KH. Hamzah Manguluang adalah salah seorang ulama besar Sulawesi Selatan yang kiprah dan pengaruhnya melampaui batas daerah kelahirannya di Sengkang, Wajo. Lahir pada tahun 1925 di Callaccu, beliau merupakan murid langsung KH. Muhammad As’ad, tokoh pendiri Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) As’adiyah. Kedekatannya dengan sang guru membentuk corak intelektual dan keulamaannya yang khas, ditandai dengan penguasaan ilmu-ilmu agama secara mendalam, hafalan yang luar biasa, serta kemampuan menulis dan mengajar dengan sistematis.
Jejak KH. Hamzah Manguluang dapat dilacak hingga Kindang, Bulukumba, terutama melalui keterlibatannya dalam lahirnya Pondok Pesantren Nuurul Falah. Pesantren ini berdiri sebagai salah satu pusat pendidikan Islam di Bulukumba yang mendapat inspirasi langsung dari visi keilmuan dan dakwah beliau. Walaupun tidak tercatat sebagai lembaga cabang resmi As’adiyah, namun Nuurul Falah dibangun atas prakarsa alumni Sengkang yang terus dimotivasi oleh sosok KH. Hamzah. Beliau bahkan sempat memimpin lembaga tersebut, sehingga pengaruhnya meninggalkan bekas yang mendalam di kawasan Kindang.
Kontribusi besar KH. Hamzah terlihat dari bagaimana ia memadukan tradisi keilmuan As’adiyah dengan kebutuhan masyarakat lokal. Di Kindang, masyarakat yang mayoritas berbahasa Konjo tetap akrab dengan karya-karya beliau yang ditulis dalam bahasa Bugis. Hal ini menunjukkan kemampuan beliau dalam menjembatani perbedaan budaya dan bahasa, tanpa mengurangi substansi ilmu yang diajarkan. Dengan cara itu, santri dan masyarakat Bulukumba terhubung dengan warisan intelektual Bugis, sekaligus memperoleh penguatan spiritual melalui pendidikan pesantren.
Salah satu karya monumental KH. Hamzah adalah terjemahan Al-Qur’an lengkap 30 juz ke dalam bahasa Bugis dengan aksara Lontara. Terjemahan ini tidak hanya penting sebagai karya intelektual, tetapi juga sebagai bukti nyata usaha Islamisasi berbasis budaya lokal. Pola penulisan dua kolom—teks Arab di sebelah kiri, terjemahan Bugis di sebelah kanan, dan penjelasan singkat di bawah—mencerminkan kecermatan akademis beliau dalam menyusun karya yang sistematis, terukur, dan mudah diakses oleh pembaca.
Karya terjemahan tersebut menjadi rujukan penting di berbagai daerah Bugis-Makassar, termasuk Bulukumba. Santri-santri Nuurul Falah dan masyarakat Kindang belajar Al-Qur’an melalui teks yang mereka pahami, sehingga dakwah Islam bisa lebih diterima. Inilah bukti bahwa KH. Hamzah tidak hanya berperan sebagai pendidik, tetapi juga penerjemah nilai-nilai Islam ke dalam bahasa budaya masyarakat.
Selain karya tafsir, KH. Hamzah juga menulis sejumlah kitab kecil yang praktis, seperti Cara-cara Sembahyang, Doa Penting, Wasiyah Berharga, dan Sembahyang Jama’ah. Karya-karya ini memperkaya khazanah keagamaan masyarakat Kindang dan sekitarnya, sekaligus memudahkan umat Islam memahami ajaran agama dalam konteks keseharian. Dengan metode penulisan sederhana dan bahasa lokal yang komunikatif, KH. Hamzah berhasil menjangkau lapisan masyarakat yang lebih luas.
Di Bulukumba, khususnya Kindang, sosok KH. Hamzah juga dikenang sebagai ulama yang rendah hati dan dekat dengan masyarakat. Ia membuka pengajian umum, mengajar di berbagai masjid, dan mendampingi santri dengan penuh kesabaran. Sikapnya yang lemah lembut menjadikan beliau dihormati tidak hanya sebagai guru, tetapi juga sebagai teladan moral. Dari sinilah lahir generasi santri yang kemudian melanjutkan dakwah Islam dengan semangat moderasi dan cinta budaya.
Posisi KH. Hamzah sebagai guru sekaligus organisator pendidikan membuatnya dihormati di kalangan ulama Sulawesi Selatan. Ia pernah menjabat berbagai posisi penting, mulai dari guru agama, penyuluh di kepolisian, hingga wakil ketua pengadilan agama. Semua jabatan itu ia jalani dengan integritas, dan bekas pengabdiannya masih dirasakan hingga kini. Tidak heran jika Kindang dan Bulukumba menempatkan beliau sebagai salah satu figur kunci dalam sejarah pendidikan Islam lokal.
Di balik kiprah publiknya, KH. Hamzah juga seorang penulis biografi reflektif. Karya Ana wa Syaekhi (Riwayatku dan Mahaguruku) yang ia tulis sekitar 1990 merekam pengalaman pribadi sekaligus biografi KH. Muhammad As’ad. Karya ini menjadi bukti keilmuan sekaligus ketawadhuannya, sebab ia selalu mengaitkan pencapaiannya dengan jasa sang guru. Sikap ini menegaskan bahwa dalam tradisi keilmuan pesantren, sanad dan hubungan guru-murid adalah fondasi utama.
Seiring waktu, pengaruh KH. Hamzah terus mengakar di Kindang. Alumni pesantren yang ia bina menjadi tokoh masyarakat, guru agama, dan bahkan ulama di daerahnya masing-masing. Dengan begitu, beliau tidak hanya meninggalkan lembaga fisik berupa pesantren, tetapi juga jaringan intelektual dan spiritual yang berkelanjutan. Jejak ini menjadikan Kindang bagian penting dari peta dakwah dan pendidikan Islam di Bulukumba.
Secara empiris, pengaruh KH. Hamzah dapat dilihat dari pola pendidikan Nuurul Falah yang menggabungkan kajian kitab kuning, pengajaran Al-Qur’an, serta penggunaan bahasa lokal sebagai sarana komunikasi. Pola ini menegaskan pentingnya kontekstualisasi dalam dakwah Islam, sehingga ajaran agama hadir sebagai solusi, bukan sebagai beban. Prinsip semacam inilah yang diwariskan KH. Hamzah dan masih relevan hingga kini.
Secara teoretis, gagasan KH. Hamzah bisa dibaca sebagai bentuk integrasi antara teks agama, tradisi pesantren, dan budaya lokal. Terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Bugis, pengajaran kitab, serta karya tulis sederhana adalah representasi dari model pendidikan Islam yang moderat dan berakar pada kearifan lokal. Hal ini sejalan dengan nilai Aswaja (Ahlussunnah wal Jama’ah) yang beliau anut, yang menekankan keseimbangan antara teks, akal, dan budaya masyarakat.
Jejak KH. Hamzah Manguluang di Kindang, Bulukumba, pada akhirnya merupakan kisah tentang bagaimana seorang ulama besar mengakar dalam masyarakat melalui ilmu, karya, dan keteladanan. Ia tidak hanya membangun pesantren, tetapi juga membangun kesadaran spiritual dan kebudayaan. Dalam konteks ini, KH. Hamzah dapat disebut sebagai figur yang menyatukan Wajo dan Bulukumba dalam satu mata rantai keilmuan Islam.
Kini, meskipun beliau telah wafat, warisan KH. Hamzah masih hidup dalam pesantren, karya tulis, dan ingatan masyarakat. Jejaknya di Kindang menjadi saksi bahwa seorang ulama sejati tidak hanya hadir di tempat ia dilahirkan, tetapi juga di setiap ruang di mana ilmunya ditanamkan dan amalnya diteruskan. Dengan demikian, Kindang Bulukumba dapat disebut sebagai salah satu titik penting dalam peta sejarah keulamaan KH. Hamzah Manguluang.
Oleh:Zaenuddin Endy
Koordinator Lajnah Ta’lif Wa an Nasyr Thariqiyah Imdadiyah JATMAN Sulawesi Selatan