KH. Abdussalam al-Bugisi al-Pammani: Ulama Penyalin Mushaf Abad ke-19 dari Wajo

Zaenuddin Endy Komunitas Pecinta Indonesia, Nusantara, dan Ulama (KOPINU)
banner 468x60

KH. Abdussalam al-Bugisi al-Pammani adalah salah satu ulama Bugis abad ke-19 yang menempati posisi penting dalam sejarah intelektual Islam lokal Sulawesi Selatan. Namanya tercatat dalam khazanah manuskrip keagamaan karena karya penyalinan mushaf yang dikerjakannya pada tahun 1846 M. Jejak beliau sekaligus memperlihatkan peran ulama Bugis dalam menjaga kesinambungan tradisi keilmuan Islam melalui medium manuskrip, di tengah perubahan sosial dan politik pada masanya.

 

Keberadaannya dikaitkan dengan Pammana, sebuah kawasan di Wajo yang dikenal sebagai salah satu pusat pendidikan Islam tradisional. Dalam gelar nama yang disandangnya, “al-Bugisi” menunjukkan identitas etnik, sedangkan “al-Pammani” menegaskan asal-usul lokalnya. Dari sini, kita dapat melihat bahwa KH. Abdussalam adalah bagian dari tradisi ulama yang tidak hanya mengakar di tanah Bugis, tetapi juga berkontribusi pada perkembangan intelektual Islam Nusantara.

 

Salah satu capaian terpenting KH. Abdussalam adalah penyalinan mushaf Al-Qur’an pada tahun 1846. Aktivitas ini bukan hanya sebuah kerja kesalehan individual, tetapi juga bagian dari tradisi intelektual yang panjang. Penyalinan mushaf merupakan praktik penting bagi ulama Bugis, karena selain memastikan keberlanjutan teks suci, juga menjadi sarana pembelajaran bagi generasi berikutnya. Manuskrip yang ditinggalkan Abdussalam hingga kini masih dianggap sebagai warisan berharga, bukan saja dari sisi keagamaan, tetapi juga dari sisi sejarah filologi.

 

Jaringan keluarga dan pendidikan yang melingkupi KH. Abdussalam memperkuat posisinya sebagai seorang ulama. Ia tercatat sebagai bagian dari kelompok ulama terdidik yang berasal dari Pompanua (Bone) dan Pammana (Wajo). Dari jalur ibu, ia terkait dengan La Orowane Arung Timurung, sedangkan dari jalur ayah ia terhubung ke La Sikati To Palettei Rangreng Bentengpola Wajo. Silsilah ini memperlihatkan keterkaitan erat antara bangsawan dan ulama dalam konteks Bugis, di mana otoritas keilmuan seringkali berpadu dengan legitimasi sosial.

 

Dalam tradisi Islam lokal, ulama seperti KH. Abdussalam memainkan peran ganda. Di satu sisi, mereka berfungsi sebagai pengajar dan penafsir agama. Di sisi lain, melalui aktivitas penyalinan manuskrip, mereka turut membentuk basis pengetahuan Islam yang dapat diwariskan lintas generasi. Aktivitas penyalinan mushaf Al-Qur’an yang dilakukan Abdussalam pada abad ke-19 menandakan kesinambungan tradisi literasi Islam yang sudah berlangsung sejak masa awal Islamisasi di Sulawesi Selatan.

 

Penyalinan mushaf juga memiliki makna sosial yang mendalam. Ia tidak sekadar memastikan keberadaan teks suci dalam bentuk fisik, tetapi juga menjadi simbol kesalehan komunitas. Setiap mushaf yang ditulis tangan pada masa itu biasanya diiringi dengan doa, niat, dan kadang disponsori oleh bangsawan atau keluarga terkemuka. Hal ini menunjukkan adanya sinergi antara ulama dan masyarakat dalam merawat agama. Abdussalam, dengan dedikasinya, menjadi bagian penting dari tradisi tersebut.

 

Kehadirannya juga memperlihatkan bahwa Islam di Bugis bukan hanya berkembang melalui dakwah lisan, tetapi juga melalui teks. Teks manuskrip menjadi medium penting dalam penyebaran pengetahuan Islam, baik dalam bidang fikih, tasawuf, maupun Al-Qur’an. Mushaf karya Abdussalam menjadi bukti bahwa Bugis abad ke-19 telah memiliki tradisi tulis yang matang dan berkelanjutan.

 

Dari segi intelektual, kehadiran ulama penyalin mushaf seperti KH. Abdussalam menegaskan bahwa Islam di Sulawesi Selatan memiliki corak yang khas: memadukan kesalehan individual, otoritas sosial, dan kecanggihan literasi. Keberadaannya bersama kelompok ulama lain di Pompanua dan Pammana memperlihatkan adanya komunitas intelektual yang hidup, yang melahirkan karya-karya manuskrip sebagai warisan kolektif.

 

Karya penyalinan mushaf oleh Abdussalam juga dapat dipandang sebagai bentuk respon terhadap tantangan zamannya. Pada abad ke-19, Sulawesi Selatan menghadapi dinamika politik kolonial dan konflik lokal. Di tengah situasi itu, ulama memainkan peran penting sebagai penjaga moralitas masyarakat. Penyalinan mushaf, dengan demikian, dapat dimaknai sebagai upaya spiritual untuk menjaga keteguhan iman di tengah guncangan sosial-politik.

 

Hingga kini, jejak Abdussalam masih bisa ditelusuri melalui mushaf yang disalinnya. Mushaf tersebut tidak hanya berfungsi sebagai artefak keagamaan, tetapi juga sebagai sumber sejarah yang memperlihatkan bagaimana tradisi tulis berkembang di Bugis. Dari segi paleografi dan kodikologi, mushaf itu menjadi saksi atas ketekunan seorang ulama dalam menjaga tradisi Islam lokal.

 

Kisah KH. Abdussalam al-Bugisi al-Pammani memperlihatkan bahwa ulama lokal memiliki kontribusi signifikan dalam sejarah Islam Nusantara. Mereka bukan hanya pengamal tarekat atau pendakwah, tetapi juga penyalin, pengajar, dan penjaga teks suci. Dari Pammana, jejak KH. Abdussalam menyebar ke berbagai kalangan, membentuk lapisan tradisi keilmuan yang menjadi fondasi bagi generasi setelahnya.

 

Dalam konteks historiografi, tokoh seperti KH. Abdussalam sering kali kurang mendapat sorotan dibandingkan dengan ulama besar atau bangsawan. Namun, justru melalui karya manuskrip seperti mushaf inilah kita bisa menilai betapa vital peran ulama lokal dalam membangun tradisi Islam. Mereka menjadi penghubung antara teks suci, komunitas, dan budaya lokal.

 

Dengan demikian, KH. Abdussalam al-Bugisi al-Pammani dapat dikenang bukan hanya sebagai penyalin mushaf pada tahun 1846, tetapi juga sebagai simbol dedikasi ulama Bugis terhadap keilmuan Islam. Warisan intelektualnya menjadi bagian dari khazanah besar Islam Nusantara, yang menunjukkan bahwa tradisi Islam di Bugis dibangun melalui kesabaran, ketekunan, dan cinta pada ilmu.

 

 

Oleh: Zaenuddin Endy

Koordinator Instruktur Pendidikan Kader Penggerak NUsantara (PKPNU) Sulawesi Selatan

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *