Jejak KH. Muh. Yusuf Assagaf di Lonrae, Bone

Zaenuddin Endy Komunitas Pecinta Indonesia, Nusantara, dan Ulama (KOPINU)
banner 468x60

KH. Muh. Yusuf Assagaf merupakan salah seorang tokoh ulama yang meninggalkan jejak penting dalam sejarah perkembangan Islam di pesisir Lonrae, Kabupaten Bone. Kehadirannya di wilayah tersebut tidak hanya menghadirkan dimensi keilmuan, tetapi juga mengubah wajah keagamaan masyarakat dari tradisi yang sarat dengan kepercayaan lokal menuju pemahaman tauhid yang lebih murni. Sebagai ulama yang berasal dari jaringan keilmuan Hadrami, ia membawa spirit dakwah yang menekankan pada pemurnian akidah sekaligus transformasi sosial.

Sebelum kedatangan KH. Yusuf Assagaf, masyarakat Lonrae masih lekat dengan tradisi penghormatan kepada roh ghaib. Salah satu praktik yang berkembang ialah keyakinan terhadap pohon Aluppange, yang diyakini dihuni makhluk halus dan sering dijadikan tempat persembahan. Keyakinan ini, meski tampak sederhana, berakar kuat dalam sistem kepercayaan masyarakat pesisir kala itu. Tradisi semacam ini memperlihatkan bagaimana keislaman lokal masih berbaur dengan sisa-sisa animisme dan dinamisme.

Kehadiran KH. Yusuf Assagaf menjadi titik balik dari kondisi tersebut. Ia mulai memperkenalkan ajaran Islam yang meneguhkan konsep tauhid rububiyyah dan uluhiyyah, yakni pengesaan Allah sebagai satu-satunya yang layak disembah dan ditaati. Langkah awal yang ia lakukan ialah mendirikan sebuah langgar, yang bukan hanya difungsikan sebagai tempat shalat berjamaah, tetapi juga pusat pendidikan agama dan ruang sosialisasi nilai-nilai Islam. Langgar inilah yang kemudian menjadi simbol transformasi spiritual masyarakat Lonrae.

Dakwah KH. Yusuf Assagaf tidak hanya bersifat doktrinal, melainkan juga persuasif. Ia berusaha masuk ke dalam struktur budaya masyarakat setempat dengan bahasa yang halus dan pendekatan yang ramah. Dengan metode ini, ia berhasil menumbuhkan kesadaran bahwa tradisi persembahan kepada roh bukanlah ajaran Islam, melainkan praktik yang dapat melemahkan iman. Dengan perlahan, masyarakat mulai meninggalkan keyakinan lama mereka dan menggantinya dengan ibadah yang lurus sesuai syariat.

Salah satu keistimewaan KH. Yusuf Assagaf adalah keberaniannya melakukan reformasi akidah tanpa menimbulkan benturan sosial yang berarti. Ia mampu menjembatani transisi dari budaya lokal menuju praktik Islam dengan menggunakan pendekatan kultural. Hal ini menunjukkan kedewasaan dakwah yang berpijak pada hikmah dan kesabaran. Dalam istilah al-Qur’an, metode dakwahnya mencerminkan prinsip bil hikmah wal mau’izhah al-hasanah.

Dampak kehadiran KH. Yusuf Assagaf terasa dalam kehidupan sosial masyarakat. Nilai-nilai Islam semakin kuat dalam mengikat relasi antarwarga. Praktik ibadah berjamaah, pengajian, dan tradisi keagamaan mulai hidup di Lonrae. Perubahan ini tidak hanya menggeser keyakinan mistis, tetapi juga membangun solidaritas sosial berbasis ajaran Islam. Lonrae pun berkembang sebagai salah satu pusat dakwah pesisir Bone pada masa itu.

Warisan KH. Yusuf Assagaf tidak berhenti di masanya. Putranya, KH. Abdullah Syamsuri, kemudian melanjutkan perjuangan dakwah tersebut. Melalui peran generasi penerus ini, dakwah KH. Yusuf Assagaf memiliki kesinambungan yang panjang, bahkan turut berkontribusi dalam pembentukan wajah Islam tradisional di Bone yang berpijak pada Ahlussunnah wal Jama’ah. Hal ini memperlihatkan bahwa peran seorang ulama tidak berhenti pada dirinya, melainkan diwariskan melalui keturunan, murid, dan masyarakat yang dibinanya.

Dari perspektif akademik, peran KH. Yusuf Assagaf dapat dipahami sebagai bentuk religious transformation. Ia hadir sebagai agen perubahan yang memurnikan tradisi keagamaan dengan pendekatan lokal. Intervensi keagamaannya bukan sekadar ritual, tetapi juga membentuk identitas sosial baru. Masyarakat Lonrae kemudian menginternalisasi ajaran tauhid sebagai basis moral dan spiritual kehidupan sehari-hari. Transformasi ini selaras dengan teori perubahan sosial, di mana tokoh karismatik memainkan peran sentral dalam menggeser pola budaya masyarakat.

Jejak KH. Yusuf Assagaf juga memperlihatkan pentingnya integrasi antara dakwah dan kearifan lokal. Ia tidak menolak budaya, tetapi menyeleksi dan mengarahkan budaya agar sejalan dengan ajaran Islam. Inilah yang menjadikan dakwahnya diterima luas dan mampu bertahan hingga kini. Kehadiran langgar yang ia dirikan menjadi simbol konkret dari keberhasilan dakwah berbasis masyarakat.

Di mata masyarakat Lonrae, KH. Yusuf Assagaf dikenang sebagai ulama yang penuh kesederhanaan dan keteguhan. Namanya melekat dalam ingatan kolektif sebagai sosok yang mengajarkan pentingnya meninggalkan keyakinan lama yang menyesatkan dan berpegang teguh pada Allah semata. Warisan spiritual ini terus hidup, bukan hanya dalam bangunan fisik langgar, tetapi juga dalam nilai dan praktik keagamaan generasi berikutnya.

Dengan demikian, KH. Muh. Yusuf Assagaf adalah salah satu mata rantai penting dalam sejarah dakwah Islam di Bone. Kehadirannya di Lonrae menunjukkan bagaimana Islam mampu beradaptasi dengan konteks budaya lokal sekaligus memperkuat fondasi tauhid. Jejak dakwahnya memberikan pelajaran bahwa perubahan sosial keagamaan tidak terjadi secara instan, melainkan melalui proses panjang, dialogis, dan penuh kearifan.

 

 

Zaenuddin Endy
Komunitas Pecinta Indonesia, Nusantara, dan Ulama (KOPINU)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *