KH. Hafid Karim: Ulama Lokal dan Jejak Spiritual di Pinrang

Zaenuddin Endy Komunitas Pecinta Indonesia, Nusantara, dan Ulama (KOPINU)
banner 468x60

KH. Hafid Karim merupakan salah satu tokoh agama yang namanya tercatat dalam jaringan ulama di Kabupaten Pinrang. Kehadirannya menjadi bagian dari sejarah panjang Islamisasi dan pembentukan identitas keagamaan masyarakat setempat. Ia lahir dari keluarga ulama, yakni putra dari Haji Abd. Karim, yang dikenal sebagai salah seorang guru ngaji berpengaruh pada awal abad ke-20. Dari lingkungan keluarga inilah KH. Hafid Karim tumbuh dengan tradisi religius yang kuat, yang kemudian membentuk kepribadian serta perannya di tengah masyarakat.

 

Sejak kecil, ia telah menyerap dasar-dasar keislaman dari ayahnya. Haji Abd. Karim sendiri adalah sosok yang mengajarkan Al-Qur’an kepada generasi awal ulama Pinrang, termasuk KH. Zaenal Abidin. Kedekatan ini menjadikan KH. Hafid Karim tidak hanya mewarisi tradisi intelektual, tetapi juga jaringan sosial keulamaan yang luas. Lingkungan keluarga yang menekankan pentingnya pendidikan agama menjadikan dirinya sebagai pribadi yang tumbuh dengan disiplin spiritual yang kokoh.

 

Meski tidak banyak catatan tertulis mengenai riwayat pendidikan formalnya, KH. Hafid Karim diyakini memperdalam ilmu agama melalui jalur tradisional, baik di lingkup keluarga maupun melalui jaringan ulama lokal. Pada masa itu, pola transmisi keilmuan Islam di Sulawesi Selatan masih sangat bergantung pada hubungan personal antara murid dan guru, sehingga otoritas keilmuan lebih ditentukan oleh pengakuan masyarakat daripada ijazah formal. Pola ini juga yang membentuk KH. Hafid Karim sebagai figur otoritatif di lingkungannya.

 

Sebagai seorang ulama, KH. Hafid Karim tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga menjadi teladan dalam kehidupan sehari-hari. Ia dikenal sederhana, teguh dalam ibadah, serta mampu menghubungkan nilai-nilai Islam dengan kearifan lokal Bugis. Kehadirannya membawa keseimbangan antara ajaran agama dan tradisi masyarakat, sehingga Islam tidak dipandang sebagai sesuatu yang asing, melainkan bagian dari kehidupan yang harus dijalankan dengan ikhlas dan konsisten.

 

Dalam pergaulan sosial, KH. Hafid Karim turut menjaga prinsip siri’ na pacce—konsep Bugis tentang harga diri dan solidaritas—dan mengaitkannya dengan ajaran Islam. Nilai ini tercermin dalam kepeduliannya terhadap masyarakat sekitar, khususnya dalam upaya menegakkan keadilan sosial dan mendorong persatuan umat. Baginya, Islam bukan hanya agama ritual, tetapi juga pedoman dalam membangun hubungan sosial yang harmonis.

 

Peran KH. Hafid Karim semakin nyata ketika ia menjadi rujukan masyarakat dalam menyelesaikan persoalan keagamaan. Banyak warga yang datang kepadanya untuk meminta bimbingan, baik terkait persoalan ibadah maupun permasalahan sosial. Kehadirannya meneguhkan posisi ulama sebagai mediator dalam masyarakat, yang mampu menjaga keseimbangan antara norma agama dan dinamika kehidupan sehari-hari.

 

Selain berperan sebagai guru agama, KH. Hafid Karim juga tercatat sebagai figur yang mendorong lahirnya generasi penerus ulama. Ia membimbing murid-muridnya dengan penuh kesabaran, menekankan pentingnya adab sebelum ilmu, serta menjadikan keteladanan sebagai metode pengajaran utama. Dalam hal ini, ia melanjutkan tradisi ulama Sulawesi Selatan yang lebih menekankan pendidikan karakter ketimbang hanya transfer pengetahuan.

 

Keberadaan KH. Hafid Karim juga memperlihatkan kesinambungan sejarah ulama lokal di Pinrang. Meskipun tidak setenar ulama besar di pusat-pusat Islam Nusantara, kontribusinya di tingkat lokal sangat signifikan. Ia merupakan bagian dari mata rantai Islamisasi yang berlangsung dari generasi ke generasi, memastikan bahwa nilai-nilai Islam tetap terjaga di tengah perubahan sosial dan modernisasi.

 

Kehidupan KH. Hafid Karim ditandai dengan sikap tawadhu’. Ia tidak mengejar kedudukan atau popularitas, melainkan lebih memilih mengabdikan diri secara total untuk dakwah. Sikap ini membuatnya dihormati bukan hanya karena ilmunya, tetapi juga karena kesahajaan hidup yang ia tunjukkan. Masyarakat melihatnya sebagai figur yang tidak hanya berbicara tentang agama, tetapi juga benar-benar menghidupkan nilai-nilai Islam dalam keseharian.

 

Dalam lingkup keluarga, KH. Hafid Karim turut mewariskan nilai-nilai religius kepada anak cucunya. Keturunannya masih banyak yang meneruskan kiprah dalam bidang pendidikan agama, dakwah, maupun pelayanan sosial. Hal ini menunjukkan bahwa peran ulama bukan hanya berhenti pada diri pribadi, tetapi juga berlanjut dalam lingkaran keluarga yang menjaga tradisi religius secara turun-temurun.

 

Jejak spiritual KH. Hafid Karim tetap hidup dalam ingatan kolektif masyarakat Pinrang. Meski tidak banyak literatur akademik yang membahas kiprahnya, narasi lisan dan cerita-cerita masyarakat membuktikan bahwa ia memiliki peran penting dalam membentuk karakter religius masyarakat setempat. Kisahnya menjadi bukti bahwa Islam di daerah bukan hanya dibawa oleh ulama besar dari luar, melainkan juga dipelihara dan dikembangkan oleh tokoh lokal yang berdedikasi.

 

Kontribusinya dapat dipahami dalam kerangka Islam Nusantara, di mana agama berinteraksi dengan budaya lokal tanpa kehilangan esensi ajarannya. KH. Hafid Karim berhasil menunjukkan bahwa nilai Islam dapat berjalan seiring dengan tradisi Bugis, menciptakan harmoni yang memperkuat identitas keislaman masyarakat Pinrang. Dalam konteks ini, ia adalah representasi ulama lokal yang berperan sebagai jembatan antara agama dan budaya.

 

Pada akhirnya, warisan KH. Hafid Karim adalah keteladanan hidup, bukan hanya kata-kata. Kesederhanaan, keteguhan iman, dan kepedulian sosialnya menjadi nilai yang patut diteladani. Kehadirannya menegaskan bahwa ulama lokal memiliki peran vital dalam menjaga keberlanjutan Islam di daerah-daerah, meskipun tidak selalu tercatat dalam sejarah besar bangsa.

 

Dengan demikian, KH. Hafid Karim bukan sekadar nama dalam silsilah keulamaan Pinrang, melainkan figur yang turut menorehkan kontribusi penting dalam perjalanan spiritual masyarakatnya. Kisahnya mengingatkan bahwa kekuatan dakwah sering kali lahir dari kesederhanaan, dan bahwa ulama lokal memiliki posisi strategis dalam mengikat nilai agama dengan realitas sosial. Warisannya menjadi bagian dari khazanah Islam lokal yang perlu terus digali, ditulis, dan diwariskan bagi generasi mendatang.

 

Zaenuddin Endy

Komunitas Pecinta Indonesia, Nusantara, dan Ulama (KOPINU)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *