Guru La Harrang merupakan salah satu figur karismatik dalam sejarah Islam lokal di Kabupaten Pinrang. Ia lahir sekitar tahun 1886 di daerah Sekkang Ruba, sebuah wilayah yang kala itu masih jauh dari sentuhan pendidikan formal Islam. Nama aslinya tidak banyak disebutkan dalam catatan tertulis, tetapi masyarakat mengenalnya dengan sebutan “Guru La Harrang”, sebuah gelar yang mencerminkan perannya sebagai pengajar agama dan pembimbing spiritual. Gelar tersebut melekat bukan karena ia pernah menempuh pendidikan di pesantren atau pusat keilmuan besar, melainkan karena pengaruhnya yang begitu kuat dalam membentuk kehidupan religius masyarakat.
Kisah tentang bagaimana ia memperoleh ilmu agama sering dikaitkan dengan pengalaman spiritual yang dianggap luar biasa. Dalam narasi lokal, disebutkan bahwa ia mendapatkan pengetahuan melalui proses ilham, bahkan dalam beberapa cerita dihubungkan dengan peran “jin Islam” yang mengajarkannya membaca Al-Qur’an dan melaksanakan syariat. Proses ini dipahami masyarakat sebagai bentuk anugerah Ilahi yang tidak bisa dicapai melalui jalur biasa. Dengan bekal spiritual tersebut, Guru La Harrang kemudian muncul sebagai sosok panutan, mengajarkan nilai-nilai Islam kepada lingkungannya dengan penuh kesederhanaan.
Ketika ia menetap di Tanreassona setelah menikahi seorang gadis bernama I Makka, wilayah tersebut masih diliputi praktik-praktik sosial yang jauh dari nilai Islam. Perjudian, minuman keras, dan minimnya kesadaran beribadah menjadi pemandangan sehari-hari. Kehadiran Guru La Harrang mengubah arah kehidupan masyarakat. Ia mulai mengajarkan pentingnya salat berjamaah, melarang kebiasaan buruk, serta menanamkan kesadaran bahwa kebersihan batin dan kepatuhan kepada Allah adalah fondasi utama kehidupan. Transformasi ini berlangsung secara bertahap, tetapi dalam waktu yang relatif singkat masyarakat mulai meninggalkan kebiasaan lama mereka.
Perubahan tersebut kemudian menandai Tanreassona sebagai kawasan yang berbeda dibandingkan daerah sekitarnya. Warga menjadi lebih disiplin beribadah, adat kebiasaan diatur sesuai tuntunan agama, dan pola hidup sederhana dipelihara. Tidak mengherankan jika kemudian Tanreassona dijuluki “Kampung Guru”, sebuah sebutan yang merujuk pada kepeloporan Guru La Harrang dalam membentuk karakter religius masyarakatnya. Gelar itu menjadi bukti bahwa peran seorang tokoh spiritual dapat mengubah wajah komunitas secara mendalam dan bertahan lintas generasi.
Guru La Harrang tidak hanya meninggalkan pengaruh melalui ajaran verbal, tetapi juga melalui keteladanan hidup. Ia digambarkan sebagai pribadi yang bersahaja, berpakaian sederhana, dan tidak terikat pada simbol-simbol kemewahan. Kehidupannya dipusatkan pada ibadah, dakwah, serta pelayanan sosial terhadap masyarakat sekitar. Hal ini sejalan dengan prinsip Bugis-Makassar tentang siri’ na pacce—harga diri dan solidaritas—yang dalam konteks Islam ditransformasikan menjadi penghormatan terhadap nilai ilahi dan kepedulian terhadap sesama.
Menariknya, ajaran Guru La Harrang tidak terlembaga dalam bentuk pesantren besar pada masa hidupnya. Ia lebih mengandalkan metode pengajaran langsung, baik melalui interaksi sehari-hari maupun pengajian sederhana di rumah dan masjid. Namun demikian, pengaruhnya justru meluas karena masyarakat menginternalisasi ajarannya dalam praktik sosial, bukan sekadar dalam teks-teks formal. Cara ini membuktikan bahwa dakwah kultural yang mengakar pada kehidupan sehari-hari seringkali lebih efektif daripada pengajaran formal yang kaku.
Warisan nilai yang ditinggalkan Guru La Harrang terangkum dalam beberapa prinsip yang hingga kini masih dijalankan di Tanreassona. Nilai apeccingeng (kebersihan lahir dan batin), alempureng (kejujuran), assiddiang (persatuan), serta sipakalebbi (saling menghargai) menjadi pilar utama kehidupan sosial keagamaan masyarakat. Nilai-nilai ini bukan sekadar doktrin moral, melainkan praktik hidup yang terus dipelihara melalui aktivitas kolektif seperti gotong royong, pengelolaan zakat, dan peringatan hari-hari besar Islam.
Salah satu bentuk nyata warisan ini adalah peringatan Maulid akbar yang rutin diadakan. Dalam tradisi tersebut, warga berkumpul, berzikir, dan berbagi makanan, menciptakan suasana religius sekaligus memperkuat solidaritas sosial. Aktivitas seperti ini menegaskan bahwa Islam di Tanreassona tidak hanya dipahami sebagai agama ibadah ritual, tetapi juga sebagai sistem sosial yang mengikat seluruh warga dalam semangat kebersamaan. Di sinilah terlihat bagaimana ajaran Guru La Harrang menyatu dengan kultur lokal Bugis dan melahirkan harmoni antara agama dan adat.
Selain itu, kebiasaan “Jum’at bersih” yang diwariskan sejak masa Guru La Harrang juga masih terjaga. Setiap pekan masyarakat bergotong royong membersihkan masjid dan lingkungan sekitar, sebuah praktik sederhana yang mencerminkan nilai kebersihan dalam Islam. Tradisi ini tidak hanya menjaga fisik tempat ibadah, tetapi juga memperkuat rasa memiliki dan tanggung jawab kolektif. Hal-hal seperti inilah yang membuat ajaran Guru La Harrang tetap relevan dan membumi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Menjelang akhir hayatnya, Guru La Harrang berusaha membangun Masjid At-Taqwa di Tanreassona sebagai pusat ibadah sekaligus simbol kesalehan masyarakat. Namun, ia wafat sekitar tahun 1969 sebelum masjid tersebut rampung. Meski demikian, upayanya dilanjutkan oleh para murid dan keturunannya, sehingga masjid itu kini berdiri kokoh sebagai saksi sejarah peran Guru La Harrang. Masjid tersebut tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga menjadi pusat pendidikan dan kegiatan sosial yang menjaga kesinambungan nilai yang ia wariskan.
Setelah wafatnya, tongkat estafet kepemimpinan spiritual dilanjutkan oleh murid-muridnya, salah satunya adalah La Hami. Melalui mereka, ajaran Guru La Harrang terus diteruskan hingga generasi berikutnya. Dengan demikian, pengaruhnya tidak berhenti pada satu periode, melainkan terus hidup dalam praktik masyarakat. Identitas “Kampung Guru” tetap melekat pada Tanreassona, membedakannya sebagai daerah dengan tradisi keislaman yang kuat.
Pada era modern, nilai-nilai yang diwariskan oleh Guru La Harrang semakin diperkuat dengan berdirinya Pondok Pesantren Ittihadiyah Tanreassona pada tahun 2018. Pesantren ini bukan sekadar institusi pendidikan, melainkan juga wadah pelestarian spiritualitas dan budaya lokal. Dengan menanamkan nilai assiddiang, alempureng, dan sipakalebbi, pesantren tersebut melanjutkan misi Guru La Harrang dalam membentuk masyarakat yang religius, beradab, dan bersatu. Ini menandakan bahwa warisan seorang tokoh tidak hanya bertahan, tetapi juga bertransformasi seiring zaman.
Kehadiran Guru La Harrang membuktikan bahwa peran tokoh lokal dalam penyebaran Islam di Nusantara sangat penting. Ia tidak dikenal luas di kancah nasional, tetapi di tingkat lokal, pengaruhnya begitu besar dan nyata. Ia menjadi bukti bahwa Islamisasi di daerah-daerah tidak hanya digerakkan oleh ulama besar yang belajar di Timur Tengah, tetapi juga oleh tokoh karismatik yang mendapat kepercayaan masyarakat karena keteladanan dan kesalehannya.
Dengan demikian, jejak Guru La Harrang di Pinrang tidak sekadar bagian dari sejarah lokal, melainkan juga potret dari dinamika Islam Nusantara yang selalu berakar pada realitas sosial setempat. Warisannya menjadi pengingat bahwa kekuatan spiritual, bila dijalankan dengan ketulusan, mampu mentransformasi masyarakat secara berkelanjutan. Ia adalah simbol dari hubungan erat antara agama, budaya, dan kehidupan sehari-hari yang membentuk identitas masyarakat Tanreassona hingga kini.
Penulis : Zaenuddin Endy
Komunitas Pecinta Indonesia, Nusantara, dan Ulama (KOPINU)