Syekh Ibrahim Rahmat, yang dalam tradisi lokal dikenal sebagai Puang Tuan atau Tuan Sengngo, merupakan salah satu tokoh sentral dalam penyebaran Islam di wilayah Bonto Pale, Sinjai Timur. Ia diperkirakan hadir pada awal abad ke-17, sekitar tahun 1611 M, seiring dengan arus dakwah Islam yang meluas dari pesisir hingga pedalaman Sulawesi Selatan. Kehadirannya tidak hanya menandai fase awal Islamisasi di Sinjai, tetapi juga menunjukkan adanya kesinambungan jaringan ulama perantau dengan tokoh lokal.
Dalam konteks dakwah, Syekh Ibrahim Rahmat menempuh metode yang sederhana namun efektif. Ia sering memberikan ceramah singkat setelah salat magrib, yang kemudian berkembang menjadi forum pengajian harian. Materi ajarannya meliputi pengenalan dasar-dasar akidah, praktik ibadah, hingga pembelajaran membaca huruf Al-Qur’an. Metode ini menjadikan dakwahnya lebih mudah diterima oleh masyarakat yang saat itu masih berpegang pada tradisi kepercayaan pra-Islam.
Lebih jauh, beliau juga memainkan peran penting dalam aspek sosial. Syekh Ibrahim Rahmat membantu membangun fasilitas yang menunjang kehidupan masyarakat, seperti sarana air dan tempat ibadah. Pendekatan ini memperlihatkan bahwa dakwah tidak hanya sebatas penyampaian ajaran agama, melainkan juga mencakup upaya pemberdayaan sosial. Hal inilah yang memperkuat penerimaan Islam secara lebih damai dan berkelanjutan.
Strategi yang ditempuhnya menunjukkan kecerdasan kultural. Ia tidak serta merta mengubah sistem kepercayaan lokal secara drastis, melainkan terlebih dahulu menjalin komunikasi dengan penguasa adat setempat. Setelah memperoleh restu, barulah ia memperluas ajaran kepada masyarakat umum. Langkah bertahap ini menciptakan legitimasi sosial yang membuat ajaran Islam dapat diterima tanpa menimbulkan konflik terbuka.
Namun, perjalanan dakwah Syekh Ibrahim Rahmat tidak sepenuhnya mulus. Ia menghadapi tantangan serius dalam hal akidah dan pendidikan. Sebagian masyarakat masih kuat mempertahankan keyakinan lama, sementara akses terhadap literasi agama sangat terbatas. Meski demikian, melalui kesabaran, konsistensi, dan pendekatan yang penuh kearifan, ia mampu membimbing masyarakat hingga akhirnya memeluk Islam dengan sukarela.
Salah satu peninggalan penting yang mengabadikan kehadirannya adalah makam beliau di Bonto Pale, dekat kawasan Mangarabombang. Makam tersebut hingga kini menjadi pusat ziarah masyarakat dan saksi bisu perjalanan dakwah Islam di Sinjai. Tidak hanya bernilai religius, makam ini juga merepresentasikan identitas lokal yang berakar pada spiritualitas Islam.
Dalam tradisi lisan masyarakat Bonto Pale, Syekh Ibrahim Rahmat juga dikisahkan memiliki karamah, salah satunya adalah kemampuan menyeberangi Teluk Bone dengan berpijak pada sebuah batu berdiameter sekitar 50 sentimeter. Batu tersebut masih bisa ditemukan hingga kini, terletak tidak jauh dari Masjid Istiqlal Bonto Pale. Legenda ini memperkuat kedudukan beliau sebagai figur yang tidak hanya dihormati secara intelektual, tetapi juga secara spiritual.
Berdekatan dengan lokasi batu itu terdapat sumur tua yang dipercaya tidak pernah kering meskipun musim kemarau panjang melanda. Keberadaan sumur ini dilihat oleh masyarakat sebagai simbol berkah dan keabadian spiritual yang ditinggalkan Syekh Ibrahim Rahmat. Fenomena tersebut mempertegas keterhubungan antara warisan material dan non-material dalam sejarah dakwah Islam di Sinjai.
Sejarawan dan akademisi menyebut Sinjai sebagai Tana Panrita Kitta atau tanah para guru sufi. Dalam kerangka ini, Syekh Ibrahim Rahmat dipandang sebagai salah satu panrita-anreguru yang meneguhkan tradisi keilmuan dan spiritual di daerah tersebut. Ia berdiri sejajar dengan tokoh-tokoh lain seperti Puang Belle, Tuanta Yusufu, dan Puatta Massabangnge, yang bersama-sama mengisi jaringan dakwah abad ke-17.
Interaksi antara ulama perantau seperti Dato ri Tiro dan tokoh lokal seperti Syekh Ibrahim Rahmat memperlihatkan adanya dialektika budaya dalam proses Islamisasi. Islam hadir bukan sebagai kekuatan yang memutus tradisi, melainkan beradaptasi dan bertransformasi melalui figur-figur ulama yang memahami konteks sosial masyarakat setempat.
Kehidupan Syekh Ibrahim Rahmat sendiri tercatat sederhana. Ia dikenal ramah, terbuka, dan rendah hati, sehingga mudah dijangkau oleh siapa saja yang ingin belajar agama. Sikap egaliter inilah yang membuatnya disegani oleh berbagai lapisan masyarakat, sekaligus memperkuat basis Islam sebagai agama yang inklusif.
Warisan dakwahnya tidak berhenti pada masa hidupnya. Generasi penerus kemudian melestarikan ajaran dan teladannya melalui jalur pendidikan agama dan tradisi lisan. Bahkan hingga kini, silsilah keilmuan yang dikaitkan dengan Syekh Ibrahim Rahmat masih terus dipelihara oleh sejumlah komunitas keagamaan di Sinjai Timur.
Bukti nyata dari peran pentingnya dapat dilihat pada situs-situs bersejarah yang masih ada. Makam, batu pijakan legendaris, dan sumur tua tidak hanya menjadi simbol keagamaan, tetapi juga objek budaya yang menyatukan identitas kolektif masyarakat Sinjai. Melalui warisan ini, Syekh Ibrahim Rahmat tetap hidup dalam ingatan sosial dan spiritual warga.
Dengan demikian, jejak Syekh Ibrahim Rahmat di Sinjai menggambarkan perpaduan harmonis antara dakwah, budaya, dan spiritualitas. Ia adalah contoh nyata ulama yang mampu menyelaraskan misi keagamaan dengan kebutuhan sosial, serta memadukan kearifan lokal dengan ajaran Islam. Jejaknya menegaskan bahwa Islamisasi di Sinjai adalah sebuah proses yang damai, bertahap, dan berakar kuat dalam kehidupan masyarakat.
Zaenuddin Endy
Komunitas Pecinta Indonesia, Nusantara, dan Ulama