Puang Belle, yang juga dikenal dengan sebutan Lagalago, merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah penyebaran Islam di Kabupaten Sinjai. Namanya melekat kuat dalam ingatan kolektif masyarakat Bugis sebagai murid sekaligus pengikut setia Datuk ri Tiro, ulama besar dari Minangkabau yang berperan sentral dalam mengislamkan wilayah selatan Sulawesi. Kiprah Puang Belle di Sinjai menandai sebuah fase penting ketika Islam mulai diterima bukan hanya sebagai keyakinan pribadi, melainkan juga sebagai landasan kehidupan sosial dan politik kerajaan-kerajaan kecil di daerah tersebut.
Lagalago adalah julukan yang melekat pada dirinya karena keahliannya dalam membuat perangkap ikan tradisional yang disebut sero. Julukan tersebut kemudian menyatu dengan identitasnya sebagai bangsawan dari Kerajaan Tondong. Kepribadiannya yang sederhana namun berwibawa membuatnya mudah diterima masyarakat. Sebelum menjadi tokoh panrita atau ulama, ia terlebih dahulu dikenal sebagai sosok yang dekat dengan rakyat, memahami kehidupan sehari-hari mereka, dan menggunakan kedekatan itu sebagai sarana dakwah.
Sebagai murid Datuk ri Tiro, Puang Belle mendapatkan pendidikan Islam secara langsung dari seorang ulama besar yang sebelumnya telah berhasil mengislamkan Kerajaan Tiro. Dari pusat dakwah inilah, ia kemudian diutus kembali ke kampung halamannya untuk menyebarkan ajaran Islam. Strategi dakwah yang ditempuhnya mencerminkan pola regenerasi dakwah yang berkesinambungan: ulama besar mendidik tokoh lokal, lalu tokoh lokal tersebut melanjutkan dakwah dengan lebih mengakar pada tradisi masyarakatnya sendiri.
Tahun 1606 Masehi menjadi titik penting dalam kiprah Puang Belle. Pada tahun itulah ia berhasil membimbing Raja Tondong, Arung I To Hokke, untuk mengucapkan syahadat dan memeluk Islam. Bersama dengan Raja Lamatti, La Towa Suro, serta Arung Manimpahoi, prosesi itu menjadi momentum Islamisasi resmi di wilayah Sinjai. Peristiwa ini memperlihatkan peran strategis Puang Belle sebagai mediator antara ajaran Islam yang dibawa ulama perantau dengan struktur politik lokal yang memiliki pengaruh besar terhadap masyarakatnya.
Islamisasi yang dilakukan Puang Belle tidak berlangsung tanpa tantangan. Sebagaimana halnya di berbagai daerah lain di Sulawesi Selatan, keberadaan bissu atau pendeta adat yang menjadi penjaga tradisi pra-Islam menjadi hambatan besar. Namun dengan pendekatan persuasif, kearifan lokal, dan adaptasi budaya, Puang Belle mampu menunjukkan bahwa ajaran Islam tidak meniadakan kearifan yang sudah ada, melainkan menyempurnakannya. Sikap bijaksana inilah yang membuat Islam diterima tanpa menimbulkan konflik besar di Sinjai.
Selain berperan dalam konversi para raja, Puang Belle juga berfungsi sebagai guru agama bagi masyarakat luas. Ia mengajarkan dasar-dasar syariat Islam, mulai dari tata cara shalat, wudhu, hingga kewajiban zakat. Pengajarannya masih sederhana, namun mampu menjangkau kalangan luas karena dilakukan dengan bahasa dan simbol-simbol yang akrab di telinga masyarakat Bugis. Dari situlah, Islam tidak hanya menjadi agama para elite, melainkan juga bagian dari keseharian masyarakat biasa.
Makam Puang Belle kini terletak di Tana Tekko, Dusun Bakaqe, Desa Kampala, Kecamatan Sinjai Timur. Lokasi ini bukan hanya menjadi tempat peristirahatan terakhir seorang ulama, tetapi juga menjadi simbol ziarah dan refleksi spiritual masyarakat. Setiap tahun, masyarakat sekitar masih mendatangi makamnya, baik untuk berdoa maupun untuk mengenang jasa-jasanya dalam mengislamkan daerah tersebut. Makam ini termasuk dalam daftar situs cagar budaya Kabupaten Sinjai, menandakan pengakuan resmi atas perannya dalam sejarah.
Kedudukan Puang Belle sebagai bangsawan sekaligus panrita membuatnya dihormati dari dua sisi: politik dan spiritual. Ia menjadi penghubung antara otoritas kerajaan dengan masyarakat, dan pada saat yang sama menjadi guru agama yang membimbing umat. Kombinasi ini menunjukkan bahwa proses Islamisasi di Sinjai berlangsung melalui jalur struktural sekaligus kultural, sehingga lebih efektif dan berkelanjutan.
Legasi Puang Belle tidak berhenti pada masanya. Anak dan keturunannya, seperti Mallakade, turut melanjutkan dakwah dan menjaga ajaran Islam di wilayah Sinjai. Dengan demikian, keberadaannya bukan hanya berdampak pada generasi sezamannya, tetapi juga melahirkan generasi penerus yang menjaga kesinambungan dakwah Islam. Hal ini memperlihatkan bahwa strategi dakwah berbasis keluarga dan keturunan menjadi salah satu ciri khas penyebaran Islam di Sulawesi Selatan.
Seiring waktu, peran Puang Belle dikenang dalam tradisi lisan, cerita rakyat, serta ritual-ritual budaya yang dipadukan dengan nilai-nilai Islam. Dalam konteks ini, dakwah tidak hanya berwujud pengajaran agama formal, tetapi juga menyatu dengan ekspresi budaya lokal. Pengaruhnya dapat dilihat dalam kesadaran masyarakat Sinjai yang memadukan identitas keislaman dengan identitas kebudayaan Bugis yang kaya.
Dalam catatan akademis, Puang Belle sering disebut sebagai salah satu panrita kitta atau ulama lokal yang menjadi penjaga ilmu pengetahuan agama di Sinjai. Istilah ini menunjukkan kedudukannya sebagai orang yang tidak hanya menyebarkan Islam, tetapi juga memelihara pengetahuan, mengajarkan tafsir, dan memberikan fatwa sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, ia dikenang bukan hanya sebagai muballigh, melainkan juga sebagai cendekiawan Muslim di masanya.
Jejak Puang Belle juga menunjukkan pola interaksi yang khas antara ulama perantau dan tokoh lokal. Datuk ri Tiro, sebagai ulama dari luar, menyediakan basis keilmuan dan kerangka dakwah, sementara Puang Belle mengadaptasi ajaran tersebut dalam konteks budaya lokal Sinjai. Kolaborasi ini memperlihatkan bahwa keberhasilan dakwah Islam di Nusantara tidak pernah berdiri sendiri, melainkan merupakan hasil kerja sama lintas etnis dan lintas daerah.
Dari perspektif sejarah Islam Indonesia, figur Puang Belle menjadi contoh nyata bahwa penyebaran Islam tidak hanya dilakukan oleh tokoh besar yang datang dari luar, melainkan juga ditopang oleh tokoh-tokoh lokal yang memahami budaya setempat. Tanpa peran mereka, Islam mungkin sulit diterima secara luas karena resistensi budaya yang kuat. Puang Belle dengan demikian menegaskan pentingnya tokoh perantara dalam proses islamisasi.
Kini, di tengah arus modernitas, nama Puang Belle tetap hidup dalam ingatan kolektif masyarakat Sinjai. Kisahnya menjadi bagian dari sejarah panjang Islam di Sulawesi Selatan yang diwariskan secara turun-temurun. Keberadaan makamnya sebagai situs ziarah memperlihatkan betapa besar penghormatan masyarakat terhadap seorang ulama yang dengan kebijaksanaan, keilmuan, dan keteladanannya berhasil menanamkan Islam di tanah Bugis. Dari sinilah kita dapat belajar bahwa keberhasilan dakwah tidak hanya bergantung pada kekuatan argumen, tetapi juga pada kearifan dalam memahami manusia dan budayanya.
Oleh: Zaenuddin Endy
Wakil Ketua Lakpesdam NU Sulawesi Selatan 2024-2029