Pati Pasang Toampanangi adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah Kedatuan Luwu yang menandai babak baru perjalanan Islam di wilayah tersebut. Ia dikenal sebagai Sultan Abdullah Matinroe, penguasa Luwu ke-16, yang memerintah setelah La Patiware’ Daeng Parabung atau Sultan Muhammad Waliy Muzahir ad-Din, raja pertama Luwu yang masuk Islam. Keberadaan Pati Pasang Toampanangi bukan hanya sebagai penerus tahta, melainkan juga pelanjut misi Islamisasi yang sebelumnya digagas oleh para datu dan ulama perintis.
Masa pemerintahannya tercatat sebagai periode yang lebih mapan dalam pembangunan identitas Islam di Luwu. Jika pendahulunya berperan dalam penerimaan Islam di istana dan bangsawan, maka Pati Pasang Toampanangi menegaskan bentuk-bentuk kelembagaan Islam yang lebih kokoh. Salah satu warisan terbesarnya adalah pembangunan Masjid Jami’ Tua Palopo, yang berdiri hingga kini sebagai salah satu masjid tertua di Nusantara.
Pendirian Masjid Jami’ Tua Palopo pada tahun 1604 menjadi bukti nyata komitmen Pati Pasang Toampanangi terhadap penyebaran Islam. Masjid itu didirikan dengan arsitektur khas, berdinding batu kapur tebal, dan berfungsi ganda sebagai pusat ibadah sekaligus pusat pemerintahan. Letaknya yang berhadapan dengan Istana Kedatuan Luwu menandakan bahwa Islam ditempatkan sebagai inti kekuasaan dan legitimasi kerajaan.
Arsitektur masjid yang kuat dan kokoh mencerminkan visi Pati Pasang Toampanangi untuk menanamkan Islam secara permanen. Bukan hanya tempat shalat berjamaah, masjid itu juga menjadi tempat musyawarah, pengambilan keputusan, serta pembelajaran agama. Dengan demikian, masjid berfungsi sebagai simbol integrasi antara agama dan politik di Luwu.
Selain mendirikan masjid, Pati Pasang Toampanangi juga memperluas pengaruh Islam ke wilayah pedalaman dan pesisir Luwu. Jejak ini terekam dalam tradisi lisan masyarakat yang menyebutkan bahwa ia mengirimkan juru dakwah ke berbagai daerah, baik ke arah pesisir Teluk Bone maupun ke daerah pedalaman Luwu Utara. Langkah ini memperkuat posisi Islam sebagai agama dominan di wilayah tersebut.
Pengaruh Pati Pasang Toampanangi juga terlihat dalam diplomasi kerajaan. Luwu yang sudah lebih dahulu menerima Islam kemudian menjadi rujukan bagi kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi Selatan. Kedatuan Luwu, dengan dukungan legitimasi Islam, meneguhkan dirinya sebagai salah satu pusat kekuasaan yang disegani di kawasan ini.
Dalam tradisi lokal, nama Pati Pasang Toampanangi dikaitkan dengan gelar kehormatan “Matinroe,” yang berarti “yang beristirahat dengan tenang.” Gelar ini lazim diberikan kepada raja Luwu yang dianggap berjasa besar. Pemberian gelar tersebut memperlihatkan bagaimana masyarakat Luwu menghormati sosoknya sebagai penguasa yang bijaksana sekaligus pelanjut misi spiritual Islam.
Beberapa catatan sejarah menyebutkan bahwa Pati Pasang Toampanangi juga memperkuat hubungan dengan para ulama yang datang dari luar Sulawesi. Hubungan ini mencerminkan keterbukaan Luwu terhadap arus keilmuan Islam yang lebih luas, baik dari Sumatera, Jawa, maupun Maluku. Dengan demikian, Islamisasi Luwu tidak berjalan secara terisolasi, melainkan terhubung dalam jaringan ulama Nusantara.
Jejak fisik Pati Pasang Toampanangi masih bisa dilacak di Palopo hingga kini. Masjid Jami’ Tua Palopo tetap berdiri kokoh meskipun sudah mengalami beberapa pemugaran. Di sekitarnya terdapat kompleks Istana Datu Luwu yang menjadi saksi bisu penyatuan agama dan pemerintahan pada masanya. Situs ini kini menjadi destinasi sejarah dan wisata religi.
Selain itu, tradisi lisan masyarakat Luwu menyimpan banyak kisah tentang kebijaksanaan Pati Pasang Toampanangi. Ia digambarkan sebagai sosok yang tidak hanya berperan sebagai raja, tetapi juga sebagai pemimpin spiritual. Cerita-cerita rakyat menempatkannya dalam posisi yang dekat dengan ulama dan rakyat kecil.
Dalam konteks sejarah Islam Sulawesi Selatan, Pati Pasang Toampanangi meneguhkan peran Luwu sebagai pintu masuk Islam di kawasan ini. Jika Dato’ Patimang menjadi pionir dakwah, maka Pati Pasang Toampanangi adalah arsitek kelembagaan Islam yang nyata. Keduanya membentuk fondasi awal yang membuat Islam berkembang pesat di Sulawesi Selatan.
Nama besar Pati Pasang Toampanangi kini dikenang dalam berbagai tulisan sejarah dan penelitian arkeologi. Para sejarawan menempatkannya sebagai tokoh transisi penting antara proses penerimaan Islam dan pembentukan institusi Islam di Luwu. Peranannya melampaui sekadar pewaris tahta; ia adalah penguat sendi-sendi Islamisasi.
Pati Pasang Toampanangi juga menjadi figur penting bagi masyarakat Luwu dalam hal identitas budaya. Islam yang diwariskannya tidak menghapus kearifan lokal, melainkan menyatu dengannya. Upacara adat, struktur pemerintahan, hingga tata sosial Luwu mampu beradaptasi dengan nilai-nilai Islam. Inilah salah satu alasan mengapa Islam mudah diterima di Luwu.
Jejak historis Pati Pasang Toampanangi akhirnya membentuk warisan yang panjang. Masjid Jami’ Tua Palopo tidak hanya berfungsi sebagai monumen sejarah, tetapi juga sebagai ruang spiritual yang hidup hingga kini. Dari generasi ke generasi, masyarakat Luwu tetap menjadikannya pusat ibadah, pusat budaya, sekaligus simbol kejayaan Islam di masa lalu.
Oleh:Zaenuddin Endy
Komunitas Pecinta Indonesia, Nusantara, dan Ulama (KOPINU)







