Syekh Muhammad bin Abdullah Affandi merupakan salah seorang ulama perantau yang meninggalkan jejak penting dalam sejarah Islam di wilayah Pinrang, Sulawesi Selatan. Ia berasal dari keluarga ulama keturunan Arab yang berakar di Yaman, meski dalam catatan sejarah disebut pula lahir di Izmir, sebuah kawasan di Turki Utsmani. Kedatangannya ke Nusantara tidak terlepas dari arus besar migrasi ulama dan pedagang pada abad ke-18 yang membawa serta semangat dakwah Islam, ilmu pengetahuan, dan tradisi keagamaan ke berbagai wilayah pesisir.
Setibanya di kawasan pesisir Pinrang, Syekh Affandi memilih Jampue, Lanrisang, sebagai pusat aktivitasnya. Hubungan baik dengan Datu Lanrisang membuatnya diterima secara terhormat dan bahkan diberi peran strategis dalam urusan keagamaan masyarakat. Posisi ini memberinya legitimasi untuk memperkenalkan ajaran Islam secara lebih teratur sekaligus menanamkan fondasi intelektual keislaman yang bertahan hingga generasi berikutnya.
Salah satu peninggalan penting yang dihubungkan dengan Syekh Affandi adalah keberadaan Masjid At-Taqwa Lama Jampue. Masjid tersebut diperkirakan dibangun atau diperbaharui pada pertengahan abad ke-18 atas saran beliau kepada penguasa setempat. Masjid bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga pusat pembelajaran agama, musyawarah masyarakat, dan simbol integrasi antara kekuasaan lokal dengan tradisi keislaman. Keberadaan masjid ini menandai awal tumbuhnya komunitas muslim yang lebih mapan di pesisir Pinrang.
Kiprah Syekh Affandi tidak berhenti pada dirinya sendiri. Ia meninggalkan keturunan yang kemudian melanjutkan tradisi keilmuan dan kepemimpinan keagamaan. Salah seorang putranya, Muhammad Ali Affandi yang dikenal dengan gelar Puang Janggo, diangkat menjadi Qadhi di Jampue pada awal abad ke-19. Dengan jabatan tersebut, Puang Janggo menjalankan fungsi peradilan agama, mengawal pelaksanaan syariat Islam, serta memperkuat posisi ulama sebagai rujukan sosial dan spiritual masyarakat.
Jejak keilmuan Syekh Affandi juga dapat ditelusuri melalui jaringan ulama di kawasan Mandar, Sengkang, Mangkoso, hingga ke pusat-pusat keilmuan di Mekkah. Hal ini menunjukkan bahwa kedatangannya bukan sekadar perantauan biasa, melainkan bagian dari mata rantai kosmopolitanisme Islam Nusantara. Ia membawa tradisi ilmu yang bersumber dari dunia Arab-Turki, kemudian dipadukan dengan kearifan lokal Bugis-Mandar yang sudah lebih dulu mengenal Islam sejak abad-17.
Warisan dakwah Syekh Affandi di Pinrang juga tercermin dalam tradisi “mangngaji tudang”. Tradisi ini berupa pengajian yang dilakukan secara duduk bersama, diikuti banyak orang dari berbagai lapisan masyarakat. Metode sederhana ini ternyata efektif untuk memperluas pemahaman agama, sebab pengajian tidak hanya berlangsung di masjid, tetapi juga di rumah-rumah penduduk dan balai pertemuan. Tradisi ini terus diwariskan, menjadi bagian dari budaya Bugis dalam menyerap ajaran Islam.
Selain mengajarkan ilmu agama, Syekh Affandi dikenal sebagai sosok yang menekankan moralitas dan akhlak mulia. Ia tidak hanya berdakwah melalui ceramah, tetapi juga melalui teladan hidup sehari-hari. Pergaulannya dengan masyarakat pesisir yang beragam menunjukkan kemampuannya menjembatani perbedaan latar belakang sosial dan adat. Hal ini membuat ajarannya lebih mudah diterima, bahkan hingga kini nama besarnya tetap dikenang sebagai ulama yang menanamkan akhlak sebagai inti dakwah.
Kehadiran Syekh Affandi di Pinrang memperlihatkan pola yang umum terjadi di Nusantara, yakni kedatangan ulama perantau dari dunia Islam lalu berasimilasi dengan penguasa lokal. Pola ini memungkinkan Islam berkembang lebih cepat karena didukung kekuasaan politik sekaligus diperkuat otoritas keilmuan ulama. Dengan demikian, Islam tidak hanya hadir sebagai agama, tetapi juga sebagai sistem sosial yang mengatur kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks sejarah Sulawesi Selatan, Syekh Affandi dapat disejajarkan dengan para ulama yang membawa perubahan di kawasan lain, seperti Syekh Yusuf al-Makassari di Gowa atau jaringan ulama di Bone dan Wajo. Bedanya, ia lebih berperan di wilayah pesisir Pinrang yang relatif kecil tetapi strategis karena menjadi jalur perdagangan dan pertemuan budaya. Peran kecil namun signifikan ini membuktikan bahwa penyebaran Islam di Nusantara tidak hanya berlangsung di pusat-pusat besar, melainkan juga di daerah pinggiran yang kelak memiliki pengaruh luas.
Manuskrip-manuskrip dan catatan sejarah yang masih tersisa dari Pinrang menunjukkan kesinambungan tradisi intelektual yang ditinggalkan Syekh Affandi dan para penerusnya. Beberapa di antaranya berkaitan dengan tafsir, fikih, hingga catatan tentang arah kiblat masjid. Naskah-naskah ini membuktikan bahwa Islam di Sulawesi Selatan tidak berkembang secara lisan semata, melainkan juga melalui dokumentasi tertulis yang bernilai akademis.
Perjalanan Syekh Affandi juga menjadi cermin tentang bagaimana ulama perantau memainkan peran ganda: sebagai pengajar, penasehat penguasa, sekaligus mediator sosial. Keberadaannya memperlihatkan keterkaitan erat antara jalur dakwah, politik lokal, dan budaya masyarakat Bugis yang terbuka terhadap gagasan baru. Ia berhasil menunjukkan bahwa Islam dapat tumbuh subur tanpa harus memutus tradisi, melainkan dengan cara mengintegrasikannya ke dalam struktur sosial yang ada.
Jejak spiritual dan intelektual Syekh Affandi hingga kini masih bisa dirasakan melalui keturunan dan murid-muridnya yang tersebar di Pinrang dan sekitarnya. Beberapa keluarga besar masih memegang erat silsilah keturunannya dan menjadikannya kebanggaan, sementara tradisi pengajian yang diwariskannya terus hidup dalam bentuk kegiatan keagamaan rutin. Hal ini membuktikan bahwa dakwah yang dilandasi ketulusan dan pendekatan budaya akan meninggalkan pengaruh panjang.
Di tengah arus modernisasi, mengenang Syekh Muhammad bin Abdullah Affandi bukan sekadar romantisme sejarah, tetapi juga bagian dari upaya memahami akar intelektual Islam di Sulawesi Selatan. Warisan dakwahnya menunjukkan bahwa penyebaran Islam selalu berjalin dengan politik, budaya, dan kehidupan sosial. Dari Jampue, pesan Islam menyebar ke berbagai wilayah sekitar, meneguhkan posisi ulama sebagai penjaga moralitas sekaligus pembimbing umat.
Dengan demikian, Syekh Muhammad bin Abdullah Affandi bukan hanya ulama lokal, tetapi juga representasi dari dinamika besar Islam Nusantara. Ia menjadi penghubung antara tradisi keilmuan global dengan praktik keagamaan lokal, sekaligus meninggalkan jejak yang hingga kini tetap relevan. Namanya layak ditempatkan dalam barisan ulama perintis yang mengukir sejarah dakwah Islam di Sulawesi Selatan, khususnya di Pinrang yang menjadi tanah pengabdiannya.
Oleh:Zaenuddin Endy
Koordinator LTN Thariqiyah Imdadiyah JATMAN Sulawesi Selatan