KH. Sanusi Baco: Ulama Perekat Umat di Sulawesi Selatan

banner 468x60

KH. Sanusi Baco adalah salah seorang ulama karismatik yang meninggalkan jejak mendalam dalam sejarah keislaman di Sulawesi Selatan. Lahir di Talawe, Maros, pada 4 April 1937, beliau tumbuh dalam keluarga sederhana, namun sejak kecil telah terbiasa dengan tradisi mengaji dan belajar agama. Tekadnya untuk menuntut ilmu menjadikan dirinya menempuh pendidikan di pesantren DDI Mangkoso, lalu melanjutkan studi ke Universitas Al-Azhar, Kairo, yang kelak membentuk keluasan wawasan dan kedalaman ilmu yang melekat sepanjang hayatnya.

 

Sepulang dari Mesir, KH. Sanusi Baco mengabdikan dirinya di dunia pendidikan, menjadi dosen di berbagai perguruan tinggi, dan terlibat aktif dalam pendirian lembaga pendidikan Islam, termasuk Universitas Islam Makassar (UIM). Dedikasinya di bidang pendidikan memperlihatkan betapa beliau memandang penting upaya mencetak generasi baru yang tidak hanya berilmu, tetapi juga berakhlak mulia. Tidak berlebihan bila banyak pihak menyebutnya sebagai guru bangsa dari Sulawesi Selatan.

 

Kiprah KH. Sanusi Baco kemudian meluas ke ranah organisasi keagamaan. Beliau dipercaya menjadi Rais Syuriah PWNU Sulawesi Selatan sejak tahun 1995. Posisi ini diemban dengan penuh keistiqamahan hingga akhir hayatnya pada tahun 2021. Sebagai Rais Syuriah, beliau menjadi simbol penjaga tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah, penuntun umat di tengah arus modernitas, dan penyejuk di saat munculnya gesekan dalam kehidupan beragama.

 

Dalam kepemimpinannya di NU, KH. Sanusi Baco menekankan pentingnya ukhuwah Islamiyah dan tasamuh. Ia dikenal bijak dalam menyikapi perbedaan, sehingga mampu meredam ketegangan yang sering muncul akibat dinamika sosial-keagamaan. Dengan kepribadian yang teduh, ia mempersatukan warga NU dengan kelompok-kelompok Islam lainnya tanpa kehilangan identitas Aswaja yang menjadi ciri khas NU.

 

Di samping itu, KH. Sanusi Baco juga dipercaya menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan. Dengan peran tersebut, beliau berada di garda depan dalam menjaga harmoni umat Islam sekaligus hubungan antaragama. Fatwa dan nasihatnya selalu menekankan kesejukan, keadilan, serta kepedulian terhadap kemanusiaan. Tidak jarang, suaranya menjadi penengah di tengah isu-isu sensitif yang berpotensi menimbulkan gesekan sosial.

 

Kedudukannya di NU dan MUI menempatkan KH. Sanusi Baco pada posisi unik dan strategis. Beliau bukan saja menjadi panutan warga NU, tetapi juga dipercaya oleh seluruh umat Islam di Sulawesi Selatan. Kapasitasnya untuk diterima lintas golongan menjadikan beliau sebagai figur perekat umat. Bahkan, banyak tokoh menilainya sebagai “Maha Guru” yang suaranya selalu dirindukan ketika muncul kerumitan sosial, politik, dan keagamaan.

 

Salah satu ciri khas KH. Sanusi Baco adalah kelembutannya dalam berdakwah. Beliau jarang menggunakan kata-kata keras, melainkan selalu mengajak dengan teladan dan kearifan. Hal ini membuatnya dicintai oleh semua kalangan, dari pejabat pemerintahan hingga rakyat biasa. Kepribadiannya yang sederhana menjadi kekuatan moral yang sukar tergantikan.

 

Kepemimpinannya juga menunjukkan bagaimana seorang ulama bisa berperan sebagai jembatan antar organisasi Islam. NU, Muhammadiyah, DDI, dan ormas-ormas Islam lain di Sulawesi Selatan merasakan manfaat dari keberadaan beliau. Bukan saja karena wibawanya, tetapi juga karena kemampuannya mendudukkan persoalan dengan kepala dingin dan hati yang lapang.

 

Sebagai Ketua MUI, KH. Sanusi Baco sering tampil sebagai penyemai damai dalam situasi krisis. Di saat terjadi gesekan politik atau konflik sosial, beliau hadir dengan pandangan yang menenteramkan. Pandangannya mengenai Pancasila, kebangsaan, dan kemajemukan menunjukkan betapa ia adalah ulama yang tidak hanya berpikir untuk umat Islam, tetapi juga untuk bangsa Indonesia secara keseluruhan.

 

Sumbangsih beliau tidak hanya pada tataran wacana, tetapi juga pada praktik kehidupan beragama. Beliau aktif membina jamaah, memberikan pengajian, dan membangun pesantren. Masjid Raya Makassar menjadi salah satu tempat di mana beliau secara rutin memberi tausiah, yang selalu dihadiri ribuan jamaah. Dari tempat itu pula beliau menanamkan nilai-nilai akhlak, ketaatan, dan persaudaraan.

 

Wibawa KH. Sanusi Baco tercermin dari penghormatan yang diberikan oleh banyak pihak. Pemerintah pusat melalui BPIP menganugerahkan penghargaan sebagai Ikon Prestasi Pancasila pada tahun 2020, kategori Tokoh Penggerak Lintas Iman. Penghargaan ini mempertegas perannya sebagai ulama yang konsisten menjaga harmoni dan persatuan.

 

Wafatnya KH. Sanusi Baco pada 15 Mei 2021 meninggalkan duka mendalam. Ribuan pelayat datang memberikan penghormatan terakhir. Para tokoh agama, pejabat pemerintah, akademisi, dan masyarakat biasa larut dalam kesedihan. Kepergian beliau dirasakan sebagai kehilangan sosok perekat dan penuntun umat.

 

Meski telah tiada, warisan KH. Sanusi Baco tetap hidup. Ajaran, teladan, dan keteguhan sikapnya dalam memimpin NU dan MUI menjadi inspirasi yang terus diwariskan kepada generasi berikutnya. Santri, murid, dan jamaah yang pernah mendengarkan nasihatnya, terus menghidupkan nilai-nilai kearifan yang telah ia tanamkan.

 

KH. Sanusi Baco adalah contoh nyata bahwa seorang ulama tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga mampu memimpin, mempersatukan, dan menjadi mercusuar di tengah gelombang zaman. Kepribadiannya yang teduh, peranannya yang luas, serta warisan moral yang ia tinggalkan, menegaskan bahwa ia benar-benar ulama perekat umat di Sulawesi Selatan dan Indonesia.

 

 

Oleh: Zaenuddin Endy

Komunitas Pecinta Indonesia, Nusantara, dan Ulama (KOPINU)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *