AGH. Abduh Shafa: Ulama Kharismatik dari Bone yang Melahirkan Generasi Ulama dan Intelektual

banner 468x60

AGH. Abduh Shafa, di kampung Cakkeware, Cenrana lebih dikenal dengan sebutan Puang Haji Imam, merupakan salah satu ulama kharismatik asal Bone yang jejak perjuangan dan dedikasinya patut dikenang. Beliau lahir di Desa Ta’, Bone, sekitar tahun 1922, dari lingkungan keluarga religius yang menanamkan nilai-nilai Islam sejak dini. Sejak kecil, ia sudah akrab dengan tradisi mengaji di surau dan masjid, sehingga bacaan Al-Qur’an serta dasar-dasar ilmu agama menjadi fondasi kuat dalam kehidupannya. Dalam suasana masyarakat pedesaan yang sederhana, AGH. Abduh Shafa tumbuh sebagai anak yang tekun, disiplin, dan menunjukkan minat besar pada ilmu-ilmu agama.

 

Perjalanan intelektualnya dimulai dengan mengaji di Cabalu kepada sejumlah guru lokal, di antaranya La Husen, Puang Imam Ta’, dan Guru Ilyas. Dari mereka ia memperoleh ilmu dasar agama serta latihan spiritual yang menguatkan kepribadiannya. Namun, semangatnya tidak berhenti pada pendidikan lokal semata. Ia kemudian melanjutkan perjalanan panjang menuju DDI Mangkoso di Barru, sebuah pesantren besar di Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh AGH Abdurrahman Ambo Dalle. Perjalanan yang ditempuh dengan berjalan kaki berhari-hari ini menunjukkan kegigihan dan kesungguhannya dalam menuntut ilmu.

 

Di bawah bimbingan AGH Abdurrahman Ambo Dalle, AGH. Abduh Shafa mendapatkan pendalaman ilmu agama yang lebih sistematis. Pesantren Mangkoso kala itu menjadi pusat penggemblengan kader ulama yang berkomitmen pada dakwah Islam dan pendidikan. Di sana, ia tidak hanya mendalami fikih, tafsir, dan hadis, tetapi juga nilai-nilai perjuangan, keikhlasan, dan kesederhanaan yang menjadi ciri khas tradisi pesantren. Semua ini membentuknya menjadi pribadi yang berilmu sekaligus berintegritas.

 

Setelah menyelesaikan pengajiannya, AGH. Abduh Shafa kembali ke Bone dan mengabdikan diri sebagai pengajar serta Imam Labotto di Cenrana. Peran ini menjadikannya sebagai figur sentral dalam kehidupan keagamaan masyarakat setempat. Ia mengajarkan kitab-kitab kuning, membina para santri, dan membimbing jamaah dalam ibadah serta kehidupan sehari-hari. Dari Labotto, gelombang dakwah dan pendidikan yang dipeloporinya kemudian menyebar ke berbagai daerah.

 

Salah satu warisan besar AGH. Abduh Shafa adalah kontribusinya terhadap pengembangan DDI Labotto. Melalui lembaga ini, ia mendidik generasi santri yang kelak menjadi ulama, akademisi, dan pemimpin masyarakat. Beberapa muridnya bahkan menorehkan kiprah gemilang dan menjadi ulama karistimatik seperti AGH Ilyas Salewe, AGH Abunawas Bintang, dan putranya sendiri, yakni AGH. Haritsah AS .Dari sini terlihat jelas bagaimana peran seorang ulama lokal mampu melahirkan generasi ulama dan intelektual yang berpengaruh luas.

 

KH. Abduh Shafa juga dikenal sebagai sosok yang teguh dalam prinsip. Ketika banyak tokoh di Sulawesi Selatan tergoda untuk bergabung dengan gerakan DI/TII di bawah Kahar Muzakkar, beliau memilih untuk tetap istiqamah pada jalur dakwah dan pendidikan. Sikap ini menunjukkan integritasnya yang tidak mudah goyah meski harus menghadapi ancaman. Baginya, menjaga kemurnian niat dalam mengabdi kepada agama lebih penting daripada kepentingan politik atau kekuasaan sesaat.

 

Selain itu, AGH. Abduh Shafa juga menolak untuk terlibat dengan kekuatan politik praktis. Saat Golkar mendominasi panggung politik di Sulawesi Selatan, beliau menolak ajakan untuk bergabung. Sikap kritis ini membuatnya sempat menghadapi tekanan sosial dan politik, sehingga akhirnya beliau hijrah ke Makassar. Namun, hijrahnya bukan berarti menyerah, melainkan bentuk konsistensi dalam menjaga independensi ulama dari pengaruh kekuasaan yang dapat mengaburkan tujuan dakwah.

 

Di Makassar, AGH. Abduh Shafa tetap melanjutkan kiprahnya sebagai guru dan pembimbing masyarakat. Keberadaannya menjadi rujukan bagi umat yang mencari nasihat dan bimbingan keagamaan. Kehidupannya yang sederhana dan penuh pengabdian semakin meneguhkan reputasinya sebagai ulama kharismatik. Meski tidak selalu tampil di panggung politik atau publik, pengaruhnya tetap terasa kuat melalui para santri dan generasi penerusnya.

 

Wafat pada tahun 1975, AGH. Abduh Shafa dimakamkan di Pekuburan Arab Bontoala, Makassar. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam bagi masyarakat Bone dan Sulawesi Selatan pada umumnya. Namun, warisan keilmuannya tidak pernah padam. Para murid dan putra-putranya melanjutkan perjuangannya dalam bidang pendidikan, dakwah, dan organisasi keagamaan. Hal ini membuktikan bahwa karya seorang ulama sejati tidak hanya berhenti pada dirinya, tetapi hidup terus dalam generasi penerusnya.

 

Salah satu putranya, AGH. Haritsah AS, dikenal sebagai ulama karismatik Sulawesi Selatan dan Pendiri Pesantren An-Nahdlah di Makassar. Putranya yang lain AGH.Dr. Baharuddin HS adalah akademisi dan kini Rais Syuriah PWNU Sulawesi Selatan. Sementara putranya, AGH Prof. Dr. KH. Najamuddin Abduh Shafa menjadi akademisi, Guru Besar, pernah jadi Rais Syuriah PWNU Sulawesi Selatan dan Ketua Umum MUI Sulsel periode 2021–2026. Begitupun Dr. Saifuddin HS yang pernah menjadi Rektor IAIN Sorong. Keempat figur putranya ini menunjukkan bagaimana nilai-nilai pendidikan dan keteladanan AGH. Abduh Shafa berhasil diturunkan dan dikembangkan dalam konteks zaman yang berbeda.

 

Dari kisah hidupnya, AGH. Abduh Shafa dapat disebut sebagai ulama yang berhasil menjaga keseimbangan antara pengabdian kepada masyarakat, keteguhan dalam prinsip, dan dedikasi pada pendidikan Islam. Ia bukan hanya seorang imam atau pengajar, tetapi juga pembentuk karakter umat yang konsisten menolak segala bentuk penyimpangan. Keteladanannya menjadi contoh bahwa ulama tidak boleh larut dalam arus politik, tetapi harus berdiri sebagai penuntun moral dan spiritual umat.

 

Jejak perjuangannya juga menunjukkan pentingnya peran pesantren dalam membentuk jaringan ulama. Pesantren DDI Mangkoso dan DDI Labotto, yang menjadi bagian dari perjalanan AGH. Abduh Shafa, merupakan lembaga yang melahirkan banyak tokoh besar. Melalui lembaga inilah nilai-nilai Islam yang moderat, mandiri, dan berakar pada tradisi lokal terus diwariskan kepada generasi selanjutnya.

 

Kisah AGH. Abduh Shafa adalah kisah tentang ketekunan, keberanian, dan keikhlasan. Ia lahir dari desa sederhana, menempuh perjalanan ilmu yang panjang, menghadapi godaan politik dan ancaman keamanan, namun tetap teguh pada jalannya. Semua itu menjadikannya sebagai teladan ulama yang tidak hanya berilmu, tetapi juga berkarakter kuat. Sosoknya adalah bukti nyata bagaimana ulama lokal dapat memainkan peran penting dalam membangun peradaban Islam di Nusantara.

 

Warisan AGH. Abduh Shafa bukan hanya berupa murid-murid dan lembaga yang ia tinggalkan, tetapi juga nilai-nilai yang tetap hidup dalam masyarakat. Kesederhanaan, istiqamah, serta keberanian untuk menolak arus politik yang menyimpang merupakan pelajaran berharga yang relevan hingga kini. Di tengah tantangan zaman modern, figur seperti beliau menjadi pengingat bahwa ulama sejati adalah mereka yang berjuang tanpa pamrih, menjaga keikhlasan, dan mengabdikan hidup sepenuhnya untuk agama dan umat.

 

 

 

Oleh:Zaenuddin Endy

Komunitas Pecinta Indonesia, Nusantara, dan Ulama (KOPINU)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *