Syekh Abdul Majid Tuan Uddungeng: Jejak Islamisasi dan Warisan Spiritual di Soppeng

Zaenuddin Endy Komunitas Pecinta Indonesia, Nusantara, dan Ulama (KOPINU)
banner 468x60

Syekh Abdul Majid yang lebih dikenal sebagai Tuan Uddungeng merupakan salah satu tokoh sentral dalam sejarah Islamisasi di Soppeng. Namanya begitu dihormati karena menjadi pembawa cahaya Islam di Bumi Latemmamala, sebuah wilayah yang kala itu masih sangat kuat dipengaruhi tradisi lokal. Dalam catatan sejarah, ia muncul sebagai ulama karismatik yang berdakwah pada awal abad ke-17, tepatnya di masa pemerintahan Datu Soppeng ke-14, Beowe, sekitar tahun 1609. Bersama sahabatnya, Tuan Kamutta, ia membawa risalah Islam dengan pendekatan yang bijaksana sehingga diterima oleh masyarakat setempat tanpa banyak pertentangan.

 

Proses dakwah yang dilakukan Syekh Abdul Majid tidak terlepas dari konteks besar Islamisasi Sulawesi Selatan, terutama setelah kerajaan Gowa-Tallo menjadi pusat penyebaran Islam di kawasan timur Nusantara. Soppeng yang berada di lingkaran kerajaan-kerajaan Bugis tidak bisa lepas dari arus besar ini. Namun, Islam tidak serta-merta masuk begitu saja; ia membutuhkan tokoh-tokoh yang mampu menjembatani nilai-nilai Islam dengan tradisi masyarakat lokal. Di sinilah peran Syekh Abdul Majid menemukan relevansinya. Ia menjadi sosok perantara antara ajaran Islam dengan adat Bugis yang sarat simbol, nilai, dan ritual.

 

Dalam praktik dakwahnya, Syekh Abdul Majid dikenal mengedepankan pendekatan persuasif. Ia tidak serta-merta menolak tradisi lama, tetapi mengarahkan masyarakat agar tradisi tersebut diselaraskan dengan nilai-nilai tauhid. Misalnya, dalam hal ritual syukuran panen atau pesta pernikahan, beliau tidak menghapusnya, melainkan memberikan makna baru sesuai syariat Islam. Pendekatan ini membuat ajaran Islam diterima dengan lebih mudah, tanpa benturan sosial yang tajam. Dengan demikian, Islam tumbuh di Soppeng bukan sebagai agama asing, melainkan sebagai kelanjutan nilai luhur masyarakat yang disinari oleh wahyu.

 

Keberhasilan dakwahnya juga tidak bisa dipisahkan dari kapasitas intelektual dan spiritual yang ia miliki. Syekh Abdul Majid diyakini memiliki silsilah keilmuan yang bersambung dengan ulama-ulama besar di Timur Tengah, meski catatan tertulis mengenai gurunya masih sangat terbatas. Tradisi lisan menyebutkan bahwa beliau adalah seorang alim yang menguasai ilmu fikih, tauhid, dan tasawuf, yang kemudian diaplikasikan secara kontekstual dalam kehidupan masyarakat Bugis. Karena itu, kehadirannya menjadi otoritas baru dalam kehidupan spiritual dan sosial masyarakat Soppeng.

 

Syekh Abdul Majid wafat sekitar tahun 1635, meninggalkan warisan besar berupa tradisi keislaman yang masih terasa hingga kini. Ia dimakamkan di Desa Bila, Kecamatan Lalabata, sekitar lima kilometer dari Kota Watansoppeng. Kompleks makamnya kini dikenal sebagai Makam Tuan Uddungeng dan telah ditetapkan sebagai salah satu situs sejarah dan cagar budaya Kabupaten Soppeng. Tempat ini tidak hanya menjadi lokasi ziarah, tetapi juga simbol penghormatan masyarakat terhadap ulama yang telah berjasa membawa Islam ke daerah mereka.

 

Kompleks makam Tuan Uddungeng memiliki nilai historis sekaligus spiritual. Di sana terdapat sekitar 23 makam, termasuk makam keluarga dan kerabat dekat beliau. Makam tersebut dibangun dengan gaya khas Bugis kuno, menggunakan batu nisan yang sederhana namun sarat makna. Di sekitar kompleks, terdapat sumur yang dipercaya memiliki keterkaitan dengan perjalanan spiritual beliau. Sumur ini hingga kini masih digunakan oleh peziarah untuk berwudhu sebelum memanjatkan doa di hadapan makam sang ulama.

 

Tradisi ziarah ke makam Tuan Uddungeng masih berlangsung hingga hari ini. Ziarah biasanya dilakukan pada momen-momen tertentu, seperti sebelum keberangkatan haji, setelah panen, atau setelah pesta pernikahan sebagai bentuk nazar. Ritual ini memperlihatkan bahwa keberadaan Tuan Uddungeng tidak hanya dikenang secara historis, tetapi juga masih hidup dalam imajinasi spiritual masyarakat Soppeng. Ziarah tersebut menjadi medium untuk menjaga hubungan batin dengan leluhur ulama dan meneguhkan kembali identitas keislaman mereka.

 

Selain fungsi spiritual, makam Tuan Uddungeng kini juga menjadi bagian penting dalam pengembangan pariwisata budaya Soppeng. Pemerintah daerah telah memasukkannya dalam daftar destinasi wisata sejarah yang perlu dipelihara dan dilestarikan. Langkah ini tidak hanya memperkuat identitas keagamaan masyarakat, tetapi juga menghadirkan peluang ekonomi melalui pariwisata religi. Dengan demikian, warisan Syekh Abdul Majid tidak hanya berdampak pada aspek keagamaan, tetapi juga memberi kontribusi nyata bagi pembangunan daerah.

 

Dalam perspektif akademik, peran Syekh Abdul Majid dapat dikaji dari berbagai sudut. Dari aspek sejarah, beliau merepresentasikan dinamika penyebaran Islam di Nusantara, khususnya Sulawesi Selatan. Dari sisi antropologi, kehadirannya menunjukkan bagaimana Islam mampu beradaptasi dengan budaya lokal tanpa kehilangan esensinya. Sementara itu, dalam perspektif teologi, dakwah beliau mencerminkan prinsip wasathiyyah (jalan tengah) yang menjadi ciri khas Islam Nusantara. Hal ini menjadikan Tuan Uddungeng sebagai tokoh penting untuk memahami wajah Islam yang inklusif di kawasan timur Indonesia.

 

Keberadaan makam beliau juga meneguhkan pentingnya memelihara jejak sejarah Islam lokal. Makam bukan hanya tempat peristirahatan terakhir seorang ulama, tetapi juga ruang kolektif untuk mengenang, meneladani, dan meneruskan perjuangan. Dengan demikian, situs seperti Makam Tuan Uddungeng adalah “arsip hidup” yang terus berbicara kepada generasi sekarang tentang nilai dakwah, keikhlasan, dan perjuangan dalam menanamkan iman.

 

Hingga kini, masyarakat Soppeng masih memandang Tuan Uddungeng sebagai wali Allah yang diberi karamah. Keyakinan ini semakin memperkuat posisi makamnya sebagai pusat spiritual. Meski demikian, perlu dicatat bahwa penghormatan tersebut bukanlah bentuk pengultusan, melainkan ekspresi kecintaan dan rasa terima kasih atas jasa besar beliau. Praktik ziarah yang dilakukan masyarakat mencerminkan usaha mereka menjaga hubungan spiritual dengan ulama sekaligus mempertegas identitas mereka sebagai bagian dari komunitas Muslim Nusantara.

 

Dengan segala jejaknya, Syekh Abdul Majid Tuan Uddungeng bukan hanya tokoh lokal, melainkan bagian dari mozaik besar Islam Nusantara. Ia mengajarkan bahwa Islam bisa berkembang dengan damai jika dibawa dengan hikmah dan kesabaran. Pesan dakwahnya masih relevan hingga sekarang, terutama dalam konteks menjaga harmoni antara agama dan budaya. Warisan beliau adalah pengingat bahwa Islam di Sulawesi Selatan, khususnya di Soppeng, tumbuh dari kearifan, bukan dari paksaan. Karena itu, meneladani Tuan Uddungeng berarti menjaga semangat dakwah yang ramah, berakar pada budaya, sekaligus teguh pada ajaran Islam.

 

Zaenuddin Endy

Komunitas Pecinta Indonesia, Nusantara, dan Ulama (KOPINU)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *