massabangnge berorientasi pada penguatan masyarakat bawah. Hal ini penting karena penerimaan Islam di tingkat elit tidak serta merta menjamin penerapan Islam dalam praktik sosial. Dengan hadirnya tokoh seperti Puatta Massabangnge, dakwah Islam benar-benar menembus sendi-sendi kehidupan rakyat.

Dalam perkembangannya, dakwah Puatta Massabangnge turut membentuk identitas Sinjai sebagai Tana Panrita Kitta atau tanah para guru sufi. Meski dirinya lebih dikenal dengan pendekatan syariat, keberadaannya tetap meneguhkan posisi Sinjai sebagai pusat penyebaran Islam di bagian timur Sulawesi Selatan. Tradisi intelektual dan spiritual yang ditinggalkannya menjadi fondasi bagi generasi selanjutnya dalam mengembangkan pendidikan agama di wilayah tersebut.

Salah satu aspek yang membedakan Puatta Massabangnge dengan tokoh lain adalah mobilitasnya. Ia dikenal berkeliling hingga ke wilayah Sinjai Barat, suatu daerah yang pada waktu itu relatif jauh dari pusat kekuasaan dan dakwah Islam. Dengan keberanian menempuh wilayah pedalaman, ia membuka jalan bagi penyebaran Islam yang lebih merata di seluruh penjuru Sinjai. Perjalanan dakwahnya memperlihatkan dedikasi seorang ulama lokal yang tidak berhenti pada wilayah yang mudah dijangkau.

Dalam historiografi Islam di Sulawesi Selatan, nama Puatta Massabangnge memang tidak seterkenal Dato ri Tiro atau Dato ri Bandang. Namun, bagi masyarakat Sinjai, perannya sangat signifikan karena ia hadir langsung dalam kehidupan mereka. Tradisi lisan dan ingatan kolektif masyarakat masih menyimpan kisah tentang ketekunan dan keikhlasan beliau dalam mengajarkan agama. Melalui ingatan tersebut, namanya tetap terjaga sebagai salah satu panrita yang menorehkan jejak penting dalam sejarah Islamisasi Sinjai.

Peranan Puatta Massabangnge juga tidak bisa dipisahkan dari dinamika sosial politik pada masanya. Islam tidak hanya hadir sebagai ajaran keagamaan, tetapi juga sebagai instrumen pembentukan tatanan sosial baru. Dengan masuknya Islam, nilai-nilai hukum adat mulai disinergikan dengan hukum Islam, dan dalam proses inilah Puatta Massabangnge turut memainkan peran strategis. Ia bukan hanya guru agama, melainkan juga mediator budaya yang mampu menjembatani transformasi sosial.

Jejak dakwahnya di Sinjai meninggalkan warisan yang berlapis. Di satu sisi, ia mewariskan ajaran Islam yang kuat berlandaskan syariat; di sisi lain, ia mewariskan teladan moral tentang kesabaran, keteguhan, dan kemampuan beradaptasi dengan konteks lokal. Warisan inilah yang kemudian diteruskan oleh murid-murid dan generasi penerusnya, hingga Islam semakin mengakar di masyarakat Sinjai.

Hingga kini, nama Puatta Massabangnge tetap disebut dalam tradisi masyarakat sebagai bagian dari jaringan panrita yang membentuk identitas religius Sinjai. Keberadaannya disejajarkan dengan tokoh-tokoh lokal lain, menunjukkan bahwa Islamisasi di Sinjai bukan semata hasil peran ulama perantau, tetapi juga karya besar ulama lokal yang memahami karakter masyarakatnya sendiri.

Narasi tentang Puatta Massabangnge juga membuktikan bahwa Islamisasi di Sinjai adalah hasil proses dialog yang panjang antara agama dan budaya. Dengan keterlibatan tokoh-tokoh seperti dirinya, Islam tidak hadir secara koersif, melainkan tumbuh bersama tradisi lokal. Inilah yang menjadikan Islam di Sinjai mampu bertahan dan mengakar kuat hingga sekarang.

Dengan demikian, kisah Puatta Massabangnge bukan hanya tentang seorang ulama lokal, tetapi juga tentang sebuah model dakwah yang menggabungkan syariat dengan kearifan lokal. Ia menegaskan bahwa keberhasilan penyebaran Islam di Sinjai tidak bisa dilepaskan dari sosok-sosok yang bekerja di akar rumput, membimbing masyarakat dengan sabar, dan menyelaraskan Islam dengan kehidupan sehari-hari. Jejaknya tetap hidup sebagai bagian integral dari sejarah panjang Islamisasi Sulawesi Selatan.

 

Zaenuddin Endy
Wakil Ketua Lakpesdam NU Sulawesi Selatan

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *